Literasi Hukum – Artikel ini membahas masifnya tindakan Presiden Jokowi di masa lame duck dalam memenuhi politik balas budi. Kontroversi seputar Pemilu 2024, gugatan PHPU, dan spekulasi politik pasca putusan MK menjadi sorotan utama. Artikel ini juga mengulas sejarah lahirnya politik etis, upaya politik balas budi oleh Presiden Jokowi, serta rekomendasi untuk mengatasi dampak politik balas budi di masa mendatang.
Pemilu 2024 merupakan salah satu pelaksanaan pemilu paling kontroversial dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Berbagai perkara muncul mengiringi proses dinamika pemilu 2024. Mulai dari persiapan hingga setelah dikeluarkan surat keputusan KPU(terkait jumlah rekapitulasi suara pemilu) yang mendobrak-dobrak berbagai regulasi. SK KPU Nomor 360 Tahun 2024, menunjukan jumlah suara rekapitulasi paslon nomor urut 2 yakni, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengungguli paslon nomor urut 1 & 3. Dengan mencapai suara kurang lebih 96 juta suara. Lahirnya SK tersebut langsung ditanggapi dengan berbagai gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi(MK) atas berbagai dugaan, salah satunya adanya dugaan abuse of power oleh Presiden Jokowi dalam pilpres, khususnya di masa lame duck.
Diketuknya putusan MK terkait PHPU yang menyatakan hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh Termohon dan Pihak Terkait, dengan menyatakan bahwa MK tidak berwenang untuk menangani perkara PHPU Pilpres 2024. Menandakan telah terselesaikannya dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Namun pada faktanya, pasca putusan MK keluar tidak menutup segala isu dan huru hara di Indonesia berhenti. Negara justru disibukkan dengan adanya narasi-narasi dan rencana taktis yang dinilai melanggar berbagai peraturan perundang-undangan. Seperti adanya rencana pemerintah untuk merevisi beberapa regulasi seperti, UU MK, UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU TNI dan UU Polri. Masifnya pemerintah di masa-masa akhir (lame duck) menimbulkan berbagai spekulasi akan hubungan presiden dengan tokoh pemimpin terpilih selanjutnya. Bahkan dinilai erat kaitanya dengan politik balas budi.
Politik balas budi atau politik etis pada dasarnya adalah konsep pemikiran para aktor politik untuk menghormati dan memberikan balas penghargaan atas dukungan politiknya. Politik balas budi lahir dari pemerintah kolonial belanda yang memberikan imbalan balas budi kepada pribumi atas penderitaan dari kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Kebijakan politis etis yang dikeluarkan oleh Ratu Wilhelmina berbentuk irigasi, emigrasi dan pendidikan untuk mengganti penderitaan pribumi. Dapat kita lihat bahwasanya politik etis lahir akan sesuatu niat baik atas kebijakan yang dulunya merugikan salah satu pihak. Namun, konsep politik balas budi di Indonesia tumbuh dengan sudut pandang dan eksplorasi berbeda.
Dalam negara hukum modern, politik balas budi kerap berkaitan dengan transaksi politik pasca suatu pemilihan umum. Termasuk di Indonesia, hal ini kerap menjadi tontonan publik hingga tidak memiliki serat pembatas. Politik balas budi dapat dilakukan dalam bentuk nyata seperti penunjukan jabatan pada garis kabinet pemerintahan. Serta dapat berupa tindakan administratif melalui kontrak-kontrak pemerintahan (seperti pemberian HGU, HBU, dan hak-hak lainnya yang kerap mengeksploitasi SDA).
Bahkan dewasa ini, posisi-posisi strategis di BUMN/BUMD menjadi liang politik balas budi di kabinet Presiden Jokowi. Naasnya, dalam masa lame ducknya Presiden Jokowi justru menampakan sikap-sikap yang mengarah pada kegiatan politik balas budi. Kita kembali ke belakang, dimana Presiden Jokowi menetapkan rival pilpresnya dalam Pemilu 2019 dalam garis kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Setelah itu, dugaan balas budi presiden muncul dalam pemilu 2024 dengan mendukung mantan rivalnya maju untuk berkontestasi bersama putra sulungnya.
Berikut dapat dijabarkan beberapa upaya-upaya presiden dalam menjalankan politik balas budinya dimasa lame duck:
Kelima kegiatan masif presiden dimasa lame duck tentunya terasa tidak relevan dan efisien. Kesemuannya merupakan kegiatan yang menghasilkan kebijakan strategis yang tidak wajar dilakukan oleh pemerintah saat ini. Masifnya kegiatan politik presiden dapat ditarik sebagai bentuk-bentuk upaya politik balas budi presiden kepada Prabowo. Politik balas budi tentu telah menjadi momok terbesar ketatanegaraan bangsa.
Maka dari itu, perlu dibentuknya norma hukum baru untuk menyiasati pemanfaatan lame duck oleh presiden atau kegiatan-kegiatan presiden yang mengarah ke arah yang tidak benar salah satunya politik balas budi. Perlu dikaji kembali akan efektifitas dan efisiensi lamanya waktu jeda dari penetapan presiden terpilih dengan waktu pelantikannya. Hal ini ditujukan untuk mengurangi potensi-potensi pemerintah yang masih berjalan dalam mengejar jam tayang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis. Serta dapat meminimalisir atau mempersempit kewenangan parlemen dan kepala negara serta kepala daerah dalam produktivitas kebijakan. Dalam arti, bukan hanya presiden, melainkan parlemen dan para kepala daerah perlu diatur untuk meniadakan ketimpangan pusat dan daerah. Namun hal ini dapat dikecualikan apabila terdapat problematika negara/daerah yang sifatnya genting atau mendesak.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini