Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai parameter pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Parameter pembuktian dalam hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara pembuktian dalam perkara pidana. Parameter pembuktian ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pembuktian, sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan yang adil dan benar. Bagaimana dan apa saja sih parameter pembuktian dalam hukum acara pidana? Yuk simak penjelasan artikel berikut ini.
Aspek Esensial Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Sebagai salah satu tahapan yang memiliki peran penting dan strategis dalam menemukan kebenaran materil dari suatu perkara yang sedang disidangkan, dalam konteks hukum pidana proses pembuktian merupakan suatu proses esensial dalam persidangan sebagai ketentuan dan pedoman tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa termasuk di dalamnya diatur mengenai teori pembuktian, prinsip pembuktian, kekuatan pembuktian dan alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang.
Definisi Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Jika merujuk pada pendapat beberapa ahli, misalnya, B. Gerstenfend dalam Crime and Punishment in the United States memberikan pengertian hukum pembuktian sebagai aturan yang menentukan dapat diterimanya semua bentuk bukti di pengadilan. Dilain pendapat Bambang Poernomo secara tegas mendefinisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Dari kedua definisi tersebut dapat penulis konklusikan bahwa pembuktian merupakan inti dari persidangan, dimana dalam tahap ini Penuntut Umum dibebankan untuk membuktikan segala hal yang didakwakan (actori incumbit onus probandi), Penasihat Hukum membuktikan sebaliknya serta Majelis Hakim akan menilai segala hal yang terjadi dalam proses pembuktian tersebut untuk memperoleh kesimpulan nanti di dalam Surat Putusan, apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana secara tegas mengacu pada sistem pembuktian menurut undang-Undang secara negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP (negative wetterlijk bewijs theorie).
Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Kedua unsur tersebut tidak saling mendominasi maupun tersegregasi, melainkan saling terkoneksi. Akan tetapi posisi keyakinan hakim dalam teori ini memosisikan keyakinan hakim sebagai penentu. Jika seorang hakim tidak yakin atau ragu-ragu dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, maka putusan tersebut harus yang menguntungkan terdakwa sebagaimana yang dikenal sebagai asas in dubio proreo.
Kekuatan Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Kekuatan pembuktian adalah tingkat kepercayaan hakim terhadap suatu alat bukti. Kekuatan pembuktian suatu alat bukti dapat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti ketelitian, kecermatan, dan objektivitas alat bukti tersebut.
Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian tersebut secara penuh menjadi otiritas hakim. Selain itu, kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan.
Kekuatan pembuktian secara tersurat terletak dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Diartikan sebagai kekuatan pembuktian karena dengan alat bukti tersebut hakim dalam memutus perkara dilarang menjatuhkan pidana tanpa berdasar pada minimal dua alat bukti yang sah (unus testis nullus testis) dengan keyakinan berdasarkan alat bukti tersebut.
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Alat bukti yang sah diatur di dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP secara berturut-turut yaitu Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan Terdakwa. Meskipun alat-alat tersebut dijelaskan secara berurutan, pada hakikatnya semua alat bukti tersebut sama, tidak ada yang prioritas/imperior maupun hierarki atas penilaian alat bukti.