Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan mengenai penggunaan penafsiran dalam hukum pidana dan beberapa asas yang sering digunakan dalam analogi hukum pidana di Indonesia.
Di dalam kegiatan penemuan hukum, salah satu metode yang sering digunakan adalah penafsiran dan analogi hukum. Terdapat beberapa asas/prinsip umum tentang penafsiran dalam hukum pidana. Yaitu:
Pada dasarnya suatu penafsiran atau interpretasi adalah suatu hal yang tidak mungkin dihindari. Hal ini dikemukakan oleh Van Bammelen dan Van Hattum. Secara garis besar terdapat empat metode penafsiran yang umum digunakan, yaitu:
Interpretasi Gramatikal, yaitu makna ketentuan undang-undang ditafsirkan dengan cara menguraikannya menurut bahasa sehari-hari.
Interpretasi Sistematis, yakni menafsirkan ketentuan undang-undang dengan dihubungkan dengan peraturan hukum lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.
Interpretasi Historis, yaitu penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut.
Interpretasi Telelogis/Sosiologis, yaitu menafsirkan makna undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang daripada bunyi dari kata-kata dari undang-undang tersebut.
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo interpretasi dapat dibedakan menjadi interpretasi restriktif dan interpretasi ekstensif.
Interpretasi restriktif adalah menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan membatasi ruang lingkupnya yakni mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa (interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis). Sedangkan interpretasi ekstensif adalah melampaui batas pengertian sesuatu hal menurut interpretasi gramatikal (interpretasi historis, interpretasi telelogis).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Jan Remmelink menambahkan beberapa interpretasi dalam hukum pidana.
Pertama, interpretasi kreatif, interpretasi ini tidak bersifat ekstensif tetapi justru bersifat restriktif. Hakim dengan interpretasi ini mengungkap satu unsur tertentu yang dianggapnya terkandung dalam rumusan pidana, meskipun unsur tersebut tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.
Kedua, interpretasi tradisional, yaitu menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku dalam tradisi hukum.
Ketiga, interpretasi harmoniserende interpretatie, yaitu digunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik antara satu persturan perundang-undangan dengan perundang-undangan lainnya.
Keempat, interpretasi doktriner, yaitu memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu.
Founder Literasi Hukum Indonesia | Orang desa yang ingin berkarya.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini