Opini

Bolehkah Nominee Arrangement dalam Kepemilikan Aset Koperasi?

Radhyca Nanda Pratama, S.H., M.Kn.
306
×

Bolehkah Nominee Arrangement dalam Kepemilikan Aset Koperasi?

Share this article
nominee arrangement
Ilustrasi gambar oleh penulis

Literasi HukumArtikel ini menjelaskan mengenai Nominee Arrangement dalam Kepemilikan Aset Koperasi

Badan Usaha Koperasi

Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha yang berbadan hukum sebagaimana eksistensinya diakui melalui UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian sebagaimana terakhir telah diubah oleh UU No. 6/2023 tentang Penetapan PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Perkoperasian). Dalam aktivitas bisnis bentuk badan usaha Koperasi kerap kali dipandang sebelah mata oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut dikarenakan lantaran para pelaku bisnis lebih condong memilih bentuk badan usaha Perseroan Terbatas (PT) daripada Koperasi.

Advertisement
Advertisement

Salah satu konsekuensi dari diakuinya Koperasi sebagai badan hukum yaitu mempunyai aset (harta kekayaan) tersendiri yang diartikan aset tersebut terpisah dari aset para pendiri atau para pengurus atau anggotanya. Selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh penulis, secara yuridis hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 1 angka 26 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (PMKUKM No. 8/2023) menyatakan bahwa, “aset ialah kekayaan yang dimiliki dan dikelola Koperasi untuk menjalankan operasional usaha dalam bentuk harta lancar dan/atau harta tetap.”

Frasa “harta tetap” dalam Pasal a quo ditafsirkan bahwa harta tetap juga  dimaknai dengan harta kekayaan dengan jenis benda tidak bergerak yang sesuai dengan sifat dan bentuknya yang tidak berubah-ubah. Salah satu contoh benda tidak bergerak adalah tanah. Pertimbangannya hal tersebut sesuai aturan dasar yang berlaku dalam sistem hukum romawi sebagaimana telah menetapkan tanah sebagai benda tidak begerak (Herlien Budiono, 2016: 228).

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (7) huruf a PMKUKM No. 8/2023 jo. SE Deputi Bidang Perkoperasian No. 06/2022 tentang Kewajiban Pencatan Aset Koperasi telah memberikan kewajiban kepada Koperasi untuk mencatatkan atas aset-aset yang dimiliki oleh Koperasi harus atas nama badan hukum Koperasi. Dilihat dari sifat jenis normanya maka aturan kewajiban pencatatan aset milik Koperasi tersebut dikategorikan sebagai peraturan yang bersifat imperatif (dwingend recht).

Sifat norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (7) huruf a PMKUKM a quo sejalan dalam sesuai dengan karakter dwingend recht pada Buku II tentang Kebendaan dalam BW yang bersifat tertutup. Artinya ketentuan terkait kewajiban pencatatan aset milik Koperasi tidak boleh disimpangi dan/atau dilanggar. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 109 PMKUKM a quo mengatur bilamana Koperasi melanggar ketentuan a quo dikenai Sanksi Administratif.

Nominee Arrangement dalam Koperasi

Dalam praktik pemilikan aset berupa tanah oleh Koperasi, masih terdapat Koperasi yang melakukan penyimpangan melalui Nominee Arrangement (pinjam nama). Nominee Arrangement tersebut secara nyata saya temukan pada 2 (dua) Koperasi yang terletak di Provinsi Jawa Timur.

Dengan perkataan lain, saya tidak bermaksud untuk menyudutkan stakeholder perkoperasian, melainkan mencoba untuk menunjukkan Nominee Arrangement, terdapat kesenjangan antara normatifnya dengan praktik di lapangannya. Oleh karena itu, untuk menjaga kerahasiaan dan kepentingan Koperasi yang bersangkutan dalam tulisan ini cukup saya sebutkan kedudukan Koperasi yang bersangkutan saja.

Salah satu Koperasi yang terletak di Kabupaten Mojokerto guna mengakui kepemilikan aset Koperasi berupa tanah melalui pembuatan Akta Pernyataan Contra Letter (Nominee Arrangement). Dalam akta tersebut memuat pernyataan secara sepihak bahwa alas hak yang tercantum dalam sebuah Sertipikat Hak Milik (Nominee Arrangement) tercatat atas nama salah satu Pengurus merupakan aset milik dari Koperasi yang bersangkutan.

Selanjutnya salah satu Koperasi yang terletak di Kota Malang mengakui kepemilikan aset koperasi berupa tanah dan bangunan dengan membuat Akta Perjanjian Pinjam Nama (Nominee Arrangement) . Akta Nominee Arrangement tersebut berisi perikatan antara Koperasi dan salah seorang pengurus yang namanya dipinjam untuk dicantumkan dalam Sertipikat Hak Milik sebagai Sertipikat tersebut merupakan salah satu tanda bukti hak milik Koperasi yang bersangkutan meskipun Sertipikat tersebut atas nama salah satu Pengurus.

Kedua Koperasi tersebut dalam praktik Nominee Arrangement sebagai dasar kepemilikan aset Koperasi melibatkan peran Notaris guna membuat akta-akta yang dimaksud sebelumnya. Seharusnya Notaris yang bersangkutan dalam menjalankan kewenangannya wajib memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta dengan tujuan Nominee Arrangement atas bidang tanah merupakan kausa yang terlarang.

