Hukum BisnisOpiniPerdata

Hukum Perdata Hutang Piutang

Adam Ilyas
245
×

Hukum Perdata Hutang Piutang

Share this article
hukum perdata hutang piutang
Ilustrasi gambar oleh penulis.

Literasi HukumHutang dan piutang merupakan bagian dari hukum perdata dan menjadi hal yang tak bisa dihindari dalam kehidupan modern saat ini. Terutama dalam dunia bisnis, transaksi yang melibatkan hutang piutang menjadi hal yang umum terjadi. Namun, meskipun hal ini sering terjadi, banyak kasus hukum perdata hutang piutang yang masih menjadi masalah dalam pengadilan Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang hukum perdata hutang piutang sangat penting dalam hubungan bisnis dan keuangan.

Hutang dan piutang adalah dua istilah yang berbeda, meskipun keduanya terkait dengan uang yang dipinjam atau dipinjamkan. Hutang adalah uang yang dipinjam oleh peminjam dari kreditur, sedangkan piutang adalah uang atau aset yang dipinjamkan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam. Dalam kedua kasus ini, kesepakatan tertulis antara kedua belah pihak harus dibuat sebelumnya.

Dalam hukum perdata Indonesia, hutang dan piutang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam hukum perdata hutang piutang, antara lain:

Persyaratan Sahnya Suatu Hutang Piutang Dalam Hukum Perdata

Seperti yang umum dipahami, ada dua kategori perjanjian: lisan dan tertulis. Perjanjian lisan ini adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk lisan (kesepakatan para pihak secara lisan). Menurut hukum, perjanjian lisan adalah sah dan dapat dilaksanakan sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu para pihak sepakat dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu, agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

Pasal 1320

Empat syarat harus dipenuhi sebelum suatu kontrak dapat dianggap sah:
1. Persetujuan para pihak yang mengikatkan diri;
2. kecakapan untuk membuat suatu kontrak;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang halal.

Wanprestasi

Banyak kejadian di mana peminjam tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjaman kepada pemberi pinjaman dalam praktik hukum perdata hutang piutang atau dapat dikatakan dalam perjanjian pinjaman. Keadaan ini disebut wanprestasi, yang berarti peminjam tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati, atau tidak tepat waktu. 

Wanprestasi adalah pelanggaran atau tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian atau kontrak oleh salah satu pihak tanpa alasan yang sah atau tanpa persetujuan pihak lain. Dalam hukum perdata, wanprestasi dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan atau kelalaian untuk melaksanakan kewajiban kontrak dan dapat menyebabkan pihak yang dirugikan untuk mengambil tindakan hukum, termasuk tuntutan ganti rugi atau pembatalan kontrak. Contoh kasus wanprestasi antara lain ketidakmampuan untuk membayar utang.

Pasal 1238 KUHPerdata mengatur:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau dengan persetujuannya sendiri, apabila hal ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai setelah lewat waktu yang ditentukan.”

Artinya bahwa peminjam dapat dianggap wanprestasi jika telah lewat dari waktu yang telah ditentukan dan jika ada bukti tertulis atau somasi yang menunjukkan ketidakpatuhan tersebut.

Maraknya Kasus Perdata Hutang Piutang

Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur hukum perdata hutang piutang, masih banyak kasus hukum perdata hutang piutang yang sulit diselesaikan. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kurangnya kesadaran akan pentingnya membuat perjanjian tertulis yang jelas dan rinci.

Untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari, sebaiknya semua transaksi hutang piutang dalam bisnis maupun kehidupan pribadi dilakukan dengan kesepakatan tertulis yang jelas. Hal ini akan memudahkan penyelesaian masalah apabila terjadi sengketa atau perselisihan di kemudian hari.

Dalam bisnis, penyelesaian hutang piutang yang cepat dan efektif dapat membantu memperkuat hubungan bisnis antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya hukum perdata hutang piutang dan penyelesaiannya harus menjadi prioritas bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi hutang piutang.

Cara penyelesaian hutang piutang

Apabila terjadi permasalahan dalam penyelesaian hutang piutang, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah:

a. Penyelesaian di luar pengadilan

Penyelesaian di luar pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR) merupakan cara alternatif dalam menyelesaikan sengketa tanpa melalui jalur pengadilan. Metode ini bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa secara sukarela atau atas perintah pengadilan. Berikut adalah beberapa jenis penyelesaian di luar pengadilan yang dapat dilakukan:

1. Mediasi: Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang bersengketa bertemu dengan mediator, yaitu orang yang terlatih dalam membantu mencapai kesepakatan. Mediator akan membantu pihak-pihak untuk memahami masalah dan mencari solusi yang dapat diterima bersama. Keuntungan dari mediasi adalah biaya yang lebih murah dibandingkan dengan litigasi di pengadilan dan pihak-pihak yang bersengketa dapat mempertahankan hubungan baik setelah penyelesaian sengketa.

2. Arbitrase: Arbitrase adalah upaya penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang bersengketa setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada satu atau beberapa arbiter yang independen dan netral. Arbiter akan mendengarkan argumen dari kedua belah pihak dan membuat keputusan yang bersifat mengikat. Keputusan arbiter biasanya tidak dapat diubah oleh pengadilan. Keuntungan dari arbitrase adalah kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa serta keputusan yang bersifat final.

