OpiniPidana

Eksistensi Prinsip Dominus Litis yang Dimiliki oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Dini Wininta Sari, S.H.
1035
×

Eksistensi Prinsip Dominus Litis yang Dimiliki oleh Kejaksaan Republik Indonesia

Sebarkan artikel ini
Dominus Litis
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Artikel ini membahas tentang arti dan relevansi prinsip Dominus Litis dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Prinsip ini menunjukkan kedudukan Kejaksaan sebagai pengendali perkara dan satu-satunya badan yang berwenang untuk menentukan suatu perkara layak atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP). Artikel ini juga membahas tentang keterlibatan Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dan bagaimana penerapan prinsip ini dapat meningkatkan profesionalisme dan integritas Jaksa di mata publik dalam menuntut kasus-kasus pidana.

Dalam rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum serta menegakkan hak asasi manusia, Kejaksaan sebagai lembaga di bidang penuntutan dalam sistem peradilan pidana turut andil dan memiliki keterlibatan yang strategis. Namun, pada kenyataannya sering timbul permasalahan pada kelembagaan Kejaksaan itu sendiri, seperti terjadinya bolak-balik pengiriman berkas perkara dari penyidik Kepolisian ke Kejaksaan akibat adanya pengkaplingan wilayah dalam KUHAP yang tampak kaku. Padahal berdasar prinsip Dominus Litis, Kejaksaan menjadi organ utama negara dalam pengendalian perkara dan menjadi satu-satunya institusi yang dapat menentukan tidaknya suatu perkara dapat diajukan ke tahap selanjutnya. Implementasi prinsip ini dapat tergambar ketika Jaksa diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan bersama dengan penyidik Kepolisian.

Arti Prinsip Dominus Litis 

Sesuai Pasal 11 Pedoman PBB tentang Peranan Jaksa, menyatakan bahwa Jaksa harus berperan aktif dalam proses penanganan perkara pidana, termasuk melakukan penuntutan, penyidikan hingga pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan, dan menjalankan fungsi lain berdasarkan undang-undang secara independen. Makna dari “melakukan penuntutan” adalah posisi Kejaksaan sebagai penuntut umum tunggal (single prosecution system) dalam sistem peradilan pidana.

Eksistensi kewenangan Kejaksaan di Indonesia dalam melakukan penuntutan berkaitan erat dengan prinsip Dominus Litis. Secara etimologis, “dominus” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “pemilik”, sedangkan“litis” artinya “perkara”. Sehingga, jika diterjemahkan “dominus litis” berarti “pengendali perkara”. Konsekuensi dari prinsip ini, bahwa penuntut umum merupakan pengendali perkara dan satu-satunya badan yang berwenang untuk menentukan suatu perkara layak atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP). Kemudian sejalan dengan prinsip bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondelbaar), maka tidak ada suatu lembaga manapun yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama negara.

Relevansi Prinsip Dominus Litis pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Dalam sistem peradilan pidana, keterpaduan (integrated) dalam penegakan hukum dirasakan lebih efektif dan efisien dibanding penegakan hukum yang berjalan sendiri-sendiri (disintegrated), selanjutnya keterpaduan perlu diikuti oleh setiap penegak hukum untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

KUHAP telah memberi penjelasan secara terperinci mengenai tugas-tugas mulai dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan serta hakim sebagai pemutus perkara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Kedudukan Jaksa selaku Dominus Litis dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mampu mewujudkan hubungan yang sinergis antar aparat penegak hukum dalam rangka melaksanakan tugas penegakan hukum yang mampu menjamin terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hal ini dikarenakan Jaksa sebagai tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. 

Penggunaan prinsip Dominus Litis perlu diterapkan dengan benar dan tepat sasaran, agar konsep mengenai sistem peradilan pidana dapat terimplementasi dalam bekerjanya sub sistem dalam peradilan pidana serta meningkatkan profesionalisme dan integritas Jaksa di mata publik dalam menuntut kasus-kasus pidana. 

Eksistensi prinsip Dominus Litis dalam penuntutan terhadap tindak pidana yang terjadi saat ini telah bersifat jelas dan limitatif, dan tertuang di dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, KUHAP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta peraturan pelaksanaannya secara teknis yang dituangkan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-069/A/JA/07/2007 tentang Ketentuan-Ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

Mencermati hal tersebut, maka semakin jelas dan tegas bahwa regulasi tersebut telah merumuskan adanya kewenangan penuntutan pada Kejaksaan yang bersifat mutlak, sehingga menegaskan bahwa prinsip Dominus Litis memiliki peran penting dalam implementasi tugas dan wewenang penuntutan terhadap terjadinya tindak pidana oleh Jaksa selaku penuntut umum. 

Penguatan eksistensi prinsip Dominus Litis tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, di mana Penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya SPDP. Berdasar pada putusan MK tersebut yang menjadi kewenangan seorang Jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan. Hal ini berkaitan dengan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP. 

Potensi Konflik Penerapan Prinsip Dominus Litis 

Prinsip Dominus Litis memiliki potensi untuk meningkatan efektivitas pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebelum diperiksa di sidang pengadilan (pra-ajudikasi) dimana adanya tanggung jawab bersama antara pihak penyelidik, penyidik, dan penuntut umum dalam menyiapkan berkas sebelum ke pengadilan serta tidak adanya sekat antara antar lembaga dalam menangani suatu perkara. Pada prinsip Dominus Litis, Kejaksaan dianggap sebagai “penguasa perkara” pada suatu perkara. Hal ini juga perlu ditegaskan dengan adanya formulasi prinsip Dominus Litis pada perubahan KUHAP.

Selama ini, budaya hukum dalam pelaksanaan tahap pra-ajudikasi memberikan batasan tersendiri antara pihak Kepolisian selaku penyelidik maupun penyidik dengan Jaksa selaku penuntut umum. Sebelum perkara lanjut ke tahap ajudikasi (pemeriksaan persidangan), penuntut umum bertanggung jawab penuh pada urusan berkas-berkas perkara terkait penuntutan di muka pengadilan. Hal ini tercantum dalam Pasal 137 KUHAP. Meskipun Kejaksaan diberi kewenangan dalam mempersiapkan berkas pra-ajudikasi, namun masih terdapat potensi konflik apabila prinsip Dominus Litis diberlakukan, utamanya potensi konflik antara Penyidik dengan Penuntut Umum, seperti :

Kesalahpahaman antar Penegak Hukum dalam Menyiapkan Berkas Penuntutan

Pada praktiknya, Kepolisian (penyelidik dan penyidik) diberi kekuasaan lebih dominan dalam mempersiapkan berkas pra-ajudikasi. Dengan adanya prinsip Dominus Litis, Jaksa diberikan tanggung jawab yang sama dalam mempersiapkan berkas terkait. Apabila prinsip Dominus Litis diterapkan, maka dapat menimbulkan kesalahpahaman antara polisi dan jaksa mengenai budaya dalam hal menyiapkan berkas pra-ajudikasi.

Penyeragaman Berkas Penuntutan

Guna memangkas waktu dalam menyiapkan berkas penuntutan, maka Jaksa perlu diikutsertakan dalam penyidikan. Prinsip dominus litis menandakan bahwa Jaksa merupakan penguasa suatu perkara. Sehingga, perlu adanya kolaborasi dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam menyiapkan berkas pra-ajudikasi karena Jaksa juga berwenang untuk mengetahui, mengawasi, dan berpendapat atas suatu perkara tersebut.

Referensi

  • Effendi, Tolib. Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013.
  • Perbawa, Gede. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas Dominus Litis dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum.” Arena Hukum 7, no. 3 (1 Desember 2014): 325–42.
  • RM. Surachman, dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
  • Yusni, Muhammad. “The Problematics of the Implementation of the Dominus Litis Principles in the Perspective of the Jurisdiction.” Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) 3, no. 4 (2020).

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.