Pemilu

Dewan Perwakilan Rakyat, atau Dewan Perwakilan Parpol?

Mhd. Fadly Siregar, S.H.
131
×

Dewan Perwakilan Rakyat, atau Dewan Perwakilan Parpol?

Sebarkan artikel ini
Dewan Perwakilan Rakyat
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga yang mewakili aspirasi rakyat terhadap pemerintah (eksekutif) seharusnya bertindak dan bersikap sesuai dengan keinginan rakyat. DPR seharusnya menjadi “oposisi” natural terhadap pemerintah, bukan menjadi “berteman” dengan pemerintah. Jika DPR berada sepihak dengan pemerintah, maka siapa yang bertindak sebagai pengawas pemerintah?. Bukankah DPR seharusnya menjadi filter atas seluruh kebijakan pemerintah? Jika DPR dan pemerintah berada di kubu yang sama, maka kebijakan dan Undang-Undang yang lahir bisa saja bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan segelintir penguasa.

Realitas Politik di Indonesia

Fenomena politik yang terjadi di Indonesia adalah ketika partai politik masuk kedalam kubu pemerintah yang sedang berkuasa (berkoalisi) maka, anggota partai politik tersebut baik yang sedang menjabat di eksekutif atau legislatif, ataupun hanya sekedar anggota, akan mendukung dan membela apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam hal ini presiden). Sebagai contoh, di 2019 ketika terjadi persaingan perebutan RI 1 antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kita semua dapat melihat betapa panasnya perdebatan yang terjadi antara anggota partai Gerindra dengan anggota partai PDIP di media baik televisi ataupun media sosial. Tidak jarang yang terjadi adalah caci maki, hina dan lain sebagainya antara kedua kubu tersebut.

Namun, setelah Prabowo bergabung ke pemerintahan Jokowi dan ditugaskan menduduki jabatan mentri pertahanan, mendadak para politisi partai Gerindra tidak lagi “galak” terhadap pemerintahan Jokowi, baik di media sosial maupun di parlemen. Mereka (gerindra) bahkan berubah menjadi pendukung kebijakan Jokowi, hal ini dapat kita lihat di berbagai media ketika narasumbernya berasal dari partai Gerindra.

Peristiwa di atas hanya sekedar contoh bahwa, para politisi (khususnya DPR RI) tidaklah bertindak dan bersikap berdasarkan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan partai politik. Ketika partai politik berada di luar pemerintahan, maka mereka menjadi oposisi,  ketika mereka  masuk ke pemerintahan mereka mendadak berkoalisi dan setuju terhadap kebijakan pemerintah.

Partai politik di Indonesia telah kehilangan jati diri, posisi partai politik di Indonesia hanya berdasarkan di kubu mana ia berada, berdasarkan apakah partai politik tersebut berada di luar atau di dalam pemerintahan. Jika partai politik tersebut berada di dalam pemerintahan maka dia menjadi pro terhadap pemerintah beserta kebijakannya. Begitupun sebaliknya, jika partai politik berada diluar pemerintahan, maka ia menjadi kontra terhadap pemerintah. Implikasinya adalah anggota DPR RI akan sejalan dengan sikap partainya. Jika tidak, maka resiko pemecatan ataupun PAW akan menanti.

Anggota DPR RI sebagai individu yang dipilih oleh rakyat, seyogyanya bertindak dan bersikap berdasarkan aspirasi dan kepentingan rakyat, bukan berdasarkan posisi dan kepentingan partainya. Jika hal ini tidak dimungkinkan, atau terlalu ideal untuk menjadi kenyataan, maka aturan hukum harus mengakomodasi pendaftaran calon anggota DPR RI melalui jalur independen, sehingga anggota DPR RI bebas dari anasir kepentingan partai pengusungnya.

Sebagai contoh lain dapat kita saksikan di Pilpres 2024 kemarin, ketika PKS mengusung Anies Baswedan yang sama-sama kita ketahui adalah representasi dari anti pemerintah yang berkuasa atau anti status quo, kader PKS yang menjadi calon anggota DPR pun kompak menyuarakan perubahan dan kontra terhadap kebijakan pemerintahan yang sedang berkuasa. Konstituen (pemilih) anggota DPR RI dari partai PKS tentunya memilih kader PKS untuk mewakili mereka di parlemen untuk merepresentasikan oposisi terhadap pemerintahan. Namun, yang terjadi akhirnya adalah PKS bergabung (berkoaslisi) dengan Presiden terpilih yang sama-sama kita ketahui adalah perpanjangan tangan dari pemerintahan yang sebelumnya. Suara yang dihimpun oleh caleg PKS yang bersumber dari aspirasi anti status quo pun tidak di hiraukan sama sekali. Anggota DPR RI yang terpilih dari PKS yang konstituennya berharap mereka menjadi corong oposisi terhadap pemerintahan, malah ikut bergabung bersama pemerintahan meninggalkan suara dari konstituennya.

Dalam contoh ini, kita tidak berbicara benar atau salah, peristiwa di atas hanya sebagai contoh bahwa tidak ada yang namanya kepentingan rakyat seperti yang sering digaung-gaungkan oleh politisi. Kenyataannya, mereka hanya bertindak berdasarkan kepentingan diri dan partai mereka sendiri. Rakyat hanya dijadikan sebagai batu loncatan agar mereka terpilih menjadi wakil rakyat, ketika mereka sudah ada di “dalam”, mereka bertindak berdasarkan kepentingan partai dan melupakan rakyat.

Ketidak-konsistenan para anggota DPR ini dapat kita lihat hasilnya di berbagai survey tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga. Lembaga DPR selalu menduduki peringkat bawah. Seperti survey yang dirilis oleh Lembaga Survey Indikator  pada Januari 2024, dari 11 lembaga yang ada, DPR ada di peringkat kedua terbawah yakni peringkat 10, dan partai politik berada di posisi paling bawah.

Anggota DPR sebagai individu yang dipilih oleh rakyat, seharusnya bertindak dan bersikap berdasarkan kepentingan konstituennya. Anggota DPR bukanlah perwakilan partai politik, melainkan perwakilan rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sesuai dengan  Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 1 ayat (2). DPR sebagai lembaga representasi dari rakyat seyogyanya bertindak dan bersikap berdasarkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.