3. Negosiasi: Negosiasi adalah upaya penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang bersengketa berusaha mencapai kesepakatan secara langsung. Dalam negosiasi, pihak-pihak harus bersedia berbicara dan mendengarkan argumen dari pihak lain. Keuntungan dari negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa dapat mencapai kesepakatan yang lebih fleksibel dan dapat mempertahankan hubungan baik setelah penyelesaian sengketa.

Setiap jenis penyelesaian di luar pengadilan memiliki keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri. Pemilihan jenis penyelesaian sengketa tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing kasus.

b. Penyelesaian melalui pengadilan

Apabila penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, maka dapat dilakukan penyelesaian melalui pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan membawa bukti-bukti yang mendukung.

Penting untuk dicatat bahwa semua tuntutan, termasuk ganti rugi, harus dituliskan dengan jelas dan lengkap dalam surat gugatan. Dalam gugatan perdata, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan melebihi apa yang diminta oleh pihak yang mengajukan gugatan. Oleh karena itu, jika kreditur tidak menuntut ganti rugi dalam surat gugatan, putusan atas kasus wanprestasi tidak akan mencakup ganti rugi.

c. Ganti rugi dalam kasus hutang piutang

Dalam kasus di mana salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam penyelesaian hutang piutang, pihak yang merasa dirugikan berhak mendapatkan ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang diberikan harus sebanding dengan kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan.

Hukum perdata hutang piutang juga mengatur tentang bunga atau biaya tambahan yang harus dibayar oleh peminjam. Pembayaran biaya, kerugian, atau bunga oleh debitur harus didukung oleh bukti kelalaian debitur. Dalam hal ini terkait keterlambatan pembayaran, debitur hanya diwajibkan untuk membayar penggantian biaya, kerugian, dan bunga apabila ia dianggap lalai. Sesuai dengan Pasal 1243 KUH Perdata, yang menyatakan secara keseluruhan:

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap lalai, dan hanya apabila perikatan itu telah dilampauinya.” 

d. Pembatasan waktu penuntutan hutang piutang

Pembatasan waktu penuntutan hutang piutang juga diatur dalam hukum perdata. Menurut Pasal 1967 KUHPerdata, waktu penuntutan hutang piutang adalah 30 tahun. Artinya, setelah 30 tahun, pihak yang berhak menuntut hutang piutang tersebut sudah tidak dapat lagi menuntutnya.

Namun, ada juga beberapa kasus di mana penuntutan hutang piutang tidak terbatas waktu. Contohnya adalah dalam kasus hutang piutang yang dijamin dengan hipotek atau jaminan lainnya, di mana pemberi pinjaman dapat menuntut hutang piutang tersebut sampai terlunasi sepenuhnya.

e. Hukum Pidana dalam Hutang Piutang

Menanggapi pertanyaan “Apakah Orang yang Tidak Membayar Hutang Dapat Dipidanakan? “, tidak ada ketentuan yang melarang seseorang untuk melaporkan orang yang berutang kepada pihak berwajib. Setiap orang memiliki hak untuk mengajukan laporan atau pengaduan ke polisi, namun hal tersebut tidak selalu berarti bahwa kasus tersebut akan dilanjutkan ke pengadilan.

Meskipun demikian, Pasal 19 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa sengketa utang piutang tidak boleh mengakibatkan hukuman penjara. Pasal 19 ayat 2 menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana penjara atau kurungan atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.”

Jika mengacu pada Pasal 19 ayat (2), meskipun sudah ada laporan ke polisi terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh menghukum seseorang karena ketidakmampuan membayar utang.

Meskipun demikian, dalam prakteknya, beberapa perselisihan mengenai utang piutang yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar hukum Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Namun, sebenarnya tindakan pidana penggelapan dan penipuan memiliki substansi yang berbeda dengan perjanjian yang merupakan tindakan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada unsur perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) yang terpenuhi dalam pasal pidana tersebut.

Tetapi, terdapat pengecualian dalam kasus pembayaran utang dengan menggunakan cek kosong atau tanpa dana. Setelah ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong, yang menyebabkan orang enggan menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung dihubungkan dengan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1036K/PID/1989 yang menyatakan bahwa “terdakwa dengan sengaja mengetahui bahwa cek yang diberikan kepada saksi korban tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong sejak awal, oleh karena itu tuduhan ‘penipuan’ harus dianggap terbukti.”

Jika dapat diambil jalan tengah maka dapat disimpulkan bahwa isu mengenai utang piutang diatur dalam hukum perdata, namun apabila dilakukan dengan tindakan tipu muslihat atau kebohongan, maka akan termasuk dalam ketentuan hukum pidana.

Kesimpulan

Kesimpulannya, dalam kehidupan modern saat ini, hutang dan piutang merupakan hal yang tak bisa dihindari, terutama dalam dunia bisnis. Pemahaman yang baik tentang hukum perdata hutang piutang sangat penting dalam hubungan bisnis dan keuangan. Dalam hukum perdata Indonesia, persyaratan sahnya suatu hutang piutang dan wanprestasi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur hukum perdata hutang piutang, masih banyak kasus hukum perdata hutang piutang yang sulit diselesaikan. Oleh karena itu, semua transaksi hutang piutang dalam bisnis maupun kehidupan pribadi sebaiknya dilakukan dengan kesepakatan tertulis yang jelas dan rinci untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.