Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai jaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan. Kira-kira bagaimana yah sejarah dan perkembangannya? yuk simak penjelasan di bawah ini.
Hukum pidana merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dan negara perihal tindakan yang dilarang. Pada dasarnya, Indonesia telah mengenal hukum pidana jauh sebelum merdeka. Adapun sejarah dan perkembangan hukum pidana di Indonesia adalah sebagai berikut.
Sebelum Belanda menjajah Indonesia, masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia memiliki aturan adatnya masing-masing, termasuk pidana adat yang berbentuk hukum tidak tertulis. Hukum pidana tertulis dimulai semenjak kedatangan Belanda pada 1596.
Belanda memberlakukan hukum kapal, yakni gabungan hukum Belanda kuno dan asas-asas dalam hukum Romawi. Pada tahun 1642, Belanda mengganti hukum kapal menjadi Bataviasche Statuten atau Statuta Betawi yang mengenal beberapa jenis pemidanaan, antara lain penjara, kerja paksa, dan hukuman pukul dengan rantai.
Selain itu, untuk memperkuat pengaruhnya, Belanda juga ikut campur dalam tatanan hukum adat, yakni dengan melakukan kodifikasi:
Pada prinsipnya, Belanda berkeinginan untuk membuat hukum pidana sendiri dan diberlakukan di Indonesia, tetapi justru dijajah oleh Prancis sehingga yang berlaku adalah Code Penal Prancis dalam kurun waktu 1811-1813. Setelah merdeka, pada tahun 1881 Belanda membuat KUHP dan mulai berlaku pada 1886 dengan nama Nedherlands Wetboek van Strafrecht.
Berlandaskan asas konkordansi, KUHP Belanda diberlakukan di Hindia-Belanda dengan pembagian sebagai berikut:
Adanya dualisme hukum pidana mendorong Menteri Kehakiman Belanda untuk melakukan unifikasi hukum dengan melebur empat buku menjadi satu dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nedherlands Indie (selanjutnya disebut “WvS NI”) melalui Koninlijke Besluit 15 Oktober 1915 (Staatsblad 1915 Nomor 732) dan berlaku untuk semua golongan penduduk di Hindia Belanda. WvS NI mulai berlaku pada tahun 1918.
Pada saat Jepang menduduki Hindia-Belanda, berlaku Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 yang mengatur bahwa WvS NI tetap berlaku, tetapi ditambahkan Gunsei Keizirei (undang-undang pidana Jepang) sebagai tambahan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) sebagai konstitusi yang memuat ketentuan Pasal II dan Pasal IV Aturan Peralihan. Aturan tersebut dijadikan dasar oleh Presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 (selanjutnya disebut “PP 2/1945”) tanggal 10 Oktober 1945. Ketentuan tersebut akan menjadi dasar berlakunya WvS NI di Indonesia.
Pada 26 Februari 1946, Presiden bersama Badan Pekerja Komite Nasional Pusat membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut “UU 1/1946”) dengan tujuan untuk menghindari kekosongan hukum. Selain itu, juga sebagai dasar berlakunya KUHP, baik di dalam wilayah Jawa-Madura dan wilayah lainnya. Beberapa poin penting dalam UU 1/1946, antara lain:
Menurut Han Bing Siong dan Prof Soedarto, pasal tersebut hanya berlaku bagi ketentuan di luar KUHP, sedangkan Prof Moeljatno dan Oemar Seno Adji berpendapat bahwa ketentuan tersebut berlaku baik di dalam maupun di luar KUHP.
Mengenai pasal tersebut, Han Bing Siong dan Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Jakarta Raya masih menggunakan WvS NI dengan alasan karena masih digunakannya ketentuan tersebut tatkala terjadi perkara pidana. Wilayah Jakarta Raya baru tunduk pada KUHP setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “UU 73/1958”)
Setelah keberlakuan UU 1/1946, dualisme hukum kembali terjadi sebab bentuk negara berubah menjadi negara serikat dan KUHP hanya berlaku untuk Republik Indonesia dan negara bagian lain yang menggabungkan diri. Di lain sisi, Republik Indonesia Serikat di luar Republik Indonesia, seperti Indonesia Timur, Sumatera Timur, dan Kalimantan masih menggunakan WvS NI.
Dualisme tersebut berakhir setelah UU 73/1958 diundangkan sehingga terjadi unifikasi hukum pidana. Terhadap KUHP yang berlaku hingga saat ini (UU 1/1946 jo. UU 73/1958), terdapat beberapa penambahan, yaitu:
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini