PidanaHak Asasi Manusia

Prinsip Restorative Justice: Solusi Damai dan Berkeadilan untuk Tindak Pidana Ringan

Arya Putra Rizal Pratama
259
×

Prinsip Restorative Justice: Solusi Damai dan Berkeadilan untuk Tindak Pidana Ringan

Share this article
Restorative Justice
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas tentang penyelesaian tindak pidana ringan dengan mengedepankan prinsip restorative justice.

Tindak pidana Ringan

Kejahatan di masyarakat semakin marak. Banyak faktor yang memicunya, salah satunya adalah faktor ekonomi yang rendah. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang besar antara masyarakat kaya dan miskin. Kejahatan yang sering terjadi di masyarakat umumnya adalah tindak pidana ringan (tipiring), seperti pencopetan, penipuan kecil, dan penganiayaan ringan.

Advertisement
Advertisement

Menurut Roeslan Saleh, tindak pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketentuan hukum. Syarat utamanya adalah adanya aturan yang melarang perbuatan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendefinisikan tindak pidana sebagai tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian, baik akibat perbuatan maupun sebab dari tindakan pelaku tersebut kepada korban.

Tindak Pidana Ringan (tipiring) menurut ketentuan dalam Buku II KUHP mencakup pada penghinaa, penganiayaan hewan peliharaan, penipuan, penggelapan pengerusakan hingga penadahan secara ringan. Ukuran tindak pidana ringan dapat dilihat dari hukuman yang akan diberikan kepada pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Seperti pada Pasal 505 ayat (1) KUHP bahwa “barangsiapa bergelandang tanpa mempunyai mata pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan”. 

Lalu, jika melihat pada Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan bahwa “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan

Berdasarkan pemaparan delik-delik atas tindak pidana ringan yang diatur melalui KUHP bahwasaja dapat dilakukan penyelesaian secara aktif. Penyelesaian secara aktif ini adalah pemberian hukuman tetapi sebagai bentuk pembelajaran melalui tanggungjawab pelaku tersebut atas perbuatan yang telah dilakukan. Pentingnya penyelesaian terhadap kasus tindak pidana ringan melalui restorative justice dapat memberikan suatu penyelesaian suatu masalah dengan baik serta mendorong pelaku untuk dapat aktif bertanggungjawab. Menurut Tony Marshall restorative justice adalah “proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif  bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasi untuk masa depan”. Namun, saat ini masih terdapat penyelesaian dilakukan secara retributive justice dengan mengedepankan hukuman sebagai pembalasan atas perbuatan pelaku tersebut.

Pertama, Penyelesaian pidana ringan melalui restorative justice sangat berguna bagi korban yaitu hak dan kebutuhan korban dapat terpenuhi dengan baik sebagaimana pemenuhan Hak asasi manusianya tersebut. Dimana korban tidak hanya memberikan hukuman kepada pelaku tetapi, pelaku dapat melakukan tindakan yang baik untuk pemulihan atas kerugian yang dialami oleh korban tersebut. Bentuk dari penyelesaian melalui restorative justice sebagai penerapan atas tujuan hukum terhadap pelaku untuk menjadikan orang yang baik dan berguna kembali di masyarakat.

Kedua, Penyelesaian tindak pidana secara restorative justice tidak memandang pada kesalahan atas perbuatan pelaku tersebut kepada korban. Di mana pelaku dapat diajak melakukan kerjasama dalam penyelesaian suatu perkara sebagai saksi pelaku atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Tentu khususnya, kasus tindak pidana ringan penipuan yang sering terjadi dapat diselesaikan oleh pelaku melalui sikap empati dan menolong untuk memperbaiki seperti mengembalikan barang hasil tindakan penipuan pelaku tersebut.

Menurut Liebmann juga secara sederhana bahwa mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku, dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut. Tujuan hukum dapat penyelesaian secara restorative justice merupakan bahwa penyelesaian suatu perkara hukum tidak hanya pada pembalasan atas hukuman melalui kurungan atau penjara. Tujuan adanya hukum sebagai bentuk untuk menciptakan keadilan dan kemanfaatan atas peraturan perundang-undangan yang diterapkan di masyarakat.

Seperti analisa terhadap Pasal 482 KUHP bahwa “si penadah diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus ribu rupiah”.Melihat dari unsur-unsur yang terdapat dari Pasal 482 KUHP bahwa penadah sebagai pelaku atas tindakan dari memegang suatu barang hasil curian tersebut.

Namun, apabila seseorang secara tidak mengetahui bahwa barang yang di pegang atau telah dibeli dari orang lain dan ternyata barang tersebut merupakan barang hasil curian maka pelaku pemegang atau yang membelinya dapat tersandung hukuman atas ketidaktahuan tersebut. Perlunya, suatu penegakan hukum secara edukatif dengan secara prinsip berkeadilan melalui memberikan suatu bukti secara kuat tanpa harus menuduh terlebih dahulu si pelaku ini layak dapat diberikan hukuman atau dijadikan sebagai tersangka. Maka, melalui restorative justice ini menjadi solusi untuk memberikan win-win solution antara para pihak atas mengenai tuduhan penadahan suatu barang tersebut.

Baru-baru ini banyaknya kasus-kasus tindak pidana ringan seperi penghinaan yang diatur melalui Pasal 315 KUHP baik melalui lisan atau tulisan. Seharusnya, penyelesaian perkara mengenai penghinaan dapat dilakukan secara kekeluargaan atau melalui media seperti sistem restorative justice. Hal ini, penulis melihat masalah penghinaan sering sekali diberikan hukuman penjara yang tentunya batas kapasitas (overcapacity) penjara di Indonesia telah melebihi. Secara nasional bahwa tingkat over kapasitas penjara telah melebih 200 persen dan berarti ini sebagai pedoman banyak sistem hukuman di Indonesia lebih mengedepankan pada aspek etika dan mendidik.

Alasan konkret bagi kasus tindak pidana ringan layak untuk diselesaikan melalui restorative justice adalah 1). Untuk memberikan rasa tanggungjawab kepada pelaku atas perbuatannya; 2). Korban mendapatkan pemulihan secara penuh baik secara hak ataupun morilnya; 3).Fokus dalam penyelesaian suatu masalah kasus perkara tersebut; 4). Membantu mengurangi tingkat over kapasitas dalam penjara; dan 5). Hukuman yang mengedepankan nilai-nilai etika dan mendidik. Hukuman tidak lagi sebagai pembalasan atau penderitaan (suffering) melainkan, bagaimana prinsip dari social engineering bahwa hukum adalah pembangunan sosial dengan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia baik korban maupun pelaku untuk tidak dapat mengulangi perbuatannya dan tentu menghapus dendam amarah atas hukuman pelaku yang diberikan dengan cara mendidik.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.