Berita

MK Putuskan Ambang Batas Parlemen 4% Konstitusional Bersyarat untuk Pemilu 2029

Redaksi Literasi Hukum
1303
×

MK Putuskan Ambang Batas Parlemen 4% Konstitusional Bersyarat untuk Pemilu 2029

Sebarkan artikel ini
Ambang Batas Parlemen
Foto: Tangkapan layar sidang MK pada Kamis (29/2/2024)-(YouTube Mahkamah Konstitusi)

Jakarta, Literasi HukumMahkamah Konstitusi (MK) menyimpulkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Oleh karena itu, ambang batas tersebut dianggap konstitusional pada Pemilu DPR 2024, tetapi akan dianggap konstitusional dengan syarat pada Pemilu DPR 2029 dan seterusnya.

Putusan ini diumumkan dalam Sidang Pengucapan Putusan MK pada Kamis (29/2/2024). Perludem, dalam permohonannya, mempertanyakan ketentuan tersebut yang terkait dengan sistem pemilu proporsional.

Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada dasar yang memadai dalam menetapkan ambang batas parlemen tersebut, termasuk dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, dan tidak menemukan rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase tersebut menurut keterangan dari pembentuk undang-undang.

Terjadi Disproporsional

Selain itu, Saldi menegaskan bahwa ambang batas parlemen secara nyata memengaruhi transformasi suara sah menjadi kursi DPR, yang relevan dengan kesesuaian hasil pemilu secara proporsional. Dengan kata lain, dalam konteks sistem pemilihan proporsional, suara yang diperoleh oleh partai politik seharusnya sejalan dengan jumlah kursi yang mereka peroleh di parlemen agar hasil pemilu tetap proporsional. Oleh karena itu, dalam sistem pemilihan proporsional, penting untuk meminimalkan pemborosan suara agar hasil pemilu tetap proporsional.

Dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dalam pertimbangan hukum, Mahkamah mencatat bahwa dalam Pemilu 2004 sekitar 18% suara sah, atau sebanyak 19.047.481 suara, tidak dapat diubah menjadi kursi. Pada Pemilu 2019, sekitar 9,7% suara sah, atau sebanyak 13.595.842 suara, mengalami nasib serupa. Meskipun pada Pemilu 2014 hanya sekitar 2,4% suara sah, atau 2.964.975 suara, tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, jumlah partai politik di DPR faktualnya lebih banyak, yakni 10 partai politik, dibandingkan dengan hasil Pemilu 2009 dan 2019.

Saldi menunjukkan bahwa data empiris tersebut menegaskan ketidakproporsionalan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR saat ambang batas parlemen diterapkan dalam pemilihan anggota DPR. Hal ini mengindikasikan bahwa hak konstitusional pemilih menjadi tidak berarti atau diabaikan karena upaya menyederhanakan struktur partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat, didukung oleh lembaga perwakilan yang efisien.

Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” ucap Saldi.

Menurut Saldi, Mahkamah menyatakan bahwa penetapan angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada metode dan argumen yang memadai telah menyebabkan ketidakproporsionalan hasil pemilu, karena jumlah kursi di DPR tidak proporsional dengan suara sah secara nasional. Namun, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, pembuat undang-undang dapat menetapkan ambang batas parlemen dengan mempertimbangkan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas, selama tidak bertentangan dengan hal tersebut.

Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut. Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.

Kebijakan Pembentuk Undang-Undang

Kemudian, Saldi menjelaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendirian bahwa kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang mengenai ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen harus didasarkan pada metode dan argumentasi yang memadai. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakproporsionalan antara suara sah dengan penentuan jumlah kursi di DPR, serta memperkuat upaya penyederhanaan partai politik. Dengan demikian, upaya penyederhanaan partai politik di DPR tidak boleh bertentangan dengan prinsip menjaga proporsionalitas hasil pemilihan dengan penentuan jumlah kursi di DPR.

Tentang hal tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa perlu dilakukan perubahan terhadap ambang batas parlemen sebagaimana diatur dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, perubahan harus dirancang untuk keberlangsungan. Kedua, perubahan terhadap ambang batas parlemen harus tetap proporsional dalam kerangka sistem pemilu proporsional untuk menghindari suara yang tidak terwakili di DPR. Ketiga, perubahan harus bertujuan menyederhanakan partai politik. Keempat, perubahan harus diselesaikan sebelum Pemilu 2029. Dan kelima, perubahan harus melibatkan semua pihak yang peduli dengan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memiliki perwakilan di DPR, dengan prinsip partisipasi publik yang signifikan.

Selanjutnya, Saldi menyampaikan dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 sepanjang berkaitan dengan tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai dapat dibuktikan. Namun, terhadap petitum Pemohon yang menghendaki adanya pemaknaan terhadap norma a quo menjadi,

Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara anggota DPR dengan ketentuan besaran sebagai berikut:

  1. bilangan 75% (tujuh puluh lima persen) dibagi dengan rata-rata daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah 127 daerah pemilihan; dan
  2. dalam hal hasil bagi besaran ambang batas parlemen sebagaimana dimaksud, huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”,

Petitum tersebut di atas tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah karena merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan lebih lanjut perihal ambang batas parlemen termasuk penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen. “Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Saldi.

Tidak Dapat Diterima

Dalam sidang itu, Mahkamah juga menolak permohonan dari Partai UMMAT. Pemohon sebelumnya juga mengacu pada norma yang sama dengan Perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023, yaitu menguji konstitusionalitas Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu telah mengalami interpretasi baru sejak diucapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, meskipun secara redaksional tetap sama, makna dari Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu tidak lagi sesuai dengan apa yang dimohonkan oleh Pemohon.

Artinya, norma a quo masih tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024, namun secara substansi norma a quo telah mengalami perubahan makna berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUUXXI/2023. Dengan demikian, terlepas dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, oleh permohonan Pemohon, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas bersyarat norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 telah kehilangan objek,” ujar Daniel yang membacakan pertimbangan Putusan Nomor 124/PUU-XXI/2023 tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

mahkamah konstitusi
Tata Negara

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan mewujudkan keadilan substantif di Indonesia. Melalui kewenangannya dalam pengujian undang-undang dan putusan-putusan landmark, MK telah mengubah cara berhukum dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

pilkada menkopolhukam pastikan digelar november 2024
Berita

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (menkopolhukam), Hadi Tjahjanto, menekankan bahwa pemerintah akan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang telah ditetapkan pada bulan November 2024.

Ambang Batas Parlemen
Premium

Artikel ini membahas manfaat, tantangan, serta alternatif ambang batas parlemen, termasuk usulan ambang batas 1 persen oleh Perludem. Dalam menentukan ambang batas ideal, perlu mempertimbangkan hak pilih rakyat, kekuatan sistem kepartaian, dan efektivitas pemerintahan. Artikel ini menekankan pentingnya memahami konteks politik dan sosial sebelum menerapkan ambang batas.