Perdata

Penyelesaian Sengketa Waris di Indonesia

Uswatul Khasanah
540
×

Penyelesaian Sengketa Waris di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Penyelesaian Sengketa Waris
Ilustrasi Gambar

Literasi HukumArtikel ini membahas mengenai cara penyelesaian sengketa waris di Indonesia. Yuk simak pembahasannya.

Indonesia Negara Hukum

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat), maka konsekuensinya semua tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun oleh warga negara harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Apabila terjadi pelanggaran hukum atau sengketa maka harus ditegakkan atau diselesaikan secara hukum. Guna merealisasikan terwujudnya negara hukum tersebut, maka perlu adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum serta keadilan.

Penyelesaian Sengketa Waris

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[1] Dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata, di mana dalam hal ini adalah waris, maka akan dibahas terkait peradilan yang berwenang, di antaranya adalah:

1. Penyelesaian Sengketa Waris melalui Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam lingkup badan peradilan umum, mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara pidana mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer yang merupakan kewenangan Peradilan Militer.

Sedangkan dalam perkara perdata, Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama.[2] Dalam hal persoalan warisan bagi yang beragama Islam adalah wewenang Pengadilan Agama yang didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Sedangkan perkara kewarisan selain orang-orang yang beragama Islam adalah wewenang Pengadilan Negeri.

Meskipun demikian, bagi orang yang beragama Islam jika mengajukan persoalan sengketa waris di Pengadilan Negeri tetap diterima. Hal ini berdasarkan pada penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, di mana dalam penjelasan tersebut yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam.

Oleh karena itu, orang-orang yang beragama Islam yang bersengketa di Pengadilan Negeri adalah orang-orang yang menundukkan diri pada hukum perdata Indonesia (BW) atau hukum waris adat. Dengan demikian, sikap pengadilan tidak boleh menolak orang Islam yang ingin menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Negeri.[3]

Pengadilan negeri dalam menyelesaikan perkara waris berdasar pada hukum adat dan barat.[4] Adapun dasar hukum dalam menyelesaikan sengketa hukum waris adat adalah hukum adat yang tidak tertulis.

Dalam hal ini hakim dituntut untuk menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan dalam pasal tersebut akan menjadi salah satu dasar hukum bagi hakim untuk menemukan hukumnya berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum adat.[5]

2. Penyelesaian Sengketa Waris melalui Pengadilan Agama

Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara tegas kewenangannya diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menegaskan, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Adapun tugas dan wewenang Pengadilan diatur dalam Pasal 49 yaitu Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah.

Waris antara orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Mengenai ketentuan waris ini terdapat pada Pasal 49 huruf (b), di mana yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa di Indonesia dalam hukum perdata masih terdapat keanekaragaman, di mana ada tiga sistem hukum yang berlaku yaitu hukum Islam, hukum adat dan hukum perdata barat. Ketiga sistem hukum ini juga mempengaruhi hukum waris di Indonesia. Adakalanya waris menimbulkan sebuah polemik dan bahkan bisa memunculkan sengketa. Sehingga dalam penyelesaian sengketa waris ini juga diwarnai dengan sistem hukum Islam, adat, dan barat.

Ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia ini menunjukkan adanya pluralisme hukum. Menurut Werner Menski, pluralisme hukum (legal pluralism) adalah pendekatan dalam memahami pertalian antara hukum negara (positive law), aspek sosial-masyarakat (sosio-legal approach) serta hukum alam (moral/ethic/religion) atau jika secara sederhana mungkin dapat dijelaskan yaitu berlakunya beberapa tatanan atau sistem hukum (sistem hukum negara, sistem hukum adat dan sistem hukum agama) yang berlaku secara bersamaan di dalam suatu lapangan sosial yang sama.[6]  

Keberlakuan pluralisme hukum ini akan tampak apabila dilihat dari sisi subjek hukumnya, yaitu apabila seseorang atau subjek hukum berhadapan dengan berbagai pilihan hukum dalam menghadapi suatu permasalahan hukum. Jika dikaitkan dengan hukum waris di Indonesia, maka akan tampak cara subjek hukum tersebut dalam melakukan penyelesaian sengketa waris, di mana subjek hukum tersebut dapat memilih pilihan hukum dalam melakukan penyelesaian sengketa waris tersebut.

Adapun pilihan hukum yang dapat dipilih adalah dengan hukum waris Islam, hukum waris adat ataupun hukum waris barat (BW). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pluralisme hukum dalam hal sistem hukum pewarisan di Indonesia.[7]

Melihat pluralisme hukum waris tersebut, maka subjek hukum diberi kebebasan dalam memilih penyelesaian sengketa waris. Pilihan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah penyelesaian sengketa waris tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Negeri apabila menginginkan penyelesaian sengketa waris yang tunduk pada Hukum Adat atau KUHPerdata atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaian sengketa waris yang tunduk pada Hukum Islam.

Sumber Referensi

Peraturan:

  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Stbl. 1937 Nomor 16.
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Buku:

  • Ashari Setja Marwah Adli. (2020). Penyelesaian Sengketa Waris Adat Bagi Masyarakat Beragama Islam Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Jurnal Magister Hukum Udayana, 9(1), 76-84.

Jurnal:

  • Ilham Tohari. (2018). Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Menyelesaikan Perkara Waris Masyarakat Muslim Pasca Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Yudisia, 9(1), 14-31.
  • Eka Susylawati. (2006). Senketa Kewenangan Pengadilan dalam Perkara Waris Akibat Adanya Pilihan Hukum. Al-Ahkam, 1(1), 72-94.
  • Isabella Takapente. (2020). Tinjauan Hukum Terhadap Cara Hakim Menyelesaikan Sengketa Waris Adat. Lex Et Societatis, 8(1), 119-142.

[1] Pasal 18 jo Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[2] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Stbl. 1937 Nomor 16.

[3] Ilham Tohari, “Menyoal Kewenanan Pengadilan Negeri Dalam Menyelesaikan Perkara Waris Masyarakat Muslim Pasca Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama”, Yudisia, Vol. 9, No. 1 (Juni 2018), 22.

[4] Eka Susylawati, “Senketa Kewenanan Pengadilan dalam Perkara Waris Akibat Adanya Pilihan Hukum”, Al-Ahkam, Vol. 1, No. 1 (Juni 2006), 83.

[5] Isabella Takapente, “Tinjauan Hukum Terhadap Cara Hakim Menyelesaikan Sengketa Waris Adat”, Lex Et Societatis, Vol. VIII, No. 1 (Maret 2020), 134.

[6] Ashari Setja Marwah Adli, “Penyelesaia Sengketa Waris Adat Bagi Masyarakat Beragama Islam Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 9, No. 1 (Mei 2020), 78.

[7] Ibid., 80.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.