Ilmu HukumFilsafat HukumMateri Hukum

Konsepsi Teori Hukum dalam Nuansa Filsafat Hukum

Adam Ilyas
854
×

Konsepsi Teori Hukum dalam Nuansa Filsafat Hukum

Sebarkan artikel ini
Teori Hukum dalam Filsafat Hukum
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum – Kajian konsep teori hukum pada tataran filosofis ini fokus pada dua aliran Filsafat Hukum yang sangat berpengaruh di dunia, khususnya Indonesia sampai saat ini, yaitu “Teori Hukum Alam” dan “Teori Positivisme Hukum”. Berbagai versi ditulis oleh ahli Filsfat Hukum tentang Teori Hukum Alam atau Hukum Kodrat. Dalam kajian ini diikuti pula versi Andrew Altman, dari bukunya yang berjudul Arguing About Law: An Introduction to Legal Philosophy (2001) yang mengkaji menurut rentang sejarah (membuat klasifikasi diakronis) yakni “Teori Hukum Alam Tradisional” (Traditional Natural Law Theory) dan “Teori Hukum Alam Modern” (Modern Natural Law Theory).

Teori Hukum Alam Tradisional

Dua pendukung utama teori ini bernama St. Augustine dan Thomas Aquinas. Keduanya memiliki persepsi yang sama tentang Hukum Alam, bahwa “hukum alam merupakan kewajiban tertinggi yang diciptakan oleh alam yang dapat membatalkan kewajiban setiap orang apabila bertentangan dengan moral atau immoral. Ada tiga tesis yang dikemukakan St. Augustine, yaitu:

  1. Hukum Alam digunakan standard untuk menilai peraturan yang ditetapkan oleh negara yang disebut hukum positif baik atau buruk (that natural law providing standard should be used to evaluate positive laws as good or bad);
  2. Peraturan hukum positif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam, tidak sah. Peraturan hukum tersebut batal demi hukum dan tidak membebankan kewajiban kepada setiap orang (Rules of positive law that conflict with principles of natural law are invalid. Such rulers are null and avoid and imposed no obligation to anyone).
  3. St. Augustine mendeclare, hal yang jarang dikemukakan oleh pandangan tradisonal: bahwa “hukum yang tidak adil bukanlah hukum (…St. Augustine gave a succinct statement of the traditional view: “a law that is no justice is not law”).

Teori Hukum Alam Tradisional versi Thomas Aquinas merupakan suatu uraian Filsafat Hukum yang sistematis, komprehensif dan tetap dikembangkan. Tesis utama Thomas Aquinas, dideskripsikan, sebagai berikut:

  1. Visi dasarnya bahwa alam semesta itu ciptaan oleh yang tunggal, pengatur abadi dan menganugerahkan sistem hukum (It rest on his vision of the universe as governed by single, self-consistent, and overarching sysem of law).
  2. Keseluruhan sistem itu didasarkan pada arahan dan otoritas pembentuk hukum dan hakim tertinggi, yakni Tuhan (The entire system is under direction and authority of the supreme lawgiver and jugde, God).
  3. Sistem hukum ini dalam pertingkatannya (hirarkhi), tersusun paling atas hukum abadi, hukum tuhan, dan hukum alam, paling bawah hukum manusia (Human law occupies the lower tier of this system. Above it are eternal law, divine law and natural law.).
  4. Hukum abadi itu terdiri atas asas-asas yang ditetapkan Tuhan untuk tindakan dan menggerakkan benda-benda yang memungkinkan setiap benda menampilkan fungsinya yang baik dalam keseluruhan tertib alam semesta (Eternal law consist of those principles of action and motion that God implanted in things in order to enable each thing to perfom its proper function in the over all order of the universe).
  5. Hukum alam terdiri atas asas-asas khusus dari hukum abadi untuk umat manusia. Seperti asas-asas-asas yang dapat dikenali oleh kekuatan pikiran alamiah kita dan asas-asas itu memandu ke arah apa yang baik bagi manusia (Natural law concist of those principles of eternal law specific to human beings. Such principles are knowable by our natural powers of reason, and they guide us toward what is good for humans).
  6. Dengan demikian, asas-asas itu adalah baik bagi manusia untuk hidup dengan tenang satu sama lain dalam masyarakat, dan karena itu asas-asas hukum alam memerlukan larangan berperilaku jahat di masyarakat seperti halnya pembunuhan, dan pencurian (Thus, it is good for humans to live peaceably with one another in society, and so natural law principles entail the prohibition of actions such as murder and theft that harms society).
  7. Asas-asas hukum alam membantu kita mencapai kebaikan, yang dapat dicapai di dunia ini. Namun terlalu sedikit kebajikan yang bisa dicapai manusia di dunia yakni keselamatan abadi. Figur hukum yang eksis melampaui dan berada di atas hukum alam memandu kita untuk menuju kebaikan; yaitu Hukum Tuhan (The principles of natural law help us reach the good, that is reachable in this world. Yet beyond this world there is the ultimate human good: eternal salvation. A type of law exists over and above natural law, guiding us to hat ultimate goal. That is devine law).
  8. Menurut Aquinas, istilah hukum manusia adalah hukum positif yang terdiri dari peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemimpin masyarakat politik (negara) untuk kebaikan umum warga negara. Dalam beberapa kasus misalnya menurut logika sederhana dideduksi dari asas-asas hukum alam. Contohnya, hukum positif, melawan pembunuhan, secara logika ditentukan oleh hukum alam yang pada umumnya melarang seseorang atas kesalahannya merugikan orang lain. Setiap orang akan setuju bahwa pembunuhan adalah satu bentuk kesalahan yang merugikan, hukum mengenai pembunuhahan itu menurut logika diturunkan dari asas-asas hukum alam (Human law Aquinas’s term for positive law consist of rules framed by the head of the political community for the common good of it members. In some cases, such rules are simply logically deduced from natural law principles, For example, the positive law against murder is logically entailed by the more general law that prohibits a person from wrongfully harming someone else. Once we agree that murder is form wrongful harm, the law against murders logically follows from the natural law principle).

Dalam versi yang sederhana, Surya Prakash Sinha (1993) mengemukakan bahwa Thomas Aquinas membuat skema hierarkhi hukum yang menempatkan hukum tuhan (divne law) pada tingkat yang tetinggi (supreme). Konstruksi berpikir Aquinas yakni komunitas alam semesta diciptakan oleh rasio Tuhan. Tidak semua Hukum Tuhan dapat dipahami oleh manusia.

Bagian yang dapat dipahami manusia menampakkan dirinya sendiri melalui hukum abadi (eternal law), yang menyatu dengan kearifan Tuhan (devine wisdom), dan Hukum Tuhan (Lex Devina) ini ditetapkan Tuhan sebagaimana dijumpai dalam Kitab-kitab Suci. Asas-asas hukum abadi (eternal law atau lex aeterna) diungkapkan ke dalam hukum alam (natural law atau lex naturale), dan dari asas-asas hukum alam diturunkan kepada seluruh hukum manusia (human law atau lex humana) yang dinamakan hukum positif dibentuk oleh kekuasaan negara. Secara skematis, hierarkhi hukum menurut Thomas Aquinas, nampak sebagai berikut:

Konsepsi Teori Hukum dalam Nuansa Filsafat Hukum
Sumber: diolah dari Surya Prakash Sinha, 1993, Jurisprudence: Legal Philosophy In A Nutshell, Sint Paul Min, 1993, hal. 93