Sistem hukum Indonesia tidak memperbolehkan praktik Nominee Arrangement untuk benda tidak bergerak berupa tanah melalui Pasal 26 ayat (2) UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Mahkamah Agung dalam pendiriannya juga tidak mengakui adanya praktik Nominee Arrangement pada kepemilikan atas bidang tanah. Hal tersebut didasarkan pada SEMA No. 10/2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Sejatinya praktik Nominee Arrengement dalam kepemilikan aset tidak bergerak berupa tanah yang dilakukan oleh Koperasi dikategorikan sebagai tindakan yang mengandung unsur kausa yang terlarang. Oleh sebab itu, untuk menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan kausa yang terlarang, penulis menggunakan penemuan hukum terhadap Pasal 26 ayat (1) UU PA. Selanjutnya melalui realisasi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Amademen Ketiga UU Perkoperasian.

Pertama, melalui konstruksi hukum Analogi dalam rumusan frasa pada Pasal 26 ayat (2) UU PA yang menyatakan bahwa, “……..perbuatan yang dimaksudkan untuk…..tidak langsung memnindahkan hak milik kepada….. badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah, adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh pada negara…”

Hal tersebut dapat dianalogikan bahwa apabila terdapat suatu pernyataan tertulis yang dibuat oleh seseorang dan perjanjian pinjam nama yang dibuat antara orang namanya tercantum dalam Sertipikat dengan Koperasi melalui akta autentik (akta notaris) maupun akta di bawah tangah guna menegaskan bahwa atas kepemilikan bidang tanah merupakan milik dari Koperasi sebagaimana dalam tanda bukti haknya (Sertipikat) tercantum atas nama seseorang yang bersangkutan yang membuat pernyataan tersebut adalah batal demi hukum dan atas bidang tanah tersebut menjadi jatuh pada negara.

Apabila Nominee Arrangement dalam kepemilikan aset dari Koperasi dibuat dalam bentuk perjanjian maka hal tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif dalam syarat keabsahan suatu perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 butir 4 BW, yaitu kausa yang diperbolehkan (halal).

Pada dasarnya telah diakomodir ketentuan mengenai Koperasi dapat memiliki Hak atas Tanah dengan alas hak berupa Hak Milik. Landasan hukum yang melegitimasikan bahwa Koperasi dapat memiliki Hak Milik adalah Pasal 1 huruf b PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah jo. Pasal 52 ayat (1) huruf b butir 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 18/2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak atas Tanah (PMATR No. 18/2021). Parameter yang digunakan untuk menentukan Koperasi Pertanian dapat diberikan Hak Milik adalah Koperasi yang dalam anggaran dasarnya memuat kegiatan usaha Pertanian dan/atau Perkebunan sebagai tunggal usaha atau usaha satu-satunya yang dijalankan.

Kedua, merealisasikan pembahasan dan pengesahan RUU Amandemen Ketiga UU Perkoperasian. Hal tersebut menjadi sebuah urgensi tersendiri dalam rangka pembaharuan hukum bidang perkoperasian. Mengingat UU Perkoperasian (vide UU No. 25/1992) merupakan produk legislasi yang telah usang dan waktunya dilakukan pembaharuan hukum sesuai dengan perkembangan zaman demi mewujudkan unsur kepastian hukum.

Perlu digarisbawahi dalam draf RUU a quo disusun oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah telah mengakomodir terkait kewajiban bagi Pengurus guna mengatasnamakan terhadap segala bentuk aset (harta kekayaan) Koperasi atas nama Koperasi (vide Pasal 50 ayat (2) RUU a quo). Selain itu, apabila Pengurus melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (2) dapat diancam dengan Sanksi Pidana denda minimal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan maksimal Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Berdasarkan dalam ketentuan peralihan dalam draf RUU tersebut menjelaskan bahwa terdapat pembebanan kewajiban bagi Koperasi yang mengatasnamakan segala bentuk aset (harta kekayaan) atas nama pribadi/pihak lain diberikan kesempatan guna melakukan balik nama terhadap aset yang diatasnamakan pribadi/pihak lain menjadi atas nama Koperasi maksimal salama 5 (lima) tahun sejak RUU tersebut diundangkan dan diberlakukan. Tentu hal tersebut bukan perkara yang mudah mengingat dalam proses balik nama aset tersebut menjadi atas nama Koperasi akan memakan biaya yang tidak sedikit.

Ratio Legis dalam Pasal 165 huruf c RUU tersebut terkait jangka waktu balik nama aset menjadi atas nama Koperasi, menurut pendapat saya tujuannya agar tidak mengganggu cash flow dari Koperasi dan sarana pelindungan hukum bagi kreditur apabila aset tersebut sedang diagunkan kepada kreditur yang bersangkutan untuk menjamin pelunasan hutang atas pinjaman yang diterima oleh Koperasi. Sehingga dari hal tersebut dapat memotivasi Koperasi untuk dapat melunasi hutangnya kepada kreditur dan cash flow dari Koperasi tetap terjaga.

Response (1)

  1. Keren.materi bahasannya bagus dn mendalam..smg perkoperasian kita sebagai sukoguru ekonomi kerakyatan semakin maju

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.