Pidana

Serba-Serbi Hukum Pidana: Bagian Ke-2

Heksa Archie Putra Nugraha
923
×

Serba-Serbi Hukum Pidana: Bagian Ke-2

Sebarkan artikel ini
Hukum Pidana
Hukum Pidana

Ulasan Singkat Asas Hukum Pidana Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dalam teori hukum, dikenal tiga jenjang yang saling berkaitan satu sama lain, yakni asas hukum, kaidah hukum, dan aturan hukum. Asas atau prinsip hukum merupakan konsep dasar yang akan diderivasikan menjadi rangkaian kaidah atau norma hukum. Setelah itu, barulah dibentuk aturan hukum yang bersifat teknis, definitif, dan operasional. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”), dikenal beberapa asas yang mendasari beberapa pasal dengan uraian sebagai berikut.

Asas Legalitas dalam Hukum Pidana

Asas legalitas merupakan asas umum yang mulai digagas sejak pemerintahan Romawi Kuno karena munculnya tindakan bersifat jahat di tengah masyarakat. Rumusan asas legalitas dibuat oleh Paul Johann Anselm von Feurbach dalam bukunya Lehrbuch des Pinlichen Rechts (1801) dengan teori tekanan jiwa psychologische zwang theori. Namun, jauh sebelum terdapat rumusan tersebut, seorang filsuf Inggris bernama Francis Bacon telah memperkenalkan adagium moneat lex, priusquaum feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya).

Rumusan asas legalitas menurut Van Feurbach, antara lain nulla poena sine lege, nulla poena sine crime, dan nullum crimen sine poena legali. Adapun rumusan yang dikenal saat ini adalah nullum delictum nulla poena sine previa lege poenali. Beberapa aspek penting terkait asas legalitas adalah lex scripta (hukum harus memiliki aturan tertulis), lex certa (hukum harus dibuat jelas), non-retroactive principle, tidak boleh menggunakan penafsiran analogi, dan lain sebagainya.

Mengenai muatan lex certa dalam asas legalitas, maka suatu tindakan hanya dapat disebut sebagai tindak pidana apabila memenuhi rumusan delik yang dimuat dalam undang-undang (atau dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia juga termasuk Peraturan Daerah), perbuatan harus bersifat melawan hukum, dan perbuatan harus dapat dicela. Syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga tidak mudah menglasifikasi suatu tindakan sebagai tindak pidana.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memperjelas kedudukan asas legalitas yang dituangkan dalam aturan hukum, antara lain:

Pasal 1 ayat (1) KUHP

tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”)

tiada seorangpun dapat di hadapakan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Sementara

tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.

Ketiga pasal di atas menggunakan istilah tolok ukur pemidanaan yang berbeda. Adapun ratio legis istilah ‘perundang-undangan’ adalah supaya dapat menjangkau Peraturan Daerah sebagai alat untuk mempidana. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “ UU P3U”) yang memberi ruang bagi Perda tingkat I dan II untuk memberi ancaman pidana, tetapi dengan batasan hanya pidana kurungan maksimal enam bulan dan denda maksimal lima juta sehingga dikualifikasi sebagai pelanggaran.

Perubahan Ketentuan Perundang-Undangan Hukum Pidana

Berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang memuat asas legalitas, dikenal pula asas lex temporis delicti. Asas ini juga bertalian dengan konsep perubahan perundang-undangan, yakni penentuan aturan mana yang digunakan bilamana terjadi perubahan aturan pidana setelah suatu tindakan dilakukan.

Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Konsep demikian hanya dapat digunakan sebelum terdakwa mendapat putusan yang inkracht van gewijsde. Contoh ilustrasi kasus yang memuat perubahan perundang-undangan adalah sebagai berikut.

Pada 28 Juni 2020, X dan Y bersama-sama melakukan pencurian. X ditangkap terlebih dahulu dan didakwa menggunakan Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana penjara lima tahun. Setelah satu bulan, B ditangkap dan memasuki proses persidangan. Pada saat proses pembuktian oleh Penuntut Umum, ternyata ancaman pidana Pasal 362 KUHP diubah menjadi tiga tahun. Dengan demikian, terhadap B harus digunakan ketentuan baru dan dakwaan harus diubah.

Konsep perubahan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu materiil dan formil. Untuk perubahan perundang-undangan materiil masih dibagi lagi menjadi terbatas dan tidak terbatas. Adapun uraian singkatnya adalah sebagai berikut.

Perubahan perundang-undangan formil adalah perubahan yang terbatas pada perundang-undangan hukum pidana. Konsep ini dianut oleh beberapa sarjana hukum, seperti Van Hamel, Simons, dan Zevenbergen. Jenis perubahan yang dimaksud adalah perubahan ancaman pidana di dalam perundang-undangan pidana, perubahan sifat delik umum menjadi delik khusus, perubahan kualifikasi tindak pidana yang mulanya pelanggaran menjadi kejahatan, dan lainnya.

Perubahan perundang-undangan materiil adalah perubahan yang tidak terbatas pada lingkup perundang-undangan hukum pidana, tetapi juga termasuk pada bidang hukum lainnya. Konsep ini dibedakan kembali menjadi dua, yaitu terbatas dan tidak terbatas.

Materiil terbatas memandang perubahan dapat terjadi di luar perundang-undangan pidana, tetapi terbatas pada kesadaran hukum saja, seperti dekriminalisasi suatu tindak pidana, tidak dipidananya seseorang karena perbuatan tertentu, atau diperberat suatu ancaman pidana. Sebagai contoh, apabila suatu aturan pidana telah habis masa berlakunya karena dibuat di masa darurat, tetapi perbuatan yang dilarang dilakukan selama masa darurat, maka tetap dapat dipidana.

Di lain sisi, materiil tak terbatas memandang perubahan dapat terjadi di luar perundang-undangan pidana karena pergeseran keyakinan/kesadaran hukum pembuat undang-undang dan karena keadaan/waktu. Apabila dikomparasi dengan contoh materiil terbatas, maka ketika suatu aturan telah dicabut, baik dibuat dalam keadaan darurat atau tidak, dan persidangan persidangan baru dilangsungkan maka demi hukum harus dibebaskan.

Konsep perubahan perundang-undangan memberikan keuntungan bagi terdakwa di antara perbedaan perundangan yang ada, meliputi dapat dipidananya suatu tindakan, jenis hukuman, berat ringannya hukuman, ketentuan mengenai jenis delik, daluarsa suatu tindak pidana, atau bahkan pertanggungjawaban pidana. Sebagai contoh, lebih menguntungkan bagi terdakwa apabila dijatuhi hukuman enam bulan penjara daripada delapan bulan kurungan. Tolok ukur keuntungan bukan ditinjau dari jenis tindak pidana, tetapi lamanya pemidanaan.

Asas Teritorial dalam Hukum Pidana

Asas teritorial merupakan asas umum hukum pidana yang melandasi Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 8 KUHP. Namun demikian, terdapat pengecualian siapa saja yang dapat dijerat ketentuan pidana Indonesia meskipun locus delicti dan korban adalah warga negara Indonesia, antara lain kepala negara lain dan keluarganya, duta negara asing, anak buah kapal (ABK) perang asing, dan lain sebagainya (vide Pasal 9 KUHP). Terhadap subjek tersebut maka harus dipulangkan ke negara asalnya melalui Konsulat Negara terkait.

Menurut asas teritorial, ketentuan pidana Indonesia dapat menjangkau siapapun yang berada di wilayah Indonesia, meliputi Sabang sampai Merauke, kedutaan besar dan konsulat Indonesia di luar negeri, termasuk juga ekstentifikasinya, yakni setiap kapal dan pesawat berbendera Indonesia. Seiring perkembangan zaman, dikenalnya internet dan metaverse membuat asas teritorial berkembang semakin pesat sehingga dapat menjangkau lebih luas lagi.

Masih berkaitan dengan asas teritorial, muncul derivasi asas, antara lain asas national aktif dan asas nasional pasif. Pasal 5 KUHP memuat asas national aktif atau personalitas, yakni ketentuan pidana dapat diterapkan kepada seluruh warga negara Indonesia di manapun berada, Kendatipun demikian, proses mengadili warga negara Indonesia yang berada di luar negeri tidak dapat dilakukan secara serta merta, melainkan harus dijembatani melalui perjanjian ekstradisi.

Di lain sisi, terdapat asas national pasif yang dimuat dalam Pasal 4 KUHP. Asas ini berarti bahwa hukum pidana Indonesia menjangkau baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di dalam atau luar negeri apabila mengancam kepentingan Indonesia, meliputi terorisme, mata uang, ITE, korupsi, dan lain sebagainya. Namun sebagaimana asas national aktif, konsep demikian berada di level teoretis, sedangkan sisi praktisnya tentu bergantung pada political will masing-masing negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.