PremiumMateri HukumTata Negara

Open Legal Policy: Memahami Kewenangan Pembentuk Undang-Undang di Indonesia

Adam Ilyas
1604
×

Open Legal Policy: Memahami Kewenangan Pembentuk Undang-Undang di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Open legal policy
Ilustrasi Gambar oleh Penulis (Sumber Gemini)

Literasi Hukum – Open Legal Policy adalah kewenangan pembentuk UU saat konstitusi tidak memberikan batasan jelas terkait materi dalam UU. Pelajari pengertian, contoh, batasan, dan penerapan di negara lain.

Apa itu Open Legal Policy?

Open legal policy atau kebijakan hukum terbuka adalah kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) ketika konstitusi (UUD 1945) tidak memberikan batasan yang jelas tentang bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang (UU) diatur.

Dengan kata lain, ketika konstitusi tidak mengatur secara detail suatu hal, maka pembentuk UU memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana hal tersebut akan diatur dalam UU.

Mengapa Open Legal Policy Diperlukan?

  • Konstitusi tak mungkin mengatur seluruh kebutuhan pengaturan hukum yang dinamis di masyarakat.
  • Memungkinkan responsivitas dan fleksibilitas pembentukan perundang-undangan
  • Diberi ruang oleh Mahkamah Konstitusi agar kekosongan hukum segera terpenuhi.

Dasar Open Legal Policy

Konsep ini pertama kali digunakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005. Tujuannya untuk memberi ruang dalam proses legislasi ketika UUD 1945 tak menjelaskan suatu materi hukum secara mendetail.

Batasan Open Legal Policy

  • Bukan kewenangan tanpa batas. Pembentukan UU hasil open legal policy tetap harus sesuai prinsip dasar konstitusi dan memperhatikan HAM.
  • Mahkamah Konstitusi punya fungsi pengawasan. MK berhak membatalkan norma hukum yang dihasilkan dari open legal policy apabila dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Berikut beberapa batasan untuk Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan perkara yang berkaitan dengan open legal policy:

1. Melampaui Kewenangan Konstitusional

  • MK tidak boleh membuat aturan baru atau mengubah konstitusi.
  • MK hanya berwenang menafsirkan konstitusi dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
  • Contoh: MK tidak boleh mengubah sistem pemilu secara fundamental, karena hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk UU.

2. Melanggar Prinsip-prinsip Dasar Konstitusi

  • MK tidak boleh membatalkan peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar konstitusi, seperti demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia.
  • Contoh: MK tidak boleh membatalkan UU yang mengatur tentang hak atas pendidikan, meskipun UU tersebut memiliki kekurangan.

3. Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan

  • MK harus menggunakan kewenangannya secara objektif dan imparsial, tidak boleh berdasarkan kepentingan politik atau pribadi.
  • Contoh: MK tidak boleh membatalkan UU hanya karena UU tersebut diajukan oleh partai politik tertentu.

4. Mengabaikan Preseden dan Yurisprudensi

  • MK harus mempertimbangkan preseden dan yurisprudensi sebelumnya dalam memutus perkara.
  • Hal ini untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum.
  • Contoh: MK tidak boleh membatalkan UU yang memiliki preseden serupa yang telah diputuskan oleh MK sebelumnya.

5. Mengabaikan Argumentasi Pembentuk UU

  • MK harus mempertimbangkan argumentasi pembentuk UU dalam membuat UU.
  • Hal ini untuk memahami maksud dan tujuan UU tersebut dibuat.
  • Contoh: MK tidak boleh membatalkan UU tanpa terlebih dahulu memahami argumentasi pembentuk UU terkait UU tersebut.

Penting untuk diingat bahwa batasan-batasan ini tidak selalu jelas dan dapat diperdebatkan. Peran masyarakat sipil dan akademisi penting dalam mengawasi kinerja MK dan memastikan bahwa MK tidak melanggar batasan-batasan tersebut.

Contoh Penerapan Open Legal Policy

Berikut beberapa contoh perkara yang menerapkan open legal policy dalam putusannya di Indonesia:

1. Perkara terkait Sistem Pemilu

  • Mahkamah Konstitusi sering menggunakan konsep open legal policy saat mempertimbangkan uji materi UU Pemilu. Alasannya, konstitusi tidak secara eksplisit mengatur sistem pemilu mana yang harus digunakan (proporsional terbuka, tertutup, atau lainnya). Hal ini dianggap kewenangan pembentuk UU untuk diputuskan.
  • Contoh: Gugatan terbaru terhadap sistem proporsional terbuka di UU No. 7 Tahun 2017. MK mempertimbangkan open legal policy karena pilihan sistem pemilu merupakan domain kebijakan terbuka bagi pembentuk UU.

2. Pengaturan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold)

  • Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terkait pengaturan presidential threshold menggunakan argumen open legal policy. Pembatasan candidature, meskipun tak eksplisit dalam UUD 1945, bisa diterapkan oleh pembentuk UU untuk tujuan-tujuan seperti efisiensi pemerintahan dan kestabilan politik.

3. Masa Jabatan Hakim Konstitusi

  • MK pernah memakai logika open legal policy dalam putusan yang menegaskan ketiadaan pembatasan masa jabatan hakim konstitusi dalam konstitusi. Oleh karena itu, pembentuk UU punya keleluasaan menentukan masa jabatan ini.

4. Peraturan Pengupahan

  • Dalam sengketa mengenai formulasi upah minimum, MK berpandangan bahwa UUD 1945 tak merinci cara penghitungannya. Penentuan formula upah menjadi ruang kebijakan pembentuk UU yang bersifat terbuka.

Catatan Penting

Meskipun dalam contoh-contoh ini MK memvalidasi norma yang lahir dari open legal policy, penting diingat bahwa kewenangan ini BUKAN absolut. Mahkamah Konstitusi bisa tetap membatalkan UU (yang termasuk produk open legal policy) jika isinya melanggar nilai dasar konstitusi atau prinsip hak asasi manusia.

Open Legal Policy di Negara Lain

Pengaturan open legal policy di negara lain memiliki variasi dan terminologi yang berbeda-beda, namun umumnya mengacu pada konsep serupa: kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengisi kekosongan hukum dalam konstitusi. Berikut beberapa contoh:

1. Amerika Serikat

  • Di AS, konsep open legal policy dikenal sebagai “legislative discretion” atau “judicial deference”.
  • Mahkamah Agung AS memberikan ruang bagi legislatif untuk menafsirkan konstitusi dalam batas kewajaran, dan hakim umumnya menghormati interpretasi tersebut.
  • Contoh: pengaturan terkait hak aborsi, di mana Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa konstitusi tidak secara eksplisit melarang aborsi, sehingga memberikan kewenangan kepada legislatif untuk meregulasi isu tersebut.

2. Jerman

  • Di Jerman, konsep open legal policy dikenal sebagai “freie Rechtsfindung” atau “judicial legislation”.
  • Hakim di Jerman memiliki kewenangan lebih luas dalam menafsirkan hukum, termasuk mengisi kekosongan hukum.
  • Contoh: pengaturan terkait hak eutanasia, di mana Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan bahwa konstitusi melindungi hak individu untuk mengakhiri hidup dengan bermartabat, sehingga membuka ruang bagi legislatif untuk merumuskan regulasi terkait.

3. Afrika Selatan

  • Di Afrika Selatan, konsep open legal policy dikenal sebagai “transformative constitutionalism”.
  • Konstitusi Afrika Selatan secara eksplisit mendorong transformasi sosial dan politik, dan hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum berdasarkan prinsip tersebut.
  • Contoh: pengaturan terkait hak atas tanah, di mana Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memutuskan bahwa konstitusi mewajibkan redistribusi tanah untuk mengatasi warisan apartheid, sehingga membuka ruang bagi legislatif untuk merumuskan regulasi terkait.

4. Persamaan dan Perbedaan

Sumber Rerefensi

Demikian artikel tentang open legal policy. Jika #temanliterasi ingin pembahasan topik lainnya, dapat menghubungi kami melalui laman contact us ataupun menghubungi melalui whatsapp widget di sebelah kanan bawah. Semoga bermanfaat!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.