Opini

Analisis Penafsiran Hukum Hakim pada Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor : 610 K/Pid.Sus/2020

Dini Wininta Sari, S.H.
1374
×

Analisis Penafsiran Hukum Hakim pada Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor : 610 K/Pid.Sus/2020

Sebarkan artikel ini
Penafsiran Hukum Hakim
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas tentang metode penafsiran hukum sistematis dan historis dalam putusan hakim perkara tindak pidana korupsi beserta penjelasannya.

Penafsiran Hukum dan Konstruksi Hukum oleh Hakim dalam Memutus Perkara

Hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih belum terdapat undang-undang yang mengatur suatu peristiwa konkrit yang didaftarkan ke pengadilan. Untuk itu, undang-undang mengharuskan hakim menggali dan menemukan hukum yang hidup di masyarakat. Penafsiran dan konstruksi hukum adalah metode yang dipakai hakim dalam menerapkan dan menemukan hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum dan digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit.

Secara yuridis maupun filosofis, hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan penafsiran hukum agar putusan yang diambilnya sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut berlaku bagi seluruh hakim dalam semua lingkungan peradilan dan pada ruang lingkup pengadilan tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi.

Hukum pidana menerapkan asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam suatu undang-undang. Hukum acara pidana juga sebagai hukum prosedural yang mengatur tentang bagaimana hukum pidana materiil dilaksanakan serta harus diberlakukan secara ketat. Dengan demikian, interpretasi yang dapat digunakan untuk menafsirkan pasal sangat terbatas pada interpretasi gramatikal dan sistematis, atau yang paling jauh secara historis dan teleologis dilihat dari tujuan yang ingin dicapai.

Uraian Singkat Putusan Mahkamah Agung Nomor 610 K/Pid.Sus/2020

Penulis mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 610 K/Pid.Sus/2020, yakni perkara korupsi secara bersama-sama Nasir L.,S.Sos. Putusan tersebut merupakan putusan kasasi yang ditolak hakim dengan perbaikan terkait amar putusan sebelumnya, yakni Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 24/PID SUS TPK/2019/PT.MKS, tanggal 12 September 2019 yang menguatkan Putusan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 20/PID.SUS/TPK/2019/PN Mks, tanggal 16 Juli 2019. Perbaikan tersebut yakni mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan dan uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa Nasir, L. S.Sos, dengan pertimbangan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh perbuatan Terdakwa cukup signifikan jumlahnya, serta untuk konsistensi putusan dan kesatuan pendapat hukum dalam praktik pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 610 K/Pid.Sus/2020 ini berkaitan dengan penafsiran sistematis dan historis. Secara konseptual, penafsiran yang dilakukan hakim dalam putusan tersebut adalah benar menurut metode penafsiran hukum dan telah sesuai dengan prosedural hukum acara. Adapun penafsiran yang dilakukan oleh hakim dalam putusan tersebut adalah menafsirkan beberapa ketentuan undang-undang, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Pemberantasan Tipikor).

Penafsiran Hukum Sistematis dalam Pasal 244 dan Pasal 245 KUHAP

Dalam pemahaman dari sudut keadilan, menghendaki bahwa putusan-putusan pengadilan haruslah dilandasi nilai-nilai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut, dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan-putusan kasasi kasus Nasir L., S.Sos, penulis menganalisis masalah diterimanya pengajuan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dari beberapa kajian teori, yaitu: pertama penafsiran hukum oleh Mahkamah Agung terhadap ketentuan undang-undang mengenai pengajuan kasasi tersebut adalah penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP sebagai dasar acuan pengajuan kasasi.

Kedua, berkaitan dengan penafsiran sistematis yaitu penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri. Penafsiran hukum sistematis dapat pula terjadi apabila naskah hukum yang satu dengan naskah hukum lainnya, yang mana keduanya mengatur hal yang sama, dikorelasikan dan dibandingkan satu sama lain. Menurut Visser’t Hoft bahwa sebuah sistem hukum yang berfokus pada kodifikasi tentu mengacu pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang dalam hal ini KUHAP, yang mana ketentuan-ketentuan yang termuat di dalamnya saling berhubungan dan sekaligus keterhubungan tersebut mampu menentukan suatu makna.

Mengacu pada Putusan Nomor 610 K/Pid.Sus/2020 ini, permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, yaitu Pasal 245 KUHAP, maka permohonan kasasi Penuntut Umum tersebut secara formal dapat diterima.

Penafsiran Hukum Sistematis berdasar pada Pasal 253 ayat (1) KUHAP

Alasan-alasan (pertimbangan) hakim pada tingkat kasasi menolak permohonan kasasi dengan perbaikan salah satunya adalah terkait kewenangan Judex Juris yang dimiliki Mahkamah Agung untuk mengadili perkara. Alasan kasasi yang diajukan Penuntut Umum hanya menguraikan fakta hukum persidangan dalam memori kasasinya. Keberatan Penuntut Umum tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena merupakan perbedaan penafsiran atas fakta hukum persidangan yang merupakan penilaian hasil pembuktian yang menjadi dasar kewenangan Judex Facti dalam hal ini bukan wewenang Hakim Agung.

Hakim Agung sebagai hakim kasasi tentu tidak merekonsiliasi fakta-fakta, tetapi hanya menilai apakah Judex Facti benar atau salah dalam menegakkan hukum. Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan Penuntut Umum guna menentukan:

  1. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
  2. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan
  3. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Penafsiran hukum sistematis dilakukan pada Pasal 253 ayat (1) KUHAP tersebut, Hakim Agung memiliki wewenang Judex Juris, yang mana dalam perkara korupsi bersama-sama Nasir L.,S.Sos. hakim membenarkan putusan-putusan sebelumnya, yakni Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 24/PID SUS TPK/2019/PT.MKS, tanggal 12 September 2019 yang menguatkan Putusan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 20/PID.SUS/TPK/2019/PN Mks, tanggal 16 Juli 2019.

Hakim berpendapat bahwa alasan kasasi dari Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama”, melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, sebagaimana dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum adalah putusan yang tidak salah menerapkan hukum dan telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku serta tidak melampaui kewenangannya.

Penafsiran Hukum Sistematis dalam Pasal 254 KUHAP

Kemudian penafsiran hukum sitematis pada putusan a quo juga berkaitan dengan Pasal 254 KUHAP yang menjelaskan bahwa “Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246, dan Pasal 247 mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi”. Permohonan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum pada putusan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246, dan Pasal 247 KUHAP terkait dengan mekanisme dan tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi. Hakim Agung dalam putusan tersebut menyatakan menolak Permohonan Kasasi dengan perbaikan karena alasan-alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Penafsiran Hukum Historis (Sejarah Hukum)

Dalam Putusan a quo, hakim juga melakukan penafsiran hukum sejarah hukum, yaitu penafsiran dengan cara menentukan arti suatu rumusan norma hukum dapat memperhitungkan sejarah isi norma atau pengertian hukum dengan cara mencari keterkaitan dengan pendapat penulis-penulis, atau konteks kemasyarakatan masa lalu. Mengacu pada Putusan Judex Factie sebelumnya (Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi), Hakim berpendapat masih perlu diperbaiki mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan dan uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa, dengan pertimbangan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh perbuatan Terdakwa cukup signifikan jumlahnya, serta untuk konsistensi putusan dan kesatuan pendapat hukum dalam praktik pemberantasan tindak pidana korupsi.

Selain itu, uang yang dikorupsi oleh Terdakwa yang melibatkan orang lain atau korporasi merupakan kerugian terhadap keuangan Negara. Dalam putusan kasasi tersebut, Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 170.059.987,00 (seratus tujuh puluh juta lima puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh tujuh rupiah).

Referensi

  • Amdani, Yusi. “Implikasi Penafsiran Undang-Undang Oleh Hakim Praperadilan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Mimbar Hukum – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 27, no. 3 (10 Februari 2016): 459.
  • Jati, Bintang Indara, Edwin Nindya Perdana, dan Novi Kusumawati. “Analisis Yuridis Pertimbangan Mahkamah Agung Menerima Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Pidana Oleh Jaksa.” Jurnal Verstek 3, no. 1 (2015).
  • Khalid, Afif. “Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan di Indonesia.” Al-’Adl VI, no. 11 (2014): 28.
  • Larasati, Gita. “Analisis Pertimbangan Hukum Oleh Hakim dalam Putusan Praperadilan tentang Penetapan Status Tersangka.” Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2017.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.