PremiumIlmu HukumMateri Hukum

Memahami 2 Teori dalam Tujuan Hukum

Adam Ilyas
1847
×

Memahami 2 Teori dalam Tujuan Hukum

Sebarkan artikel ini
tujuan hukum
Ilustrasi Gambar

Literasi HukumDari sekian banyak pendapat yang ada mengenai tujuan hukum, apabila hendak diinventarisasi hanyalah terdapat dua teori, yaitu teori etis dan teori utilitas. Kedua teori ini merupakan landasan dari teori atau pendapat lainnya, dan terori lainnya itu merupakan varian atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas.

Teori Etis dalam Tujuan Hukum

Filsuf Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere (slogan lengkapnya iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere) yang dapat diartikan “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan komutatif (keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jasanya) dan keadilan distributif (keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan).

Disebut dengan toeri etis karena isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai mana yang adil dan mana yang tidak adil. Teori ini oleh L.J. Van Apeldoorn dianggap berat sebelah karena terlalu mengagungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Adapun peraturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum.

Teori Utilitas dalam Tujuan Hukum

Jeremy Bentham, seorang pakar hukum asal Inggris, mengemukakan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagium yang terkenal adalah “the greatest happiness for the greatest number” (kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbanyak). Teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis terkenal yang dikumandangkan oleh Ulpianus dalam Digesta, “lex dura sed tament scripta” atau “lex dura sed ita scripta” yang kalau diterjenahkan artinya “undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya.”

Kedua teori di atas mengandung kelemahan yang sama, yaitu tidak seimbang atau berat sebelah. Akibat mengagungkan keadilan, maka teori etis mengabaikan kepastian hukum. Jika kepastian hukum terabaikan, maka ketertiban akan terganggu. Padahal justru dengan ketertiban. Keadilan bisa terwujud dengan baik. Sebaliknya, karena terlalu mengagungkan kegunaan, teori utilitas mengabaikan keadilan. Justru hukum dapat berfaedah, apabila sebanyak mungkin menegakkan keadilan.

 Berdasar dari kelemahan-kelemahan kedua teori tersebut, muncul banyak teori turunan atau gabungan dari kedua teori tersebut, yang tidak terlalu menonjolkan keadilan atau menonjolkan kemanfaatan.

Sampai hari ini pun, perkembangan teori tujuan hukum masih tetap berlangsung. Beberapa contoh dari perkembangan teori tujuan hukum yang dapat dipakai untuk mendalami makna sebenarnya dari tujuan hukum antara lain:

  1. Betapa pun, tujuan hukum adalah untuk menciptakan damai sejahtera dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itulah perlu dirujuk pandangan Ulpianus yang menyatakan: iuris praecepta sunt haec: honeste vivere, alterum non-ladere, suum cuique tribuere yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya “perintah hukum adalah: hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia, dan setiap orang mendapatkan bagiannya.
  2. Dalam perbincangan mengenai tujuan hukum ini, perlu juga dikemukakan pendapat Bellefroid yang menyatakan “het recht beoogt de geestelijke, zedelijke en stoffelijke behoeften der gemenschaap op passende wijze te bevredigen of ook: de persoonlijkheid der mensen in het gemeenschapsleven te volmaken, d.w.z. de gemeenschap zo te ordenen, dat de persoon zijn geestelijke, zedelijke, en lichamelijke vermogens daarin ontplooien en tot hun hoogste ontwikkeling brengen” (Terjemahan Bebas: hukum berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmani, kejiwaan, dan rohani masyarakatnya, atau juga meningkatkan kepribadian individu-individu dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, apabila dikatakan bahwa masyarakat dalam keadaan tertib berarti setiap orang di dalam masyarakat tersebut dapat mengembangkan keadaannya baik secara jasmani, pikiran, maupun rohaninya).
  3. Inilah maksud dan tujuan hukum yang sebenar-benarnya. Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.
  4. Perundang-undangan tertua yang diketahui dari studi hukum ialah perundangan Hammourabi, Raja Babylonia (± 2000 tahun SM). Maksud tujuan hukum dalam perundang-undangan itu, berintikan ketentuan yang menyatakan “janganlah hendaknya yang kuat merugikan yang lemah.”
  5. Tujuan hukum versi teori pengayoman (pengayoman sebagai lambang keadilan yang disimbolkan dengan pohon beringin. Ditemukan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo untuk menggantikan simbol keadilan negara barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (putri Ouranos dan Gala).

Menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Adapun yang dimaksud secara pasif, yaitu mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya yakni:

  • mewujudkan ketertiban dan keteraturan;
  • mewujudkan kedamaian sejati;
  • mewujudkan keadilan; dan
  • mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Keadilan

Seperti halnya akan hak dan kewajiban, pembahasan mengenai keadilan akan menjadi pembahasan yang seolah-olah tidak pernah ada habisnya. Kehidupan seorang manusia tidak akan pernah lepas dari pertanyaan dan pernyataan, “apakah saya sudah mendapatkan keadilan?”, “ini adil versi siapa, saya atau kamu?”, “ini sangat tidak adil!”, “saya butuh keadilan”, kecaman-kecaman terhadap subjek lainnya tentang keadilan juga sering terlontar, “ah wasitnya tidak adil, berat sebelah, pantas saja dia bisa menang”, “gimana sih ibu ini, kok kasih nilai saya D, padahal saya kan sudah ngumpulin tugas, ibu ini ndak adil”, atau bahkan karena khilaf atau memang tipis imannya seseorang pernah mengatakan “Tuhan tidak adil”, padahal kita ketahui bahwa Tuhan Maha adil dan Tuhan tidak mungkin salah dalam memberikan sesuatu kepada hamba-Nya.

Lantas apakah yang dinamakan adil atau keadilan itu? Pemaknaan terhadap adil atau keadilan memerlukan proses perenungan dan pemahaman yang tidak sebentar, seseorang bisa saja merasakan adil atau ketidakadilan dalam waktu yang berbeda atau bersamaan. Pencarian terhadap hakikat adil atau keadilan yang sebenarbenarnya akan terus berlangsung selama manusia hidup di dunia ini, barulah setelah di akhirat manusia akan merasakan adil yang seadiladilnya.

Hanya Pengadilan Tuhan yang mampu memberikan itu. Persoalan memikirkan makna keadilan ini telah lama menjadi objek pemikiran setiap manusia. Paling umum adalah teori keadilan oleh filsuf Aristoteles yang memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere (slogan lengkapnya iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere) yang dapat diartikan “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan komutatif (keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jasanya) dan keadilan distributif (keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasajasa perseorangan).

Dalam perkembangannya, macam keadilan ini tidak hanya terbatas pada keadilan komutatif dan distributif saja, tetapi juga ada yang disebut keadilan vindikatif (memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya), keadilan kreatif (memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya), keadilan protektif (memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang), dan keadilan legalis (keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Hukum

Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal.

hukum dan keadilan
Stasiun Artikel

Di dalam masyarakat, hukum memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Namun, seringkali muncul pertanyaan, “Hukum untuk siapa?” Apakah hukum hanya berlaku bagi kalangan tertentu ataukah setiap individu dianggap sama di hadapan hukum?

Keadilan
Garis Batas

Literasi Hukum – Keadilan di negeri ini bagaikan angsa putih di kolam istana: indah tapi gak gampang dipegang. Hukum bisa dibeli, orang berkuasa lolos, rakyat kecil gigit jari. Pendidikan gak…