OpiniTata Negara

Kedudukan Partai Politik dalam Pengujian Undang-Undang: Legal Standing dan Batasannya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

Redaksi Literasi Hukum
200
×

Kedudukan Partai Politik dalam Pengujian Undang-Undang: Legal Standing dan Batasannya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

Share this article
Legal standing dan batasannya
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas Kedudukan Partai Politik dalam Pengujian Undang-Undang yang ditinjau dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam artikel ini juga dibahas mengenai alasan MK memberikan atau tidak memberikan legal standing atau kedudukan hukum sebagai Pemohon kepada Partai Politik.

Kesimpulannya bahwa partai politik, sepanjang tidak ikut serta dalam pembahasan suatu Undang-Undang di DPR, masih memungkinkan menjadi pemohon di MK. Namun demikian, terhadap batasan tersebut, menurut Penulis, masih sangat sumir dan kasuistis. Oleh karenanya perlu untuk menetapkan regulasi terkait dengan kedudukan hukum partai politik sebagai pemohon pengujian undang-undang secara jelas dan definitive.

Kedudukan partai politik dalam Pengujian Undang-Undang merupakan topik yang menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut, pasalnya, kedudukan partai politik dalam pengujian undang-undang masih terlihat sumir dan kasuistis. Padahal, sejatinya norma yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi merupakan norma abstrak yang tidak terkait dengan kasus konkret tertentu. Hal demikian merupakan konsekusi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat umum (Erga Omnes) sehingga hal yang di uji juga harus dipastikan merugikan semua orang, bukan hanya konkret pada orang yang mengajukan permohonan. Lalu bisakah Partai Politik menguji Undang-Undang?

MK Memberikan Partai Politik Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang

Terkait dengan legal standing partai politik, telah ternyata terdapat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan pengakuan hukum (legal standing) bagi partai politik untuk melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang. Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa Partai Bulan Bintang (PBB) memiliki kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas ketentuan mengenai presidential threshold dan pelaksanaan pemilu serentak.

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa meskipun PBB telah ikut serta dalam proses pembahasan UU 42/2008 dan memberikan persetujuannya di DPR, partai politik ini tetap memenuhi syarat kedudukan hukum atau legal standing. Hal ini dikarenakan PBB telah diakui sebagai badan hukum partai politik oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan oleh karena itu, berhak untuk menguji konstitusionalitas undang-undang yang berkaitan dengan pemilihan presiden.

Selain perkara yang di mohonkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB), terdapat beberapa  Putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang memberikan legal standing untuk partai politik. Adapun putusan tersebut antara lain: Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan kedudukan hukum bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menguji konstitusionalitas norma dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa pengakuan legal standing bagi partai politik untuk menguji konstitusionalitas undang-undang merupakan suatu upaya untuk memastikan adanya pemenuhan hak konstitusional warga negara, termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan perhatian khusus pada kedudukan hukum partai politik dalam memastikan terwujudnya prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Batasan Pemberian Legal Standing

Meskipun partai politik memiliki kedudukan hukum, dalam kasus Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Mahkamah menekankan bahwa apabila partai politik atau anggotanya terlibat dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional, maka Mahkamah akan menyatakan bahwa partai politik dan/atau anggota DPR tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan kasus tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa di masa depan, partai politik dan/atau anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional atas undang-undang yang diminta untuk diuji, akan dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum melalui peraturan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Juga Pernah Menolak Memberikan Legal Standing Kepada Partai Politik untuk Menguji UU

Menariknya, Mahkamah juga pernah menolak memberikan legal standing pada partai politik. Seperti pada perkara nomor 73/PUU-XII/204 terkait dengan ketentuan mengenai komposisi pimpinan DPR, Mahkamah Konstitusi tidak memberi kedudukan hukum bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Hal yang sama juga terjadi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XII/2014 dengan tidak memberikan kedudukan hukum bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terkait dengan pengujian ketentuan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dalam UU Pemilu.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan etika politik dan mencegah konflik kepentingan yang terkait dengan hak dan kewenangan DPR secara institusi untuk membentuk Undang-Undang dan Anggota DPR untuk mengusulkan rancangan undang-undang dalam memberikan pembatasan kedudukan hukum bagi partai politik. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi memberikan perhatian khusus untuk menghindari terlanggarnya etika politik dan mencegah terjadinya konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang di DPR.

Perlunya Pengaturan Mengenai Legal Standing Partai Politik dalam Pengujian UU

Dengan perbedaan pendirian Mahkamah dalam beberapa putusan terkait dengan Legal Standing Partai Politik dalam Pengujian Undang-Undang, menurut penulis, penting dan perlu Mahkamah untuk memberikan dan menetapkan batasan yang jelas mengenai kedudukan hukum partai politik dalam pengujian undang-undang. Kekurangan ukuran pasti untuk mengevaluasi status hukum (legal standing) partai politik sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang dapat mengakibatkan ketidaksesuaian dalam pertimbangan hukum. Selain beberapa contoh putusan dengan pertimbangan hukum yang berbeda, masih ada banyak kasus pengujian undang-undang yang diajukan oleh partai politik, seperti Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 39/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 93/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 85/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 35/PUU-XIV/2016, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Sistem Proporsional Terbuka Mendorong Loyalitas Caleg pada Partai dan Konstituen, Menurut Perludem

Pengujian yang diajukan Kader Partai yang Merupakan Anggota DPR dan Pengurus Partai Politik

Selain konteks partai secara institusional yang mengajukan pengujian, perlu juga dikaji lebih lanjut terkait beberapa kasus pengujian undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR dan pengurus partai politik, tetapi dalam hal ini permohonan diajukan atas nama individu, seperti yang terjadi pada Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010 yang diajukan oleh Lily Chadidjah Wahid (Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) dan Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 30 Agustus 2016 yang diajukan oleh Setya Novanto (Anggota DPR Fraksi Partai Golkar). Terkait perkara yang demikian, menurut hemat penulis juga dibutuhkan penegasan yang lebih jelas mengenai batasan dan kriteria untuk menilai Anggota DPR dan Kader Partai Politik serta kedudukan hukum partai politik dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

korupsi di partai politik
Premium

Mungkin Anda pernah mendengar bahwa korupsi adalah salah satu masalah yang membudaya di Indonesia. Lalu, apa si penyebab terjadinya korupsi? Siapa akar penyebab terjadinya korupsi? Artikel ini membahas mengenai masifnya korupsi di partai politik sebagai sumber terjadinya korupsi di Indonesia.