Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan esensi dan implementasi asas legalitas dalam hukum pidana.
Esensi Asas Legalitas
Asas legalitas merupakan salah satu asas hukum yang paling penting. Dalam hukum pidana, asas ini menjadi dasar penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana.
Asas legalitas dikenal sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Ini berarti tidak ada pidana tanpa peraturan. Secara spesifik, asas ini menyatakan, perbuatan seseorang tidak dapat dijatuhi pidana jika tidak ada peraturan yang menentukan bahwa perbuatan itu memang patut dijatuhi pidana.
Di Indonesia, asas legalitas dari hukum pidana terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi sebagai berikut:
Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Dari ketentuan tersebut, ada 2 gagasan dalam asas legalitas. Pertama, peraturan menjadi dasar menghukum perbuatan. Kedua, peraturan mendahului perbuatan.
Gagasan-gagasan tersebut melahirkan banyak pertanyaan. Misalnya, untuk gagasan pertama, apa indikator dari peraturan yang dapat digunakan untuk menghukum perbuatan? Kemudian, untuk gagasan kedua, apa mungkin jika perbuatan dapat dihukum dengan peraturan yang eksis di masa depan?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, para pakar hukum menggagas 4 tolok ukur yang kemudian menjadi asas pembentukan dari peraturan yang menghukum suatu perbuatan. Keempat tolok ukur itu adalah sebagai berikut:
- Bersifat tertulis (lex scripta) sehingga keberadaannya dapat dibuktikan secara nyata;
- Memiliki ketentuan yang jelas (lex certa) sehingga substansinya tidak dapat menimbulkan pemahaman yang ambigu;
- Mengandung ketentuan yang ketat (lex stricta) sehingga substansinya tidak dapat menimbulkan multitafsiran; dan
- Berlaku secara non-retroaktif (lex praevia) sehingga hak asasi dari pelaku perbuatan tetap dihormati.
Peraturan yang menghukum suatu perbuatan perlu dibuat secara tertulis demi menjamin mekanisme kontrol bagi pembuat peraturan. Pada saat yang bersamaan, sifat tertulis peraturan membuat masyarakat dapat memahami dampak peraturan itu secara konkrit bagi kehidupan mereka.
Hanya saja, sifat tertulis dari suatu peraturan tidaklah cukup. Peraturan itu juga harus memiliki ketentuan yang jelas dan ketat. Dengan sifat yang jelas, kita dapat memahami peraturan itu sebagaimana adanya. Dengan sifat yang ketat, kita dapat memahami sejauh apa jangkauan peraturan tersebut.
Terakhir, peraturan perlu berlaku non-retroaktif atau tidak berlaku surut. Ini berarti, seseorang tidak dapat dihukum atas perbuatannya di masa lalu berdasarkan peraturan yang ada di masa depan. Sifat ini perlu dipenuhi sebab peraturan yang berlaku surut melanggar salah satu hak asasi manusia.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, para pakar hukum sepakat bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum dengan peraturan masa depan. Ini berhubungan dengan pembahasan sebelumnya mengenai sifat peraturan yang non-retroaktif. Namun, dalam praktik, gagasan ini terjadi.
Salah satu bentuk peraturan pidana yang menerapkan asas retroaktif adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (“UU 15/2003”). Peraturan ini menghukum perbuatan terorisme setelah banyak kasus terorisme di Indonesia terjadi. Sebagai contoh, peraturan ini digunakan untuk mendakwa Amrozi Cs. yang merupakan dalang dari kasus Bom Bali I pada tahun 2002.
Implementasi Asas Legalitas
Asas legalitas lahir dari pemikiran von Feuerbach, seorang sarjana hukum di Jerman yang hidup pada tahun 1775 s.d. 1833. Feuerbach menggagas asas ini dengan merujuk pada praktik di zaman Romawi kuno yang menghukum setiap perbuatan criminal extra ordinaria.
Criminal extra ordinaria adalah istilah untuk setiap perbuatan yang dianggap oleh penguasa sebagai suatu kejahatan. Criminal extra ordinaria tidak diatur dalam undang-undang, tetapi sepenuhnya bergantung pada penafsiran penguasa. Konsekuensinya, penguasa dapat bersikap sewenang-wenang untuk secara subjektif menentukan suatu bentuk perbuatan sebagai kejahatan.
Sikap penguasa yang otoriter dalam menentukan criminal extra ordinaria akhirnya memantik gerakan yang menentang absolutisme penguasa. Pada titik inilah, gagasan mengenai asas legalitas hadir. Asas ini menjadi pedoman bagi pembentukan peraturan yang menjatuhkan pidana bagi pelaku kejahatan.
Feuerbach menghubungkan asas legalitas dengan teori vom psychologischen zwang. Secara integratif, ia menganjurkan bahwa, dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan, harus ada pengaturan mengenai jenis perbuatannya serta jenis pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan begitu, orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang akan lebih dulu mengetahui akibat hukum yang akan dihadapinya sebelum ia melakukan kejahatan.
Feuerbach turut menegaskan bahwa asas ini tidak hanya berkaitan dengan kepastian hukum, tetapi juga dengan keadilan hukum. Oleh karena itu, dia menekankan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya, dan pengadilan harus menjamin perlindungan hak-hak individu yang dicantumkan dalam hukum.
Gagasan Feuerbach dapat kita temukan dalam beberapa pemikiran kaum revolusioner Prancis, seperti Montesquieu dalam bukunya L’esprit des Lois (1748) dan Rousseau dalam bukunya Dus Contract Social (1762). Pada pemerintahan Prancis oleh Napoleoon Bonaparte, asas legalitas dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal dan kemudian diadopsi oleh Belanda melalui Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881.
Oleh karena prinsip konkordansi pada masa penjajahan Belanda, negara Indonesia turut menggunakan asas legalitas yang diadopsi melalui KUHP. Keberadaan asas legalitas tersebut menjamin bahwa proses implementasi hukum pidana di Indonesia menjamin penghormatan atas hak individu, sekaligus mencegah terjadinya intervensi sikap penguasa yang otoriter sehingga mampu membahayakan kehidupan warga negara Indonesia.