OpiniHukum

Transisi Sertipikat Tanah Elektronik: Pemerintah Harus Bijak, Jangan Persulit Rakyat!

Ricco Survival Yubaidi, S.H., M.Kn., P.hD.
184
×

Transisi Sertipikat Tanah Elektronik: Pemerintah Harus Bijak, Jangan Persulit Rakyat!

Sebarkan artikel ini
Transisi Sertipikat Tanah Elektronik: Pemerintah Harus Bijak, Jangan Persulit Rakyat!
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Saat ini, dalam ruang lingkup pertanahan di Indonesia, dikenal dua bentuk sertipikat hak atas tanah, yaitu sertipikat analog dan sertipikat elektronik. Sertipikat analog adalah sertipikat yang pada umumnya sudah ada di tengah-tengah masyarakat dan berbentuk buku, terdiri dari lembaran data yang dijahit, memuat data fisik dan data yuridis terhadap objek hak atas tanah. Sementara itu, sertipikat tanah elektronik hanya berupa satu lembar yang disebut sebagai lembar secure paper dengan spesifikasi khusus yang disediakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan menginisiasi peralihan sertipikat hak atas tanah dari bentuk fisik analog menjadi bentuk elektronik. Kebijakan ini awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik. Namun, aturan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik Dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Pergantian regulasi ini menandai langkah lanjut dalam upaya pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan digitalisasi tanah ini dapat diimplementasikan secara lebih efektif dan komprehensif.

Peralihan sertipikat hak atas tanah ke bentuk elektronik menawarkan banyak keuntungan, seperti pengurangan birokrasi, peningkatan kecepatan layanan, dan pengurangan risiko pemalsuan sertipikat. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola transisi tersebut. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian serius adalah kemudahan proses peralihan bagi masyarakat. Proses ini harus dirancang agar sederhana dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau yang tidak terbiasa dengan teknologi digital.

Transparansi dan kesetaraan dalam biaya peralihan juga menjadi isu krusial. Pemerintah harus memberikan kejelasan mengenai struktur biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat dalam rangka peralihan sertipikat hak atas tanah dari bentuk analog ke bentuk elektronik. Kesetaraan biaya ini harus dijamin agar tidak memberatkan masyarakat, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada biaya tambahan yang memberatkan yang dikenakan kepada masyarakat dalam proses ini. Informasi mengenai biaya tersebut harus disosialisasikan dengan jelas dan transparan sehingga tidak menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman.

Dalam konteks implementasi, diketahui bahwa Kantor Pertanahan yang telah ditetapkan sebagai pilot project untuk menyelenggarakan penerbitan Sertipikat Elektronik wajib melaksanakan dengan penuh tanggung jawab atas pelayanan kepada masyarakat. Setiap kantor yang menjadi percontohan harus siap memberikan layanan terbaik dan memastikan bahwa proses transisi berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti bagi masyarakat.

Target awal dari kebijakan sertipikat elektronik ini adalah untuk diterapkan terlebih dahulu pada aset-aset negara atau pemerintah. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa beberapa kota dan kabupaten telah menyelenggarakan sertipikasi elektronik untuk aset-aset yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Perlu dipastikan bahwa penerapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kesiapan yang matang agar tidak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat yang menjadi subjek kebijakan.

Masyarakat juga harus memahami bahwa untuk saat ini, terhadap permohonan pendaftaran hak atas tanah untuk pertama kali maupun pemeliharaan data pendaftaran tanah (seperti jual beli, hibah, dan lain sebagainya), terdapat dua ketentuan. Pertama, apabila sertipikat tanah belum diterbitkan secara elektronik, maka buku tanah dan sertipikat analog akan dibubuhi stempel “tidak berlaku lagi” dan diterbitkan dalam bentuk sertipikat hak atas tanah elektronik. Kedua, apabila sertipikat tanah sudah berbentuk elektronik, maka untuk edisi tersebut akan dinyatakan tidak berlaku dan diterbitkan edisi baru sertipikat elektronik.