Literatur Indonesia mendeskripsikan “Teori Hukum Alam Tradisional” dari Thomas Aquinas (1225-1274) dengan nama teori hukum alam thomistis, yang merupakan perpaduan pengaruh Filsafat Hukum Alam Yunani Kuno, Kaum Stoa dan pemikiran teologia Gereja Katholik (Filsafat Skolastik). Dalam teori tersebut hukum dikualifikasi menjadi, empat golongan dengan hierarki yaitu:

  1. hukum abadi (lex aeterna), hukum yang berisi kehendak Tuhan dalam arti segala sesuatu tentang komunitas alam semesta diatur oleh rasio Tuhan yang sulit unuk dapat ditangkap pikiran manusia. Hanya sebagian kecil saja dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap manusia melalui wahyu;
  2. hukum ke-Tuhanan (lex devina), hukum yang dinyatakan oleh Tuhan melalui wahyu yang dapat dipahami rasio (akalbudi) manusia, sebagian berasal dari hukum abadi (lex aeterna);
  3. hukum alam (lex naturalis), sebagian kecil berasal dari hukum ke-Tuhanan yang ditangkap manusia melalui wahyu. Pada hukum alam (lex naturalis) dijumpai dua jenis hukum, yaitu: (1) hukum alam primer yang memuat asas-asas utama, seperti asas tidak seorangpun boleh melanggar hukum dan (2) hukum alam sekunder, menjabarkan asas-asas utama;
  4. hukum manusia (lex humana) yang dinamakan hukum positif yang sesungguhnya berlaku, terdiri atas (1) hukum positif yang berasal dari Tuhan yang diwahyukan kepada manusia, dan terdapat dalam Kitab Suci, (2) hukum positif yang dibuat manusia berdasarkan rasionya. Khusus untuk hukum alam sekunder terbagi menjadi dua, (1) norma yang dihasilkan dari deduksi logis, misalnya tak seorang pun boleh membunuh, tak seorang pun boleh mencuri, (2) norma yang dihasilkan secara khusus disebut ius gentium, seperti hak milik perseorangan. Deskripsi ini menunjukan bahwa kategori hukum alam dari Thomas Aquinas, benar merupakan gambaran suatu hirarkhi hukum menurut “Teori Hukum Alam” tradisional. Hukum alam berkedudukan sebagai hukum yang supreme (lebih tinggi) dari hukum positif. Oleh karena itu hukum alam diposisikan sebagai kaidah penilaian, artinya jika hukum positif bertentangan dengan asas-asas moral dan keadilan, maka hukum positif itu bukan hukum, dan boleh tidak ditaati.

Teori Hukum Alam Modern

Andrew Altman menyebutkan ada dua tokoh utamanya yakni Lon Fuller dan Donald Dworkin. Keduanya ahli hukum dari Amerika Serikat, meski pendapat keduanya ada perbedaan. Kedua pandangan oponen utama Teori Hukum Alam Modern tersebut dideskripsikan dan dianalisa, seperti di bawah ini.

Pertama, konsep teori inner morality dari Lon Fuller, dikenal sebagai Bapak Kebangkitan Hukum Alam, yang tesis utamanya diidentifikasi sebagai berikut:

  1. Suatu sistem hukum yang asli sejatinya diikat oleh asas-asas moral tertentu, dan asas-asas moral ini disebut oleh Lon Fuller dengan istilah inner morality hukum (… that any genuine system of law necessarily abides by certain moral principle. He calls these principles the inner morality of law).
  2. Inner morality hukum, yang merupakan asas-asas moral diturunkan atau diderivasi dari ide bahwa hukum itu suatu instrumen untuk mengatur dan pengendali bagi perilaku manusia sebagai agen (pelantar) yang memiliki kemampuan mempertimbangkan dan memilih (the principles that make up the inner morality of law; derives them from the idea that law is something intended to regulae and control … are addressed to humans as agents capable to deliberation and choice).
  3. Peraturan hukum harus diberlakukan ke depan tidak boleh berlaku surut, karena hanya dengan diberlakukan ke depan, manusia sebagai agen (pelantar) mampu menentukan pilihan dalam berperilaku. Sama halnya bahwa kaidah peraturan hukum harus relaitif jelas, memungkinkan peraturan hukum yang berlaku dipatuhi (…legal rules must be apllied propectively, rather than retroactively, because only prospective rules address humans as agents capable choice. Similarly, legal rules must be relatively clear in meaning, possible to comply with, adopted in accord with existing rules).
  4. Fuller mengakui bahwa di antara ide dasar Teori Hukum Alam dapat dipertahankan: perlunya mengaitkan antara hukum positif dengan moralitas, dan keterkaitan itu berakar pada sifat hukum itu sendiri, meskipun perlunya hubungan itu tidak sekuat pemikir-pemikir hukum alam yang mengemukakan postulat, hukum positif yang tidak adil dan bertentangan dengan moral tidak perlu dipatuhi. Tetapi menurut Fuller, kemungkinan fakta jika sistem hukum yang tidak adil secara moral hukum positif itu tidak wajib dipatuhi (Fuller thus believes that the basic idea behind natural theory can be vindicated; there is necessarily connection between positive law and morality, and that connection stems from the nature of law itself. The necessarily connection is not as strong tradisional natural law thinkers had postulated, for it is possible that particular positive law are unjust and morally ought to be disobeyed).
  5. Diperingatkan pula lebih tegas bahwa, inner morality tidak menjamin bahwa setiap sistem hukum genuine itu adalah hukum yang adil, dan apabila hukum itu secara serius tidak adil dari sisi moral fundamental maka kewajiban prima facie (kewajiban utama) untuk mematuhi harus dikesampingkan, dengan perkataan lain hukum yang tidak adil menurut moral secara fundamental tidak perlu ditaati (The inner morality of law does not guarantee that every genuine legal is a just law. And if a law is seriously unjust, the prima facie obligation to obey it may be overridden. After all, a law might be so unjust that fundamental moral obligations require disobedience).

Dari lima tesis utama “Teori Inner Morality”, inti konsep teori hukum, menurut Lon Fuller yakni setiap sistem hukum genuine (asli) selalu terikat pada asas-asas moral tertentu, yang diberi istilah “inner morality”. Asas-asas moral inilah sejatinya yang menjadi dasar mengikatnya dan dihormatinya peraturan hukum. Meskipun begitu, Fuller mengakui tidak semua produk hukum pengusa (hukum positif) yang berupa legislasi/regulasi konsisten dengan asas-asas moral yang melekat pada “inner morality” hukum. Legislasi/regulasi itu jelas tidak baik secara moral, tetapi hukum positif itu tidak serta merta kehilangan validitas (keabsahan), sebagaimana diklaim oleh penganut teori hukum alam tradisional. Bahkan dicatat pula, Fuller membuka kemungkinan lain bahwa produk hukum mungkin tidak memiliki keabsahan secara “inner morality”, tetapi dapat dibenarkan menurut tujuan-tujuan sosial.

Teori Inner Morality secara aktual berpengaruh pada aplikasi pembentukan hukum (legislasi/regulasi). Hal ini antara lain dikemukakan oleh Hilare MacCobrey dan Nigel D. White. Mereka menyatakan, “argumen Fuller bagian utamanya berkenaan dengan persyaratan untuk membentuk norma dalam konteks moralitas yang mewajibkan. Sasaran analisisnya ditekankan oleh Fuller pada pembentukan hukum yang tepat secara moral. Produk hukum itu esensinya menetapkan kriteria minimum bagi legislatif atau kegiatan hukum lainnya yang dapat dikenal, yang oleh Fuller diungkapkan dalam bentuk delapan kriteria negatif. Kedelapan kriteria negatif, legislasi, dan regulasi yang tepat secara moralitas, dalam Bahasa Inggris, adalah sebagai berikut:

  • failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty (suatu kekeliruan membentuk peraturan yang mengandung ketidakpastian sama sekali);
  • failure to make rules public to those required to observe them (suatu keliruan membentuk peraturan umum yang mewajibkan kepatuhan hanya kepada masyarakat);
  • improper use of retroactive lawmaking (tidak baik membentuk hukum yang berlaku surut atau diberlakukan secara retroaktif);
  • failure to make comprehensible rules (suatu kekeliruan membentuk peraturan hukum yang tidak dapat dipahami);
  • improper making rule which contradict each other (tidak baik membentuk peraturan hukum yang bertentangan satu dengan yang lainnya);
  • making rules which impose requirements with which compliance is impossible (tidak boleh membentuk peraturan hukum dengan membebankan persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi);
  • changing rules to frequently that required conduct becomes whole unclear (seringkali mengubah peraturan mejadikan perilaku yang diwajibkan tidak jelas sepenuhnya);
  • discontinuity between the stated content of rules and their administration in practice (ketidaksesuaian antara isi peraturan dan pelaksanannnya dalam pratik).

Dalam konteks keindonesiaan, kriteria negatif legislasi menurut Lon Fuller pada huruf (c) keberlakuan atau penerapan peraturan berlaku surut, secara konstitusonal dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menentukan, “… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” (huruf tebal dari penulis). Kualifikasi hak asasi manusia yang bersifat mutlak digolongkan hak asasi yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogated human rights). Dengan demikian peraturan hukum harus diberlakukan ke depan atau secara retrospektif atau dikenal dengan istilah “asas non-retroaktif”.

Kedua, Konsep Interpretive Theory (Teori Interpretif), dari Donald Dworkin, ada beberapa tesis utama, yaitu:

  1. setiap produk hukum, baik legislasi atau regulasi dengan sendirinya harus dapat ditafsirkan dan diterapkan melalui pendekatan moral;
  2. hukum positif harus memiliki integritas moral. Integritas mungkin tidak menjamin pencapaian keadilan, akan tetapi integritas moral menjamin adanya derajat moralitas yang cukup bahwa setiap legislasi atau regulasi sebagai produk hukum terhindar menjadi produk politik penguasa;
  3. hukum merupakan ungkapan filosofi pemerintahan; filosofi itu terdiri dari asas-asas moral yang menetapkan tujuan-tujuan fundamental pemerintah dan hubungan pemerintah dengan perseorangan atau individu.
  4. asas-asas moral itu merupakan dasar legitimasi keputusankeputusan hukum, yang sekaligus menjadi pedoman untuk menafsirkan suatu peraturan hukum.

Andrew Altman menilai bahwa argumentasi Teori Interpretif sangat kuat. Ia mengatakan bahwa begitu penting dan perlunya mengaitkan antara hukum dan moralitas namun, mengenai aplikasinya, menolak pendekatan (approaches) dari Aquinas dan Fuller. Andrew Altman, menulis:

Unlike Aaquinas’s traditional version of natural law theory, Dworkin does not hold that unjust rules are invalid as laws. Unlike Fuller version, Dworkin does not hold that the principles of legality are by themselves… sufficient to create a prrima facie moral obligation to obey the rules of any system of positive law. Dworkin seems agree with Fuller that obligation have some moral force: there is some moral reason to abide by such obligations.

But Dworkin locates the source of moral not merely in the principles of legality, but in integraty of law. In other words, for Dworkin the inner of morality of law not only of the principles of legality but also of the best moral principles that underlie the settled law”

[Tidak seperti Aquinas penganut versi teori hukum alam tradisional, Dworkin tidak berpendirian bahwa peraturan yang tidak adil bukan sebagai hukum yang tidak sah.Tidak seperti versinya Fuller, Dworkin tidak berpegang pada bahwa, asas-asas legalitas dengan sendirinya cukup unuk menciptakan suatu kewajiban moral utama untuk mematuhi peraturan dari suatu sistem hukum positif.

Dworkin tampaknya setuju pada Fuller bahwa kewajiban hukum memiliki kekutan moral: suatu alasan moral mengikatnya kewajiban-kewajiban tersebut. Namun Dworkin menempatkan sumber kekuatan moral tidak semata-mata hanya dalam asas-asas legalitas, tetapi pada integritas hukum. Dengan perkataan lain menurut Dworkin “asas-asas moral” (inner morality of law) lebih luas daripada Fuller: terdiri dari tidak hanya asas-asas legalitas, tetapi juga asas-asas moral yang baik dilandasi oleh keberadaan hukum itu sendiri].

Pandangan Dworkin dan Fuller menunjukan bahwa hubungan antara hukum alam dan hukum positif selalu aktual sampai abad ini. Aktualisasi versi teori hukum alam modern (abad ke-20) terlihat jelas pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan Deklarasi Rule of Law, International Jurists Conference, 1959 di New Delhi, dan Pengadilan Nuremburg tentang Kejahatan Perang Dunia II, mengadili pimpinan Nazi seperti Hermann Goering, Wakil Adolf Hitler, merangkap Komandan Angkatan Udara Nazi, yang dikualifikasi sebagai “pelanggaran HAM berat” tergolong “extraordinary crime” (kejahatan luar biasa). J.W. Harris (Law and Legal Science: An Inuiry into the Concept of Legal Rule and Legal System), memberi catatan, bahwa penempatan intuisionisme sebagai paham epistemologis dari Aliran Hukum Alam, mengedepankan penalaran intuisi bukan rasio.

Intuisi sepenuhnya digunakan pada penalaran zaman klasik/kuno, sedangkan rasio merupakan dominasi penalaran zaman modern seperti dipraktikkan Positivisme Hukum. Di balik itu, Realisme Hukum justru mengembangkan jenis “intuisi baru” yang dinamkannya trained intuitive judgeship dapat diterjemahkan “intuisi hakim yang terlatih”. Di bawah ini dianalisis teori hukum dari penganut Positivisme Hukum.

Positivisme Hukum menolak tesis Teori Hukum Alam tradisional, dengan postulat bahwa “hukum yang genuine” adalah “hukum yang adil”, dan “hukum yang tidak adil”, bukan hukum, sehingga tidak harus ditaati. Positivisme Hukum, lebih jauh juga menolak tesis Teori Hukum Alam modern yang secara mutlak mengaitkan antara hukum positif dengan moral sebagaimana didalilkan oleh Lon Fuller dan Donald Dworkin.

Perlu diketahui menurut L.B. Curzon, Postivisme Hukum digunakan sebagai frase yang pada umumnya digunakan untuk merujuk pada hukum yang dibuat oleh manusia (“Divine positive law” yakni hukum yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan). Istilah ini digunakan untuk menunjukan Positivisme, yang mengindikasikan, yaitu:.

  • the theory that a law is the command of sovereign or other recognized authority (teoritis hukum itu perintah yang berdaulat atau yang lainnya hukum yang diakui oleh otoritas).
  • the argument that there is no obvious or necessary link between law and moral (argumen-argumen itu jelas tidak perlu mengaitkan antara hukum dan moral).
  • the contention that rational arguments connot be used to support or deny moral judgment14 (pendirian bahwa argumen-argumen rasional tidak dapat dipergunakan untuk mendukung atau menolak penilaian moral).

Selanjutnya Curzon, mengemukakan legal positivism, the phrase is widely to refer to that jurisprudential analysis involving a scientific study of the body of rules, termed “laws”, without reference to extraneous matters such as social context, political, physchological background ect. (Positivisme hukum adalah ungkapan yang luas merujuk pada ilmu hukum analitis termasuk studi ilmiah himpunan peraturan yang disebut “hukum”, tanpa mengacu pada masalah-masalah di luar hukum, seperti latar belakang konteks sosial, politik, psikologi, etika-moral dll.).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.