PerdataMateri Hukum

Mengenal Affidavit Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Fally Avriantara
1463
×

Mengenal Affidavit Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Sebarkan artikel ini
Affidavit
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata adalah mengungkap kebenaran formil. Senyatanya alat bukti surat merupakan alat bukti yang utama. Menarik untuk mencermati posisi atau kekuatan hukum dari affidavit bila dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan perkara perdata.

Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Dalam persidangan suatu perkara perdata di Pengadilan negeri, pembuktian merupakan agenda sidang yang cukup penting dan krusial. Para pihak yang sedang berperkara harus memanfaatkannya sebaik mungkin untuk dapat meyakinkan Majelis Hakim yang mengadili. Penggugat akan berusaha sekuat mungkin untuk membuktikan dalilnya, sedangkan Tergugat akan berusaha sekuat mungkin untuk membantahnya.

Dalam agenda pembuktian para pihak masing-masing akan menyajikan alat bukti kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara. Dari alat bukt yang disajikan tersebut maka Majelis Hakim akan mengetahui dengan pasti dan jelas kebenaran dan fakta yang sebenarnya. Namun yang perlu diingat adalah alat bukti yang diajukan tersebut harus sesuai dan memenuhi syarat ketentuan hukum yang berlaku.

Hukum Acara Perdata di Indonesia secara umum mengacu kepada Herzien Inlandsch Reglemen (HIR), Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg), dan Burgerlijk Wetboek (BW). Selain itu dapat juga mengacu kepada peraturan dan Surat Edaran yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Indonesia sendiri belum memiliki Hukum Acara Perdata nasionalnya, sehingga kehadiran Perma dan SEMA tersebut diharapkan dapat menjadi solusi sementara atas berbagai hal yang belum diatur ketentuannya baik dalam HIR, RBg, maupun Bw.

HIR telah mengatur secara limitatif alat bukti yang dapat dihadirkan dalam agenda pembuktian. Pasal 164 HIR sebagaimana dikutip oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik menyebutkan 5 macam alat bukti yang dapat dihadirkan dalam suatu perkara perdata adalah bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Alat bukti surat adalah alat bukti paling utama. Mengutip pendapat dari Sudikno Mertokusumo, surat adalah segala sesuatu yang mencantumkan tanda baca dan mengandung maksud curahan isi hati atau penyampaian buah pikiran dari seseorang. Surat itu sendiri juga dapat dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan akta di bawah tangan.

Saksi secara garis besat pengertiannya adalah keterangan secara lisan dari pihak ketiga yang tidak atau bukan pihak dalam perkara. Keterangan saksi layaknya informasi bagi majelis hakim untuk membantu memahami perkara yang sedang diadili.

Persangkaan dengan mengacu kepada Pasal 1915 BW adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Kemudia pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan, baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan.

Affidavit Sebagai Salah Satu Bentuk Alat Bukti Surat

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana posisi affidavit dalam perspektif hukum pembuktian. Dalam arti apakah affidavit dikategorikan sebagai keterangan saksi/ahli atau bukti surat apabila dihadirkan dalam suatu persidangan.

Secara garis besar pengertian affidavit adalah pernyataan tertulis dalam bentuk surat baik dibuat dalam bentuk di bawah tangan maupun di hadapan notaris yang berisi suatu pernyataan mengenai hal tertentu. Apabila mencermati pengertian tersebut, maka affidavit memiliki potensi untuk dinilai sebagai alat bukti tertulis/surat (Pasal 1868 BW), alat bukti saksi (Pasal 1907 BW), dan alat bukti sumpah (Pasal 1939 BW).

Putusan Mahkamah Agung Nomor 38 K/Sip/1954 mengkategorikan affidavit sebagai alat bukti surat, bukan alat bukti saksi. Dalam prakteknya jika mencermati beberapa Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka dapat dilihat affidavit cenderung dikategorikan sebagai alat bukti surat.

Seperti contoh dalam perkara perdata gugatan wanprestasi sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 139 K/Pdt/2014 tertanggal 17 Juli 2014 jo. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 75/Pdt.G/2012/PN.Sby., tertanggal 29 Agustus 2012, Penggugat mengajukan bukti dalam bentuk Salinan Akta Pernyataan Kesaksian Nomor 1 tanggal 23 April 2012, yang dikeluarkan oleh Wimpy Kurniawan, S.H., M.Kn., Notaris di Kediri. Akta Pernyataan tersebut dikategorikan sebagai affidavit karena termasuk surat keterangan tertulis yang dibuat di bawah sumpah dan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris.

Begitu juga dengan perkara perdata gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor: 139 K/Pdt/2014 tertanggal 31 Maret 2016 jo. Putusan Pegadilan Negeri Makassar Nomor: 282/Pdt.G/2014/PN.Mks, tertanggal 13 Juli 2015, dimana Tergugat mengajukan bukti dalam bentuk keterangan tertulis dari Haji Keke Daeng Siga Sibonatang Bin Sabontang sebaga satu–satunya saudara laki–laki Sani Binti Sabontang dan Salika Binti Sabontang yang masih hidup yang mana keterangan diberikan di bawah sumpah al-Quran di hadapan pejabat Notaris. Keterangan tertulis tersebut juga dapat dikategorikan sebagai affidavit karena termasuk surat keterangan tertulis yang dibuat di bawah sumpah dan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris.

Kesimpulannya affidavit dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalamn suatu persidangan perkara perdata. Senyatanya affidavit dalam praktiknya cenderung ditafsirkan mengarah sebagai alat bukti surat, oleh karenanya perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang mengadili suatu perkara perdata untuk dapat mengungkap lebih jelas kebenaran formil dari perkara tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

hukum perdata di Indonesia
Perdata

Pelajari segala hal tentang hukum perdata di Indonesia: sejarah, struktur, prinsip utama, reformasi, tantangan, kasus penting, serta pengaruh hukum adat dan hukum Islam. Dapatkan penjelasan mendetail dan lengkap di sini