Notaris, PPAT, Perbankan, atau pemegang hak atas tanah juga perlu memahami adanya Lembar Pencatatan. Lembar ini terpisah dari lembaran sertipikat tanah elektronik dan digunakan sebagai lembar informasi terhadap adanya catatan yang terjadi pada sertipikat hak atas tanah tersebut. Misalnya, lembar pencatatan perjanjian sewa, perjanjian pengikatan jual beli, pencatatan hak tanggungan, dan lain-lain. Kantor Pertanahan diharapkan melakukan sosialisasi secara masif agar masyarakat mengetahui jenis dan produk-produk yang akan dimiliki setelah dilakukan alih media dari sertipikat analog menjadi sertipikat elektronik.

Kantor Pertanahan juga harus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang panduan dalam membaca data dan informasi yang ada di sertipikat tanah elektronik. Data yang tercantum dalam sertipikat tersebut sangat terbatas, mengingat hanya satu lembar, dibandingkan dengan sertipikat analog sebelumnya yang berbentuk buku atau lembaran yang dijahit. Pemahaman yang baik tentang cara membaca sertipikat elektronik akan membantu masyarakat merasa lebih nyaman dan yakin terhadap keamanan dan keakuratan data yang tercatat.

Proses peralihan dari sertipikat analog menjadi sertipikat elektronik akan melalui tahapan validasi data guna memastikan keakuratan surat ukur elektronik dan buku tanah elektronik. Aktivitas yang dilakukan oleh kantor pertanahan tersebut kemudian dibedakan menjadi dua. Pertama, sertipikat yang telah selesai divalidasi dan dapat dialihkan menjadi sertipikat tanah elektronik. Kedua, sertipikat yang memerlukan penataan batas, yang berarti harus dilakukan pengukuran dan peninjauan ulang batas-batas yang ada di lokasi oleh kantor pertanahan. Hal ini penting agar disosialisasikan dengan baik dan benar, karena tidak semua masyarakat paham konsekuensi yang terjadi bahwa tanah mereka harus melalui proses penataan batas. Kejelasan mengenai waktu dan biaya yang timbul akibat penataan batas tersebut juga harus diberikan.

Berdasarkan informasi yang ada pada aplikasi Sentuh Tanahku, proses pengukuran untuk mengetahui luas tanah disampaikan dalam waktu 12 hari kerja. Dari segi biaya, perlu adanya sosialisasi terhadap komponen biaya apa saja yang lahir akibat adanya penataan batas tersebut. Pasal 84 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah hanya menjelaskan bahwa penyelenggaraan pelaksanaan pendaftaran tanah dapat dilakukan secara elektronik, sehingga belum menjadi suatu kewajiban. Pada pasal selanjutnya juga dinyatakan bahwa penerapan pendaftaran tanah secara elektronik dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sistem elektronik yang dibangun oleh kementerian.

Dari perspektif hukum, regulasi yang mengatur peralihan ini harus mematuhi asas legalitas dan kepastian hukum. Regulasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang beragam dan potensi sengketa di kemudian hari. Perlindungan data pribadi juga harus menjadi prioritas utama, mengingat sertipikat hak atas tanah mengandung informasi sensitif yang harus dijaga dari potensi penyalahgunaan.

Pemerintah juga perlu meningkatkan literasi digital masyarakat untuk mendukung transisi ini. Edukasi dan pelatihan mengenai penggunaan teknologi dan proses administrasi elektronik harus digalakkan, sehingga masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan ini. Dengan kebijakan yang matang dan pelaksanaan yang transparan, peralihan ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi administrasi pertanahan tetapi juga menjadi bagian penting dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, efisien, dan modern. Sebagai bangsa yang terus berkembang, adopsi teknologi dalam pengelolaan hak atas tanah merupakan keniscayaan untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Mari kita kawal bersama transisi sertipikat tanah elektronik ini. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat. Dengan kerja sama yang baik, kita dapat mewujudkan sistem pertanahan yang lebih efisien, aman, dan transparan untuk masa depan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.