Literasi Hukum – Artikel ini membahas perihal sanksi pidana berupa kebiri kimia pada pelaku kekerasan seksual yang ada di Indonesia, serta kaitannya dengan Hak Asasi Manusia.
Setiap tahun, kejahatan kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban merupakan akar masalah mengapa hingga kini permasalahan kekerasan seksual tak kunjung usai. Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak dianggap belum efektif menyelesaikan persoalan tersebut.
Di akhir tahun 2020, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Peraturan Pemerintah ini menerapkan pemberlakuan kebiri secara kimiawi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun demikian, penerapan kebiri secara kimia ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Terlebih, efektivitas dan pemberlakuannya dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana termuat dalam UUD NRI 1945, Konvensi Internasional ICCPR dan CAT yang telah diratifikasi oleh Indonesia, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lantas, apakah hukuman kebiri kimia layak diberlakukan di Indonesia?
Berdasarkan PP Nomor 70 tahun 2020, pelaksanaan hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia adalah setelah terpidana menjalani sanksi pidana pokok. Sedangkan, pemeriksaan medis dan psikiatri forensik maupun psikoterapi dilakukan ketika terpidana menjalani hukumannya di lapas. Pada dasarnya, pemeriksaan tersebut mestinya diterapkan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap agar hakim mengetahui apakah sanksi kebiri kimia tersebut efektif diterapkan terhadap pelaku. Dilihat dari perspektif teoritis, tujuan pemidanaan tidak lagi berpijak pada perbuatannya, namun harus lebih berpijak terhadap pelaku.
Pro dan Kontra PP Nomor 70 tahun 2020 tentang Kebiri Kimia
Pemberlakuan hukuman tambahan kebiri secara kimia disetujui oleh pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), karena hal tersebut dianggap sebagai langkah pencegahan dan sebagai efek jera bagi pelaku yang mengulangi perbuatannya. Komisioner KPAI menilai PP Nomor 70 tahun 2020 dapat memberi kepastian hukum serta menjadi dasar yang lebih kuat bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan hukuman terhadap pelaksanaan kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku serta pemasangan alat pendeteksi elektronik pada terpidana kekerasan seksual bagi anak.
Sedangkan pihak yang menolak pemberlakuan hukuman kebiri secara kimia dikarenakan hal tersebut terdapat potensi konflik norma dengan undang-undang lain yaitu terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang tentang HAM.
Pelaksanaan hukum kebiri merupakan sebuah tindakan penyiksaan bagi pelaku dan dianggap bertentangan dengan UUD NRI yakni pada Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain”. Serta Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya”.
Komnas Perempuan menentang PP tentang Kebiri Kimia tersebut karena pelaksanaan hukuman ini bertentangan dengan filosofi dan maksud pemidanaan yang tujuannya untuk mencegah dan merehabilitasi pelaku kriminal. Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban. Hukuman kebiri kimia tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kemudian terkait kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau untuk kepuasan seksual, namun bisa terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas, kemarahan atau pelampiasan dendam. Sehingga, dengan melakukan kontrol terhadap hormon seksual tidak menyelesaikan kekerasan seksual.
Selain itu, kebiri kimia juga memiliki resiko medis dan bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran (Sumpah Hipocrates) dan disiplin profesi kedokteran yang berlaku universal yang menyebabkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor. Disiplin dan etika kedokteran tentunya melekat pada profesi dokter dimana saja. Dokter-dokter yang tidak bergabung dengan IDI juga terikat dengan etika ini, begitu pula dokter kepolisian dan militer.
Rekomendasi
Pemerintah sepatutnya mengkaji dan mempertimbangkan ulang atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak dan PP Nomor 70 Tahun 2020. Oleh karena itu, hukuman yang berlaku tetap harus memperhatikan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada HAM. Hukuman kebiri kimia tentu tidak dapat menjadi jadi solusi tunggal untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual. Perlu adanya kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk menemukan permasalahan dan penanganan yang tepat dalam upaya menangani kekerasan seksual.
Referensi
Anggie Noviana, Debora, Bambang Waluyo, dan Rosalia Dika Agustanti. “Analisis Terhadap Pelaksanaan Pidana Kebiri Kimia dalam Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak dalam Perspektif Yuridis dan Kedokteran.” Borneo Law Review 4, no. 1 (2020).
Karomah, Wardatul. “Mencegah Pelecehan Seksual Pada Anak Dengan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Sejak Dini.” Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam 2, no. 1 (2018).
Qur’aini Mardiya, Nuzul. “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual.” Jurnal Konstitusi 123 14, no. 1 (2017).
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.