Hukum IslamOpini

5 Imunitas Non-Kombatan dalam Konflik Antar Negara Menurut Hukum Islam

Redaksi Literasi Hukum
159
×

5 Imunitas Non-Kombatan dalam Konflik Antar Negara Menurut Hukum Islam

Share this article
5 imunitas dalam konflik perang menurut islam
Ilustrasi gambar oleh penulis.

Literasi Hukum – Selama manusia ada maka konflik yang hadir di dunia sebagai konsekuensi atas kebebasan untuk memilih (free will) akan selalu ada. Namun disisi lain manusia juga menciptakan dan/atau menyusun suatu kaidah baik itu berasal dari moralitas wahyu Tuhan ataupun manusia itu sendiri untuk membatasi atau mengatur agar peperangan tersebut setidaknya dapat berjalan tanpa menimbulkan kehilangan yang tidak diperlukan baik itu nyawa atau harta benda. Aturan-aturan humaniter itu dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia misalnya menurut Jean Pictet seperti yang terkandung di dalam syair kepahlawanan Mahabharata dan undang-undang Manu

5 Orang yang Dilarang Diserang Dalam Konflik Menurut Islam

Sehingga jauh sebelum dikenal produk humaniter seperti Konvensi Jenewa dan Den haag ataupun Lieber Code hukum humaniter sudah dikenal hanya saja terbatas pada apa yang dianut oleh masing-masing negara dan bangsa. Salah satu bangsa ini adalah bangsa Arab khususnya ketika Islam mulai masuk dan disebarkan oleh Rasul Muhammad SAW. Dalam keyakinan tersebut tersusun sebuah kaidah yang membentuk hukum Islam salah satunya mengenai imunitas terhadap Nonkombatan dalam suatu konflik. Teerdapat 5 kategori yang dijadikan oleh Rasul sebagai larangan untuk diserang yakni:

  • Perempuan
  • Anak
  • orang lanjut usia
  • Rohaniawan
  • Al-Asif (Orang sewaan)

Atas dasar larangan ini muncul dua kategori pembeda dalam Islam terhadap target yang boleh dan tidak untuk diserang yakni al-muqatilah/ahl al-qital/al-muharibah (kombatan) dan ghair al-muqatilah/ghair al-muharibah (nonkombatan). Istilah muqatilah berasal dari kata kerja yuqatil (memerangi/bertarung) sedangkan istilah muqaribah berasal dari kata kerja yuharib (bertempur dalam perang). 

Kedua penggunaan istilah ini berasal dari zaman Rasul. Namun banyak ahli hukum tidak sepakat mengenai sasaran yang sah dalam perang ini akibat adanya ketidaksepakatan mereka dalam menentukan casus belli Islam. Oleh karena itu al-syafi’i (820 M) dan Ibnu Hazm (1064 M) menganggap bahwa casus beli Islam adalah kekafiran musuh yang selain anak-anak dan perempuan, siapapun menolak untuk membayar jizyah adalah sah sebagai sasaran perang. 

Sementara itu mayoritas ahli hukum menganggap bahwa kasus belli Islam adalah agresi musuh dan bukan kekafiran semata memperluas daftar lima kategori nonkombatan dengan menerapkan metodologi analogi hukum untuk memasukkan jenis-jenis nonkombatan lainnya. Mereka lebih terfokus dalam upaya untuk mendaftarkan kategori-kategori musuh dan membedakan siapa yang memenuhi syarat yang sah sebagai sasaran dalam perang dengan yang tidak. Semua ketentuan itu mereka susun dengan tetap mengacu pada Al-Quran, hadis, dan sumber-sumber Islam lainnya sebagai dasar keputusan. Adapun kategori ini digambarkan sebagai berikut :

1. Anak dan Perempuan

Perempuan dan anak-anak termasuk ke dalam kategori yang disepakati oleh ahli fikih untuk tidak dijadikan target serangan walau disisi lain perempuan dianggap dapat membahayakan ketimbang anak-anak. Ahli fikih juga melarang menjadikan khuntsa yakni orang yang terlihat seperti laki-laki sekaligus perempuan. Dalam hal ini mereka menggolongkan orang yang berhak akan imunitas itu adalah mereka yang belum mencapai umur 15 tahun. Batas usia yang sama juga merupakan prasyarat bagi umat Islam untuk bergabung dengan pasukan Muslim.

Batasan ini merujuk pada Rasul yang menolak sebagian sukarelawan laki-laki Muslim berusia 14 tahun dalam pertempuran Badar dan Uhud dan menerima mereka ketika sudah berusia 15 tahun. Justifikasi terhadap imunitas pada anak dan perempuan ini juga berangkat pada kata-kata al-Ghazali yakni “Laisa halal qital” (tidak pantas untuk berperang) kemudian Ibnu Qudamah yakni “amnaha la tuqatil (dia tidak berperang). Sedangkan as-Syakauni menyebutnya “Li dha’fihim (karena kelemahan mereka). 

Namun ada beberapa pengecualian untuk wanita seperti ratu atau putri kerajaan yang berpartisipasi langsung dalam konflik pun wanita kaya yang menghasut musuh. Bagi Ibnu Sahnun dan Ibnu Hajar apabila perempuan itu memperingatkan musuh atau melempari pasukan Muslim dengan batu ia tak dapat diserang kecuali jika perempuan itu membunuh pasukan Muslim dengan batu-batu dan dalam situasi membela diri namun apabila wanita itu ditangkap ia tak boleh dibunuh(Maliki, Al-Qarifi, asy-Syaibani).

2. Orang lanjut Usia

Sebagian besar ahli hukum melarang untuk menjadikan orang lanjut usia sebagai sasaran serangan. Ash-Shan’ani mendefinisikan lanjut usia sebagai orang yang tampak sudah lanjut usia atau orang yang mencapai usia 50 atau 51 tahun. Namun apabila orang lanjut usia ini mendukung musuh dan merencanakan operasi perang maka ia dapat dijadikan sasaran serangan yang menurut asy-Syirazi dan an-Nawawi berpendapat bahwa merencanakan pertempuran itu lebih besar pengaruhnya dalam menentukan kemenangan ketimbang ikut berperang langsung. Hal ini berangkat dari kasus pembunuhan terhadap Duraid bin ash-shummah saat ia merencanakan operasi pertempuran Hunain meski ia sudah berusia seratus tahun lebih. Sedangkan saat itu Rasul tidak mengutuk pembunuhan tersebut.

3. Orang Buta, Sakit, Penyandang Disabilitas, dan Majenun

Rincian mengenai kategori ini sangat sedikit tetapi para ahli hukum sepakat bahwa pasukan Muslim tidak diperbolehkan menjadikan orang buta, orang sakit, penyandang disabilitas, dan majenun sebagai sasaran serangan. Namun ini menjadi diperbolehkan apabila penyandang disabilitas ini masih dapat bertempur secara fisik dan mendukung musuh. Untuk orang Majenun menurut Abu Hanifah apabila orang tersebut mendapatkan kembali kewarasannua maka ia dapat dijadikan sasaran serangan selama kewarasan itu masih ada. Semua ini didasarkan oleh kerugian yang dapat ditimbulkan terhadap pasukan Muslim.

4. Rohaniwan

Ahli hukum menyebut Rohaniwan sebagai rahib (petapa/biarawan). Dalam bahasa Islam, ini merujuk pada tokoh-tokoh agama yang mengabdikan dirinya untuk beribadah. Hal ini didasari oleh perintah Rasul juga dalam sepuluh perintahnya kepada Yazid bin Abu Sufyan dan Abu Bakar yang mengulangi larangan Rasul untuk tidak mengincar rahib. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah menyatakan bila larangan untuk tidak menjadikan rahib sebagai sasaran serangan itu karena mereka tidak ikut berpartisipasi langsung dalam permusuhan dan hanya tinggal di tempat ibadah. Namun dia juga menambahkan apabila rahib ini diketahui mendukung tentara musuh maka dapat menjadi sasaran. Pun As-Syafii setuju dengan apa yang telah Abu Bakar lakukan.

5. Al-Asif, Petani, Pengrajin, dan Pedagang

Asif atau Usaha di sini berarti orang yang dibayar atau karyawan. Ini mengacu kepada orang yang dibayar untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam konteks tulisan ini maka ini tertuju pada siapa saja yang bekerja untuk atau dibayar oleh musuh demi melakukan pelayanan dalam medan tempur, misal mereka yang mengurus barang/ternak tapi tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Hal ini didasari oleh larangan dalam Nabi selama konflik Hunain berlangsung. Kemudian imunitas terhadap al-harif al-masyghul bi hirfatih (pengrajin yang sibuk dengan perkerjaannya) kemudian petani dan pedagang di pihak musuh yang didasari oleh laporan Zaid bin Wahb berdasarkan intruksi dari Umar bin al-Khatthab.

Referensi

Ahmed Al-Dawoody, Hukum Perang Islam, KPG : Jakarta, 2019
Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Universitas Lampung : Lampung, 2011
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hak Waris
Opini

Literasi Hukum – Mengetahui kedudukan hak waris dalam hukum waris, termasuk ketika menghadapi kasus langka seperti orang yang memiliki kelamin ganda. Artikel ini menjelaskan perspektif Islam terkait dengan khuntsa, jenis…