Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai Perspektif Social Legal dalam Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Yuk simak penjelasannya!
Oleh: Irkham Shaifi Cahyo Sasono
Kejahatan korupsi dianggap sebagai “transnational crimes” dan “extraordinary crimes” oleh komunitas internasional dan merupakan salah satu inisiatif utama pemerintah, bahkan lintas negara.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen politik untuk membuat strategi khusus untuk menanganinya. Lembaga khusus telah didirikan secara institusional di beberapa negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang dikenal sebagai institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, beberapa instrumen hukum telah diterapkan. Namun, sistem hukum dan penegakan hukum masih lemah, sehingga kejahatan korupsi terus meningkat di Indonesia. Menurut laman databoks.katadata.co.id. antara 1 Januari dan 6 Oktober 2023, KPK menangani 85 kasus tindak pidana korupsi.
Menurut Selo Sumardjan, beberapa faktor yang menyebabkan korupsi adalah sebagai berikut: [1]
Sedangkan Theodoor M. Smith mengevaluasi bahwa faktor-faktor kultural, ekonomi, dan politik adalah penyebab utama masalah korupsi di Indonesia. Selain itu, ia menyatakan bahwa faktor sejarah yang ditunjukkan oleh sifat feodalisme bangsa Indonesia adalah penyebab utama tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Dalam analisisnya, dia juga menyebutkan faktor lain, seperti faktor kebudayaan, yang merupakan konsekuensi negatif dari sistem feodalisme. [2]
Sehubungan dengan penelitian sebelumnya tentang hubungan antara mentalitas kebudayaan dan hukum, berdasarkan Teori Friedman, salah satu bagian konsep hukum adalah mengatur tentang budaya hukum, di mana budaya hukum adalah sikap dan nilai yang ada hubungannya dengan hukum dan sistem hukum, dan sikap dan nilai ini berdampak pada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum dengan cara yang baik atau buruk. [3]
Baca Juga: Tindak Pidana Korupsi: Pengertian, Unsur-Unsur, dan Sanksinya
Friedman membagi budaya hukum menjadi internal dan eksternal. Budaya hukum internal mencakup lingkup kejaksaan, KPK, dan aparat penegak hukum lainnya.
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi KPK sebagai aktor utama pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, peran budaya hukum di KPK sangat krusial dalam menangani masalah korupsi.
Kelemahan atau cacat dalam budaya hukum lembaga tersebut, seperti yang terjadi belakangan ini dengan kasus di mana Ketua KPK, Firli Bahuri, menjadi tersangka dalam kasus korupsi menunjukkan bahwa kondisi budaya hukum di dalam KPK menjadi faktor kunci dalam upaya pemberantasan korupsi. [4]
Penegakan hukum bagi para penegak hukum perlu didasarkan pada moralitas. Dengan demikian, ketika moralitas para penegak hukum sudah tertanam dengan baik, hukum akan lebih efektif dalam penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan korupsi.
Kemudian Friedman menerangkan tentang budaya hukum modern yang sejalan dengan konsep budaya hukum modern menurut Satjipto Rahardjo. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan hukum serta lembaga-lembaga yang akan berlaku bagi dirinya.
Hal ini menunjukkan adanya budaya hukum terbuka di mana masyarakat memiliki kebebasan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan serta pelaksanaan hukum positif. [5]
Lebih lanjut, membangun budaya hukum di masyarakat menjadi penting hingga mencapai tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Hal ini akan membantu dalam memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dengan budaya hukum yang kuat dan kesadaran hukum yang tinggi, masyarakat dapat ikut serta dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi melalui pemahaman dan penegakan hukum yang efektif.
Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai “budaya hukum” merupakan kumpulan elemen yang menentukan bagaimana sistem hukum mendapatkan tempat yang tepat dalam struktur budaya masyarakat umum.
Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa baik hukum berfungsi; jika kepatuhan masyarakat menurun atau apatis, maka hukum tidak berfungsi.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini