Literasi Hukum – Artikel ini membahas prosedur pembubaran perseroan terbatas (PT) di Indonesia, termasuk dasar hukum, peran likuidator, dan tahapan likuidasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, dijelaskan pula tanggung jawab likuidator dalam menyelesaikan aset perusahaan dan kewajiban yang harus dipenuhi selama proses pembubaran dan likuidasi.
Seseorang dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi di Indonesia melalui berbagai sektor bisnis, baik secara langsung sebagai orang pribadi maupun sebagai perusahaan.[1] Wajar jika dikatakan bahwa jumlah PT di Indonesia lebih banyak daripada jenis badan usaha lainnya, termasuk perusahaan perseroan, persekutuan komanditer, koperasi, dan lain-lain.[2] Pelaku usaha semakin berminat mendirikan badan hukum, dalam hal ini PT, seiring dengan perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah menerbitkan ketentuan yang lebih komprehensif mengenai PT, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Namun, dalam perkembangannya, Undang-Undang ini dinilai tidak sejalan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2007, pemerintah mengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dengan Undang-Undang Nomor 40 yang mengatur tentang perseroan terbatas (yang kemudian dikenal sebagai UUPT)”.
Perseroan adalah Korporasi yang memiliki kekayaannya sendiri selain kekayaan manajemennya karena merupakan badan hukum, yang berarti korporasi dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya badan hukum lainnya. Dalam konteks ini, dewan direksi perusahaan bertindak sebagai badan hukum yang bertanggung jawab untuk menjalankan operasi perusahaan. Dalam hal ini yakni kegiatan yang dilakukan dalam Perseroan tersebut.[3] Karena sudah menjadi identitas bahwa salah satu ciri ideal sebuah bisnis adalah operasionalnya yang dilakukan secara terus-menerus, maka yang diharapkan oleh para pengusaha adalah PT yang telah didirikannya dapat terus berjalan. Namun, harapan dan kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Begitu pula dengan PT, sangat tidak mungkin para pendiri organisasi ini berniat membubarkan PT yang telah mereka dirikan.karena hal tersebut itu mungkin saja terjadi karena alasan tertentu.[4]
Ketika sebuah perseroan terbatas (PT) memutuskan ingin berhenti beroperasi atau dibubarkan, perseroan tersebut dapat menjual sahamnya ke badan usaha lain yang ingin tetap menjalankan bisnisnya atau membubarkan diri, yang mana tindakan terakhir sama saja dengan menjual saham.[5] Pembubaran PT sama halnya dengan penghentian pendiriannya tidak lazim bagi perusahaan yang dinyatakan sehat secara finansial untuk mengajukan pembubaran ke pengadilan, tetapi ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukannya karena alasan dan tujuan tertentu. Setelah suatu bisnis memutuskan untuk bubar, perusahaan tersebut harus mematuhi prosedur pembubaran yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewajiban dan faktur perusahaan harus diselesaikan sebelum pembubaran dapat dilakukan, dengan memastikan bahwa aset sebenarnya dalam bentuk tunai.
Pada saat yang ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pembubaran PT dimulai, yang memerlukan tindakan “penyelesaian” yang memerlukan waktu untuk dilaksanakan. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan penyelesaian ini dikenal sebagai masa tenggang “likuidasi” bagi perseroan.[6] Aset dan properti perusahaan sering kali menjadi pertimbangan utama selama pembubaran. Baik produk fisik maupun tidak berwujud dapat dianggap sebagai aset perusahaan. Mendokumentasikan dan menjual atau melikuidasi aset untuk mendistribusikannya kepada pihak yang berhak, seperti pemegang saham atau kreditor, merupakan bagian dari likuidasi dalam proses likuidasi perusahaan.[7]
Likuidasi (vereffening, winding-up) menandakan bahwa urusan perusahaan akan berakhir dan diselesaikan ketika RUPS memutuskan untuk menghentikan atau membubarkannya. Status dan legitimasinya adalah “Perusahaan dalam likuidasi” atau “Perusahaan dalam pembubaran” (vereffening, likuidasi, atau penyelesaian) selama proses pembubaran atau penyelesaian.[8] Penunjukan seorang likuidator merupakan langkah penting dalam proses likuidasi; individu ini akan diberi wewenang oleh hukum untuk membagi aset perusahaan di antara para kreditor dan pihak lain mana pun yang memiliki klaim hukum terhadap aset tersebut.[9]
Seseorang yang ditunjuk untuk mengawasi proses likuidasi dikenal sebagai likuidator, likuidator, atau hanya likuidator. Tanggung jawab untuk mengatur dan menyelesaikan aset perusahaan telah dibebankan kepadanya. Kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kecerobohan likuidator dalam melaksanakan likuidasi juga menjadi tanggung jawab likuidator.[10] Karena Direksi memiliki informasi terkini tentang situasi perusahaan, mereka adalah kandidat ideal untuk ditunjuk sebagai likuidator. Potensi pembubaran benar-benar terjadi sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan, sehingga pemegang saham biasanya tidak menunjuk Direksi sebagai likuidator. Oleh karena itu, keputusan RUPS untuk menyatakan perusahaan dalam tahap likuidasi menentukan apakah likuidator adalah Direksi atau pihak lain.[11] Likuidasi perusahaan merupakan salah satu akibat dari pembubaran PT. Tujuan dari tahap likuidasi adalah untuk memberikan kesempatan kepada likuidator untuk menyelesaikan harta warisan. Apabila pembubaran suatu perseroan merupakan akibat dari putusan pengadilan, maka status badan hukumnya tidak akan hilang sampai proses likuidasi selesai dan RUPS atau pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 143 ayat (1) UUPT.[12]
Banyak perseroan terbatas yang telah dibubarkan, tetapi proses likuidasi masih berlangsung; beberapa dari firma ini tidak lagi beroperasi, tetapi belum dilikuidasi, atau likuidatornya ceroboh dalam menjalankan tugasnya. Hal ini karena pemilik bisnis tidak menyadari konsekuensi hukum dari kegagalan perseroan terbatas untuk melikuidasi atau menyelesaikan prosedur likuidasi. Lebih jauh, UUPT tidak secara tegas mengatur konsekuensi yang timbul bagi likuidator atau badan terbatas jika likuidasi tidak dilaksanakan atau tidak diselesaikan.
Adapun dasar hukum pembubaran suatu PT yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 142 ayat (1) UUPT yang mengatur tentang alasan pembubaran suatu PT, yakni:
Siapa pun di jajaran Direksi atau Dewan Komisaris, atau bahkan hanya satu atau lebih pemegang saham yang memegang sedikitnya sepersepuluh dari saham dengan hak suara, dapat mengajukan nama mereka. Putusan RUPS tersebut menandai dimulainya keruntuhan PT.
Anggaran Dasar menetapkan bahwa masa jabatan PT akan berakhir pada saat itu. Untuk menunjuk likuidator, RUPS harus diajukan paling lambat tiga puluh hari setelah masa jabatan PT berakhir.
Salah satu badan usaha berikut dapat mengajukan permohonan pembubaran badan usaha ke pengadilan: kantor kejaksaan, pihak berkepentingan, pemegang saham, pejabat, atau komisaris. Yang tidak kalah penting dari penunjukan likuidator adalah putusan pengadilan.
Pencabutan Kepailitan: RUPS digunakan untuk menunjuk likuidator. Jika tidak ada likuidator yang ditunjuk, Dewan Direksi akan mengambil alih peran tersebut.
Keadaan insolvensi: Dilakukan oleh kurator
Likuidasi perusahaan merupakan salah satu akibat dari pembubaran PT. Tujuan dari tahap likuidasi adalah untuk memberikan kesempatan kepada likuidator untuk menyelesaikan harta warisan. Berdasarkan “Pasal 143 ayat (1) UUPT”, status badan hukum perusahaan tetap berlaku sampai proses likuidasi selesai dan RUPS atau Pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator.
Secara ringkas akan diuraikan prosedur pembubaran PT hingga PT kehilangan status badan hukum yakni:
Tanggung jawab penyelesaian perusahaan yang dilikuidasi dan dibubarkan berada di tangan likuidator. Sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata “dalam likuidasi” yang ditambahkan pada nama perusahaan, perusahaan tidak mungkin melakukan kegiatan apa pun yang sah secara hukum selama dalam likuidasi, kecuali kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan asetnya. Likuidator bertindak sesuai dengan persyaratan Pasal 149 ayat (1) UUPT dalam melakukan tindakan penyelesaian ini. “Aset” perusahaan adalah apa yang diselesaikan oleh likuidator.
Sederhananya, pada saat pembubaran suatu perusahaan, kewenangan untuk mengelola asetnya dialihkan kepada individu yang dikenal sebagai likuidator. Ketika perusahaan tidak dibubarkan, kewenangan likuidator serupa dengan kewenangan dewan direksi.[13]
Dalam melaksanakan likuidasi perusahaan, likuidator harus bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya. Dalam konteks ini, “likuidator bertanggung jawab” berarti likuidator berkewajiban untuk melaporkan pertanggungjawaban atas likuidasi yang diawasinya.[14] Dengan kata lain, makna dan maksud likuidator bertanggung jawab adalah sebagai berikut:
Pasal 152 ayat (1) dan (2) mengatur mengenai laporan pertanggungjawaban, yang menyebutkan siapa penerima dan cara penyampaiannya oleh likuidator.
RUPS berwenang memberikan “pelunasan dan pembebasan”—yaitu membebaskan dan melepaskan dari tanggung jawab atau kewajiban—setelah laporan pertanggungjawaban likuidator disampaikan kepada mereka, Pengadilan Negeri, atau Hakim Pengawas sesuai dengan Pasal 152 ayat (3) UUPT. Setelah RUPS, Pengadilan Negeri, atau Hakim Pengawas menerima laporan pertanggungjawaban likuidator, langkah selanjutnya adalah memberitahukan dan mengumumkan hasil akhir prosedur likuidasi dalam surat kabar. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUPT, yaitu Pasal 152 ayat (3).
Likuidator wajib memberitahukan hasil akhir likuidasi kepada Menteri. Berdasarkan pemberitahuan itu, Menteri:
Selain itu, Menteri berkewajiban untuk memberitahukan berakhirnya status badan hukum PT dalam Berita Negara Republik Indonesia, bukan likuidator. Likuidator hanya berkewajiban untuk mengungkapkan hasil akhir dari prosedur likuidasi dalam pengumuman yang dapat diakses publik. Likuidator akan memberitahukan kepada publik melalui media cetak jika Pengadilan Negeri mengakui adanya kesalahan dalam proses likuidasi atau RUPS mengizinkan penyelesaian dan pelepasan. “Tugas likuidator tidak berhenti pada tugas-tugas yang tersebut di atas. Dengan memperhatikan keterangan dalam Pasal 142 ayat (6) yang menyatakan bahwa likuidator juga bertanggung jawab kepada Direksi, maka likuidator tunduk pada ketentuan Pasal 97 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Berdasarkan ketentuan tersebut, likuidator bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita oleh PT apabila likuidasi dilakukan karena salah atau karena kelalaian. Apabila terdapat dua orang likuidator atau lebih, maka mereka bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian yang dialami PT sebagai akibat kesalahan atau kelalaian salah satu likuidator”.
[1] Hasbullah F. Sjawie. (2013). “Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hlm. 1”
[2] Orinton Purba. (2012). “Petunjuk Praktis Bagi Rups, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas Agar Terhindar dari Jerat Hukum. Jakarta: Raih Asa Sukses. hlm. 6”
[3] Dewi Tuti Muryati, Bamband Sadono, Rati Diana. (2012). “Implikasi Dan Konsekuensi Hukum Pembubaran Perseroan Terbatas Dalam Perspektif UU No. 40 Tahun 2007. Jurnal:Dinamika Sosial Budaya. hlm. 18”
[4] Sentosa Sembiring. (2002). “Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas. Bandung: CV. Nuansa Aulia. hal. 79”
[5] Ibid, hlm. 166
[6] Rudy Prasetya. (1995). “Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 167
[7] Munir Fuady. (2003). “Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 179”
[8] M. Yahya Harahap. (2009). “Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 544”
[9] Munir Fuady,Op.Cit, hal. 191
[10] M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 560-561
[11] Rudi Prasetya, Op.Cit, hlm. 167
[12] Rudi Prasetya, Op.Cit, hal. 169
[13] Tri Budiyono. (2011). Hukum Perusahaan. Salatiga: Griya Media. hlm. 238
[14] Abdulkadir Muhammad. (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. hlm. 150
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini