LingkunganOpini

Apakah Kualitas Demokrasi Berkorelasi terhadap Lingkungan Hidup?

Redaksi Literasi Hukum
184
×

Apakah Kualitas Demokrasi Berkorelasi terhadap Lingkungan Hidup?

Share this article
Apakah Kualitas Demokrasi Berkorelasi terhadap Lingkungan Hidup?
Apakah Kualitas Demokrasi Berkorelasi terhadap Lingkungan Hidup?

Literasi Hukum – Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan keterkaitan demokrasi dan lingkungan dalam daya dukung pembuatan kebijakan di Indonesia dalam bingkai pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana seharusnya sistem ideal dapat dibangun dalam kondisi Indonesia yang sedang mengalami regresi demokrasi (democratic regression).

Oleh: Murti Ayu Hapsari ( Dosen HTN FH Universitas Janabadra Yogyakarta)

Regresi Demokrasi

Isu terkait dengan regresi demokrasi yang melanda Indonesia telah menjadi perhatian banyak akademisi. Regresi demokrasi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai keadaan melemahnya institusi demokrasi, dalam konteks ini demokrasi tidak didefinisikan secara sempit yang hanya berkaitan dengan pemilihan umum atau electoral democracy, namun juga mencakup implementasi pemisahan kekuasaan yang sehat, tegaknya penjaminan hak asasi manusia khususnya hak sipil, serta berfungsinya aparat penegak hukum dan rule of law.

Indonesia selepas Reformasi Tahun 1998 mendapatkan pengakuan internasional sebagai salah satu powerhouse negara demokrasi di Asia. Negara ini mendapatkan perhatian karena dapat berfungsi baik sebagai sebuah negara demokrasi meskipun memiliki latar belakang rakyat yang multi-etnis dan multi-agama (Thomas & Warburton, 2021).

Namun beberapa studi menunjukkan gejala regresi demokrasi terjadi di Indonesia sejak tahun 2009. Data terbaru yang dirangkum oleh Freedom House tahun 2023, Indonesia masih tergolong dalam negara yang partly free dengan skor 58/100, beberapa hal terkait dengan hak-hak sipil masih memiliki skor rendah (House, 2023). Trajektori perkembangan demokrasi dikaji menunjukkan banyaknya tantangan yang seharusnya menjadi catatan bagi pemangku kekuasaan, terutama dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan.

Partisipasi Publik Tumpuan Demokrasi

Dikutip dari Inter-Parliamentary Union yang menyatakan; “Public participation is the bedrock on which democracy rests”(terjemahan: partisipasi publik merupakan tumpuan dasar dari pelaksanaan demokrasi) (Union, 2016).

Partisipasi publik yang seimbang memperkaya kualitas dan jalannya demokrasi, menjamin proses serta produk pembuatan kebijakan memiliki tingkat legitimasi politis (political legitimacy), serta meningkatkan skala transparansi dan akuntabilitas bagi pemerintah. Permasalahan muncul di Indonesia ketika pembuatan undang-undang melalui metode fast-track legislation yang mulai digunakan pada awal tahun 2019.

Ibnu Sina Chandranegara berargumen bahwa sistem pembuatan undang-undang melalui fast-track tidak dikenal di Indonesia, namun seolah-olah dipraktikkan. Sesuai dengan namanya, fast-track legislation merupakan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan secara kilat.

Kritik yang muncul di setiap negara yang mengadopsi sistem ini adalah sama; potensi hilangnya partisipasi publik dan kurangnya transparansi (Chandranegara, 2021).

Beberapa pihak menilai bahwa produk perundang-undangan yang lahir melalui proses ini mengalami penurunan kualitas. Prosesnya yang kurang transparan juga mengindikasikan adanya pembuatan kebijakan yang cenderung pragmatis (pragmatism policymaking).

Contoh paling mayor dalam konteks ini adalah proses pembuatan Undang-undang Cipta Kerja dan Perubahan Undang-undang Mineral dan Batubara. Dalam hal ini penulis lebih fokus menjadikan Undang-undang Cipta Kerja sebagai gambaran contoh.

Undang-Undang Cipta Kerja dan Lingkungan Hidup

Indonesia sebagai negara yang memiliki komitmen serta ambisi tinggi dalam hal perlindungan lingkungan, menjadi paradoks pasca pengesahan Undang-undang Cipta Kerja. Kontroversi serta tekanan keras dari publik, khususnya pemerhati lingkungan dalam diskursus Undang-undang ini sangatlah jelas, bahwa nantinya Undang-undang ini berpotensi menimbulkan dampak negatif pada kelangsungan lingkungan hidup.

Hal ini terbukti dari kajian yang dilakukan Sudharto, dkk yang menunjukkan fakta bahwa Undang-undang Cipta Kerja (1) tidak mengedepankan aspirasi dari aktivis lingkungan dan akademisi dan (2) merupakan ancaman pada kelangsungan lingkungan hidup (Hadi et al., 2023).

Poin kedua tersebut di atas terbukti ketika Mahkamah Konstitusi menetapkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menetapkan Undang-undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat dan secara formil memang dibentuk tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Undang-undang ini kemudian secara kontroversial “dihidupkan kembali” oleh legislatif dan eksekutif melalui mekanisme penerbitan Perppu, semakin mengisolasi kepentingan dan partisipasi publik di dalamnya. Berdasarkan argumen di atas, maka poin yang dikedepankan penulis adalah pentingnya pembentukan peraturan yang demokratis partisipatif dalam mewujudkan keberlangsungan lingkungan.

Legislasi Hukum Lingkungan dalam Instrumen Internasional

Ketentuan mengenai pentingnya partisipasi publik dalam isu lingkungan juga telah diakomodasi dalam beberapa instrumen internasional, UNCED 1992, UN Millenium Declaration 2000, dan Monterey Consensus. Namun terdapat satu konvensi yang diakui sebagai tonggak sejarah dalam demokrasi dalam pembentukan kebijakan lingkungan, yaitu Konvensi Aarhus. Konvensi ini diadopsi menjadi standar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di Eropa bahkan secara global (Ivalerina, 2021).

Berkaitan dengan sistem kontrol dan preventif, kerangka kerja yang dibangun oleh Inggris dapat dijadikan percontohan yang baik. Pemerintah Inggris mengutamakan adanya measurement yang jelas dan terukur dalam pembentukan kebijakan sehingga dibentuklah Sustainable Development Comission dan Environtmental Audit Committee yang bertugas untuk memonitor apakah kebijakan dirumuskan sudah selaras dengan SDGs dan standar partisipasi publik.  Lebih lanjut, seluruh institusi publik juga telah dikondisikan dan diwajibkan untuk mewujudkan hal tersebut (Jenkins, 2002).

Catatan terakhir: peran, fungsi, dan tujuan hukum secara umum tidak akan dapat menjadi apa yang telah dicita-citakan tanpa ada pelibatan publik di dalamnya. Produk perundang-undangan yang dibuat terisolasi dari kepentingan dan partisipasi publik dapat dipastikan akan mendapat tekanan dan perlawanan.

Dilihat dari perspektif politis, kebijakan yang dibentuk dengan minim partisipasi publik secara logis juga minim legitimasi politis, artinya kurangnya transparansi serta akuntabilitas yang dapat dipertanyakan. Ditinjau dari sisi dampak, akan sulit untuk menjadi sarana engineering bagi masyarakat.

Mengutip Principle 10 UNCED 1992, hal yang perlu digarisbawahi adalah partisipasi publik dalam isu lingkungan adadalah sesuatu yang obligatory dan dapat dikategorikan dalam dalam rezim hak asasi manusia. Artinya memberikan akses bagi partisipasi publik merupakan salah satu cara untuk membuka memberikan akses pada keadilan itu sendiri.

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

AMDAL dalam hukum di Indonesia
Lingkungan

Seiring maraknya isu kerusakan lingkungan akhir-akhir ini, konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL seringkali menjadi diskursus tersendiri di kalangan pemerhati lingkungan, praktisi hukum serta masyarakat publik. Lalu apa sebetulnya AMDAL dan bagaimana cara regulasi AMDAL terbentuk sebagai salah satu instrumen yang memproteksi keadaan lingkungan di Indonesia?

Politik dinasti dalam perspektif demokrasi
Opini

Literasi Hukum – Politik dinasti merupakan salah satu fenomena yang kerap dijumpai dalam proses pemilu. Tak jarang, hal tersebut menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat. Mengingat, negara dengan…