Opini

Pembentukan Pengadilan Keluarga sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Keluarga di Sistem Peradilan Indonesia

Redaksi Literasi Hukum
1056
×

Pembentukan Pengadilan Keluarga sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Keluarga di Sistem Peradilan Indonesia

Sebarkan artikel ini
hukum keluarga dan pengadilan keluarga
Ilustrasi gambar oleh penulis

Literasi HukumArtikel ini menjelaskan mengenai urgensi pembentukan pengadilan keluarga sebagai alternatif dalam menyelesaikan setiap perkara yang berhubungan dengan kekeluargaan dalam sistem peradilan dan sistem hukum di Indonesia.

Semakin meningkatnya masalah-masalah keluarga di Indonesia perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Masalah-masalah tersebut diadili oleh dua Pengadilan, yaitu: Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri/Umum. Pengadilan tersebut menangani banyak perkara selain perkara keluarga, yaitu perkara pidana umum, perkara korupsi, perkara perdata, penetapan kewarganegaran dan perkara lainnya. Banyaknya perkara tersebut tentu menambah tugas pengadilan, sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang menunggu giliran di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri/Umum dalam menyelesaikan permasalahan keluarga di Pengadilan.

Permasalahan keluarga di Indonesia terdiri atas beberapa jenis antara lain perceraian, sengketa waris, wasiat, hibah, penyelesaian harta bersama, pengangkatan anak, perkawinan campuran, pencabutan kekuasaan wali, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Semua kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Agama bagi pemohon/penggugat yang beragama Islam dan di Pengadilan Negeri/Umum bagi pemohon/penggugat non islam.

Hal-hal yang menjadi pokok permasalahan munculnya Pengadilan Keluarga adalah banyaknya kasus KDRT yang dialami istri/perempuan, kewajiban hak nafkah anak dari bapak yang berstatus aparatur sipil negara dalam kasus perceraian, tidak dapat ditambahkan kewajiban pemotongan gaji karena hal ini merupakan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara, dan terkait kasus pencabutan hak asuh orang tua karena adanya KDRT atau hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, harus diselesaikan di pengadilan pidana dahulu sebelum dibawa ke pengadilan perdata. 

Pembentukan Pengadilan Keluarga di lingkungan Peradilan Umum

Gagasan tentang pembentukan Pengadilan Keluarga sebagai pengadilan khusus di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri/Umum yang dimaksudkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Komnas Perempuan sangat menarik dan juga baik.

Mencermati data yang berhasil dikumpulkan maka Komnas Perempuan ditemukan ada 4 (empat) alternatif cara mewujudkan Pengadilan Keluarga di Indonesia, yaitu: penggabungan perkara perdata dan pidana untuk ditangani satu majelis, penyelesaian satu atap perdata dan pidana di Peradilan Umum, pembentukan pengadilan khusus di Peradilan Agama, pembuatan hukum acara khusus untuk keterpaduan penanganan perkara perdata dan pidana di Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Oleh karenanya alternatif kemungkinan cara pembentukan Pengadilan Keluarga adalah pembentukan pengadilan keluarga sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum.

Pembentukan Pengadilan Keluarga yang terpadu harus menjadi pengadilan yang dapat menyelesaikan kasus-kasus keluarga lebih terfokus dan efektif. Pemisahan penanganan perkara perdata dan pidana dalam kasus-kasus yang menyangkut hubungan keluarga seperti perkawinan dan KDRT dalam sistem peradilan Indonesia menimbulkan dampak yang merugikan bagi perempuan sebagai korban KDRT dalam memperoleh keadilan. Hal ini menyebabkan proses penyelesaian perkara menjadi lebih panjang dan mahal. 

Selain itu, persoalan pembagian waris masih menjadi kendala karena seringkali diadili di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya Pengadilan Keluarga maka diharapkam dapat meningkatkan akses keadilan bagi perempuan dan anak-anak serta mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah.

Hukum keluarga mengatur hubungan hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pengadilan Keluarga nantinya akan menangani tiga jenis kasus, yaitu kasus murni pidana keluarga, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan atau pencurian dalam keluarga; kasus murni perdata keluarga, misalnya sengketa waris, perebutan hak asuh, atau pengakuan/pengesahan anak; dan kasus pidana-perdata misalnya kasus perceraian karena KDRT, sengketa ahli waris yang dipicu oleh pembunuhan pewaris oleh salah satu ahli waris.

Mekanisme yang Diperlukan dalam Praktik Penyelenggaraan Pengadilan Keluarga 

Rekrutmen Hakim khusus di Bidang Keluarga

Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Pasal 8 ayat (2) menyebutkan: “Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.”

Hukum Acara Pengadilan Keluarga

Perlu dirumuskan kembali hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Keluarga yang merupakan integrasi antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Jika memang terdapat keterpaduan penanganan masalah keluarga maka diperlukan pembuatan hukum acara khusus di Peradilan Umum dan Peradilan Agama untuk Pengadilan Keluarga. 

Landasan Yuridis tentang Pengadilan Keluarga

Landasan yuridis pembentukan Pengadilan Keluarga bersumber pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20 diamanatkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang yang kemudian dibahas bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Pengaturan Pengadilan Keluarga bermaksud untuk mewujudkan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan Pengadilan Keluarga yang termaktub dalam Pasal 24A ayat (5), Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pasal 24A ayat (5) mengamanatkan bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Dengan demikian Pengadilan Keluarga merupakan salah satu bentuk perwujudan amanat konstitusi dan harus diatur dalam bentuk undang-undang.

Pasal 28 B mengamanatkan bahwa: 
(1) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28D ayat (1) juga mengamanatkan bahwa 
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” 

Selanjutnya, Pasal 28H ayat (2) mengamanatkan bahwa: 
(1) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum hanya memuat materi tentang penyelesaian perkara keluarga yang dipisahkan antara masyarakat beragama Islam dan non islam. Materi praktik beracara di persidangan banyak berfokus pada pemberian sanksi daripada perlindungan hak korban. 

Dengan demikian, landasan yuridis pengaturan Pengadilan Keluarga adalah dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur penyelesaian masalah-masalah keluarga masih parsial dan belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga diperlukan undang-undang yang mengatur Pengadilan Keluarga secara komprehensif sesuai perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sebagaimana amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pengadilan Keluarga yang dibentuk hendaknya benar-benar dapat menjamin hak asasi bagi semua anggota keluarga dengan lebih mengutamakan pada pemenuhan hak korban seperti istri dan anak serta mempertimbangkan pendekatan kekeluargaan dalam penyelesaiannya.

Referensi

Asshiddiqie, Jimly. Pengadilan Khusus. Jakarta: Komisi Yudisial, 2013.
Busroh, Firman Freaddy. “Gagasan Pembentukan Peradilan Keluarga di Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 46, no. 3 (24 Februari 2018): 267. 
SC Nugraheni, Anjar, dan Pranoto. “Inisiasi Pengadilan Keluarga (Family Court) pada Sistem Peradilan di Indonesia.” Universitas Sebelas Maret 5, no. 2 (2018). https://jurnal.uns.ac.id/repertorium/article/view/17698.

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.