PidanaMateri Hukum

Melawan Kejahatan dengan Whistleblowing: Melindungi Diri dan Mendorong Keadilan

Suci Rizka Fadhilla
983
×

Melawan Kejahatan dengan Whistleblowing: Melindungi Diri dan Mendorong Keadilan

Sebarkan artikel ini
Melawan Kejahatan dengan Whistleblowing: Melindungi Diri dan Mendorong Keadilan
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

Literasi HukumArtikel ini membahas definisi, peranan, serta legalisasi whistleblower di Indonesia, termasuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pelapor tindak pidana seperti korupsi dan pencucian uang.

Apa itu Whistleblowing?

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance, whistleblowing merupakan pengungkapan perbuatan melawan hukum, perbuatan tidak etis, maupun perbuatan lainnya yang merugikan organisasi atau perusahaan. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kemudian seseorang melaporkan atau mengungkap fakta secara rahasia. Selaras dengan itu, Peter Bowden mendefinisikan whistleblowing adalah pengungkapan yang diekspos oleh orang-orang dalam atau dari luar organisasi, yang merupakan informasi yang signifikan terkait korupsi dan pelanggaran yang menjadi kepentingan umum dan tidak tersedia secara publik.

Adapun whistleblower merupakan sebutan bagi seseorang yang telah melaporkan tindakan yang diduga sebagai sebuah tindak pidana di tempat dia bekerja. Tak jarang whistleblower memiliki akses informasi yang memadai untuk melaporkan tindakan yang terindikasi sebagai tindak pidana karena pada dasarnya whistleblower berasal dari orang terdekat dari pelaku atau “orang dalam” di tempat kerja pelaku. Maka dari itu, acap kali whistleblower digelari sebagai pemukul kentongan, peniup peluit, dan menguak fakta. 

Whistleblower memegang peranan penting dalam membongkar bermacam kejahatan, seperti tindak pidana korupsi, kecurangan manajemen administratif, serta berbagai kejahatan yang merugikan keuangan perusahaan ataupun negara. Itu semua dapat terungkap dengan adanya laporan dari whistleblower. Lebih lanjut, berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2011, ruang lingkup whistleblower ini meliputi tindak pidana tertentu, antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, dan tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Adapun yang membedakan whistleblower dengan pelapor biasa, yakni whistleblower sudah pasti datang dari internal, sedangkan pelapor adalah orang luar yang mengetahui adanya tindak pidana. Lebih lanjut, whistleblower mengungkap dugaan tindak pidana tertentu sedangkan pelapor sebutan untuk semua orang yang melaporkan dugaan tindak pidana apapun yang diatur KUHP

Legalisasi Whistleblower di Indonesia

Norma whistleblower pada Pasal 10 Ayat 1 UU No. 31 Tahun 2014 Jo 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut:

Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.

Norma whistleblower pada Pasal 41 Ayat 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai berikut:

  1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi terkait adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
  2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
  3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
  4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
  5. hal untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal, sebagai berikut:
  6. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
  7. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  8. masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah pemberantasan tindak pidana korupsi 
  9. hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat 93) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya
  10. ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Norma whistleblower pada Pasal 2 Ayat 1 PP No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: 

Setiaq orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.

Norma whistleblower pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebagai berikut:

  1. perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga pelapor dan saksi dari ancaman fisik atau mental 
  2. perlindungan terhadap harta pelapor dan saksi 
  3. kerahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan saksi,, dan/atau pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara 

Norma whistleblower pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 02 Tahun 2002 Tentang Tata Cara perlindungan korban dan saksi dalam pelanggaran Hak asasi Manusia yang berat sebagai berikut:

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

  1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental
  2. Kerahasiaan identitas korban atau saksi; 
  3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka

Norma whistleblower pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi, Penyidikan, Penuntutan Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut:

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh aparat hukum dan aparat keamanan berupa: 

  1. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental
  2. kerahasiaan identitas saksi
  3. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka

Norma whistleblower pada Pasal 33 Undang-undang No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, sebagai berikut:

Setiap negara peseta wajib mempertibangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya “untuk memberikan kekebalan penuntutan” bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan (whistleblower) yang ditetapkan dalam konvensi ini.

Bentuk Perlindungan terhadap Whistleblower

Beberapa bentuk perlindungan bagi whistleblower yang dinilai cukup komprehensif, tidak hanya mencakup wilayah hukum pidana juga mencakup cabang hukum lainnya, yakni:

  1. Kerahasiaan. Hampir semua negara menyediakan kerahasiaan untuk identitas whistleblower, sampai batas tertentu. bahwa orang yang dituduh kesalahan harus diberitahu tentang sifat dari tuduhan tersebut melawan mereka dan mereka diizinkan untuk membantunya. Investigasi dari sebuah pengungkapan whistleblower akan menyebabkan terbukanya informasi ketika sedang memeriksa yang akhirnya dapat mengungkapkan identitas whistleblower,
  2. Pembatasan atas pembalasan. Melarang pembalasan kepada whistleblower agar dihukum dan diancam pidana maksimal.
  3. Tindakan atau perintah-perintah pengadilan. Beberapa peraturan whistleblower di beberapa negara, memungkinkan untuk whistleblower agar mendapatkan perintah pengadilan yang melarang pembuatan pembalasan. 
  4. Mendapat prosedur penggantian kerusakan. Undang-undang harus membatasi bahwa bagi seorang individu yang mendapatkan pembalasan dapat melakukan gugatan.
  5. Right to relocate. Hak untuk direlokasi atau mendapatkan penggantian pekerjaan.
  6. Civil and criminal indemnity. Ganti rugi melalui pidana dan perdata.
  7. Absolute privilege against defamation, yaitu bebas terhadap ancaman pencemaran nama baik.

Whistleblower sangat berperan penting dalam proses peradilan sebab mempermudah penegak hukum dalam mencari informasi terkait dengan dugaan tindak pidana tertentu. Selain itu, whistleblower menjadi bagian dari social engagement yang melibatkan masyarakat dalam proses peradilan, terlebih korupsi termasuk extraordinary crime yang harus dicegah dan diberantas dengan cepat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Untuk itu, selain memberikan perlindungan haruslah diberikan penghargaan karena telah bekerja sama untuk memberitahu dan mengungkap fakta akan terjadinya suatu tindak pidana tertentu di lingkungan sekitarnya.

Referensi

  1. Eddyono, Supriyadi. 2014. Tantangan Perlindungan Whistleblower di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
  2. Wahyudin, Ade dkk. 2017. Manual Pelatihan Whistleblower dan Narasi Materi. Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Pers. 
  3. Pratama, Bagus dan Budiarsi. “Analisis Kebijakan Justice Collaborator dan Whistleblower dalam Tindak Pidana Korupsi”. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social Political Governance. Vol. 3 No. 1 Januari – April 2023.
  4. Samendawai AH, dkk. 2011. “Memahami Whistleblower”. Jakarta Pusat: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Diakses pada 18 Mei 2023 di halaman www.lpsk.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.