Tata NegaraPemilu

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
88
×

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

Literasi HukumArtikel ini membahas dinamika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan fokus pada penerapan judicial review yang melibatkan MK dan Mahkamah Agung. Artikel ini juga menelaah wewenang MK sebagai lembaga peradilan konstitusional, termasuk perannya dalam sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) serta implikasi dari putusan-putusan penting yang mempengaruhi konstitusionalitas rezim pemilihan di Indonesia, seperti Pilkada 2024.

Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi

Dinamika MK dalam instalasi ketatanegaraan Indonesia memiliki karakteristiknya sendiri; terdapat beberapa sudut distingtif dengan negara inisiatornya, Austria. Penerapan model decentralized system atau bifurkasi-abstrak menghendaki adanya pemisahan secara rigid yurisdiksi yudikatif dalam hal judicial review. Dalam praktiknya, judicial review dalam sistem ketetanegaraan Indonesia dibagi kepada dua lembaga, MA dan MK.[1] MA diatribusikan wewenang uji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan di sisi lain MK diberikan wewenang uji konstitusionalitas undang-undang.[2]

Wewenang pokok yang diemban oleh MK dilengkapi dengan wewenang lainnya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi, in casu UUD 1945. Penyebutan constitutional review sebagai wewenang pokok tidak lepas dari ide awal Hans Kelsen dalam pembentukan MK sebagai lembaga peradilan khusus yang membatalkan undang-undang dengan batu uji konstitusi – bersifat sebagai negative legislature.[3] Wewenang tambahan tersebut meliputi wewenang memutus pembubaran partai politik, sengketa hasil pemilihan umum (pemilu), sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Seluruh wewenang normatif tersebut termaktub jelas dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan tidak mengalami perubahan substansi ketika diturunkan menjadi undang-undang; vide UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 7 Tahun 2020.

Manuver MK dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Sebagai negara demokratis, Indonesia menyediakan sistem pemilu yang merupakan bentuk demokrasi representatif. Penerapan demokrasi representatif dilatarbelakangi fakta demokrasi langsung tidak dapat dan tidak etis direalisasikan.[4] Sistem pemilu di Indonesia memiliki keunikan tersendiri karena tidak hanya terdiri dari satu rezim. Rezim pemilu di Indonesia terbagi menjadi pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Pemisahan rezim ini bersifat dinamis mengingat dalam kasus ini MK melakukan manuver pendiriannya dalam interpretasi yang berimplikasi pada perubahan ruang lingkup makna pemilu dan pilkada itu sendiri.

Pasal 22E UUD 1945 sebagaimana yang ditafsirkan MK pada Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 melimitasi ruang lingkup pemilu hanya mencakup pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden.[5] Regulasi pilkada yang dipisahkan dari pemilu sebagaimana yang diatur pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menjadi legal decidendi MK dalam menafsirkan makna pilkada yang tidak dapat diintegrasikan ke dalam rezim pemilu.[6] Dengan menggunakan interpretasi sistematis dan original intent MK menilai bahwa walaupun pilkada dilakukan secara langsung seperti halnya pemilu, tidak serta merta sengketa pilkada juga ditangani MK yang notabene berwenang menangani sengketa pemilu.[7] Integrasi pilkada menjadi satu atap dengan pemilu merupakan bentuk ekstensifikasi wewenang yang dinilai MK sebagai bentuk perbuatan inkonstitusional.[8]

Dengan konstruksi di atas, MK dalam putusannya menyatakan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 – objek constitutional review – yang memerintahkan penanganan sengketa pilkada dialihkan dari MA ke MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena terjadi kekosongan hukum dan lembaga khusus yang menangani sengketa pilkada, MK memutus bahwa sengketa pilkada tetap ditangani oleh MK sampai dibentuknya undang-undang terkait.[9] Menanggapi Putusan a quo dibentuklah UU Nomor 8 Tahun 2015 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, in casu Pasal 157 yang mengakomodasi materi putusan dengan memberikan wewenang memutus sengketa pilkada kepada MK selama badan peradilan khusus belum dibentuk.[10]

Muatan pasal 157 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 – secara substansial ketiga ayat pada kedua UU a quo sama dalam hal mengakomodasi Putusan 97/PUU-XI/2013 – diujikan dengan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022. Ketiga ayat tersebut diujikan dengan menggunakan tafsir MK dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa para pengubah UUD 1945 tidak membedakan rezim pemilihan. Fakta ini digali dari perdebatan selama proses amandemen UUD 1945. Lebih jauh lagi MK menjabarkan terdapat beberapa varian dalam keserentakan dalam penyelenggaraan pemilu. Di antara varian tersebut adalah pemilihan rumpun eksekutif; yaitu Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dilakukan secara serentak dan di waktu yang berbeda dilakukan pemilihan rumpun legislatif; yaitu DPR, DPD, dan DPRD.[11] Oleh karena itu, pilkada tidak dapat dikatakan sebagai sistem terpisah dari pemilu dan sifat serentak tersebut termasuk suatu hal yang konstitusional.

Ketiga ayat tersebut juga diujikan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tentang pemilu. Pelaksanaan pemilu – in casu pilkada – akan terganggu disebabkan peradilan khusus yang akan menangani sengketa pilkada belum terbentuk berdasarkan Pasal 157 ayat (1), (2), dan (3).[12] Pasal a quo juga diujikan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya hanya memberikan wewenang penyelesaian sengketa pemilu kepada MK. Sebagaimana tafsir konstitusional MK pada Putusan 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa rezim pilkada diintegrasikan menjadi satu atap dengan pemilu, maka penyelesaian sengketa pilkada juga seharusnya satu atap dengan sengketa pemilu.[13] 

Berpijak pada pertimbangan hukum di atas, MK memutus Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK juga memutus frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Implikasi normatifnya adalah wewenang MK menangani sengketa pilkada tidak lagi bersifat temporal dan pembentukan peradilan khusus tersebut tidak diperlukan. Di samping itu putusan ini juga berimplikasi pada status MK. Berdasarkan Pasal 157 di atas, kedudukan MK hanya sebagai organ undang-undang karena sifatnya sementara dan MK tidak dapat leluasa menggunakan wewenang tersebut.[14] Namun, pasca putusan yang membatalkan Pasal 157 ayat (1), (2), dan sebagian ayat (3), MK kembali menjadi organ konstitusi dalam hal sengketa pilkada.

MK dan Sengketa Pilkada 2024

Setelah melaksanakan pemilu serentak pada 14 Februari 2024, Indonesia akan menggelar pilkada serentak 2024. Pilkada serentak 2024 ini akan berlangsung pada bulan November 2024 berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016. Sebagai turunan dari UU a quo, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor Tahun 2024 yang mengatur lebih lanjut mengenai jadwal pilkada serentak tersebut. Berdasarkan Lampiran PKPU tersebut, pemungutan suara dalam pilkada 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024.[15]

Penetapan jadwal pilkada serentak sebagai konsekuensi normatif tafsir konstitusional MK harus dipatuhi oleh semua pihak. Sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mendifinisikan makna konstitusional, MK memiliki supremasi yudisial yang dapat mengikat ketaatan para pejabat pemerintah dalam hal menafsirkan konstitusi.[16] Supremasi ini diperlukan agar terciptanya kepastian hukum terutama makna konstitusi yang ditafsirkan oleh MK.

Walaupun posisi MK yang sangat sentral, putusan MK tidak serta merta berjalan mulus. Pembentukan hukum dan implementasinya sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan politik.[17] Terbentuknya hukum, in casu putusan sengketa pilkada, tidak memiliki dampak jika tidak didukung oleh kekuatan sosial dan politik.

Kekuatan sosial berkaitan dengan dukungan dari masyarakat terhadap putusan tersebut. Sementara kekuatan politik berkaitan dengan langkah politik para pejabat negara dalam hal melaksanakan putusan MK. Sebagai guardian of democracy, MK harus mendapatkan dua kekuatan tersebut agar putusan sengketa pilkada yang dikeluarkan tidak menjadi putusan yang mengambang dan seolah tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Ayat konstitusi yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat harus direalisasikan dan ini merupakan tanggung jawab bersama, baik dari kekuatan sosial maupun politik, untuk menegakkan konstitusi.

Daftar Pustaka

  • Asshiddiqie, Jimly. 2020. Pengujian Formil Undang-Undang di Negara Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
  • Buana, Mirza Satria. 2023. Perbandingan Hukum Tata Negara : Filsafat, Toeri, dan Praktik. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
  • Hermawan, Muhammad Ilham. 2020. Teori Penafsiran Konstitusi Implikasi Pengujian Konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KENCANA.
  • Huda, Ni’matul. 2021. Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
  • Magnis-Suseno, Franz. 2023. Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Martitah. 2023. Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press.
  • Palguna, I Dewa Gede. 2020. Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Politik Hukum di Indonesia. Depok: Rajawali Press.

 

[1]           Mirza Satria Buana, Perbandingan Hukum Tata Negara: Filsafat, Teori, dan Praktik (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2023) hlm. 92

[2]           Jimly Asshiddiqie, Pengujian Formil Undang-Undang di Negara Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2020), hlm. 76

[3]           Buana (2023), hlm. 275-276

[4]           Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2023), hlm. 370

[5]           Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, hlm. 54

[6]           Ibid, hlm. 55

[7]           Ibid, hlm. 56

[8]           Ibid, hlm. 60

[9]           Ibid, hlm. 62

[10]          UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati Menjadi Undang-Undang Pasal 157 ayat (1) dan (3)

[11]          Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, hlm. 323-324

[12]          Putusan Nomor 85-PUU-XX-2022, hlm. 32-33

[13]          Ibid, hlm. 37-39

[14]          I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Politik Hukum di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2020), hlm. 75

[15]          Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024

[16]          Muhammad Ilham Hermawan, Teori Penafsiran Konstitusi: Implikasi Pengujian Konstitusional di Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 124

[17]             Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature (Jakarta: Konstitutsi Press, 2023), hlm. 45

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.