Perdata

Force Majeure dalam Hukum Perdata di Indonesia

Dhea Salsabila
213
×

Force Majeure dalam Hukum Perdata di Indonesia

Share this article
Force Majeure dalam Hukum Perdata
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumForce majeure atau keadaan kahar merupakan istilah yang kerap dijumpai dalam sektor ekonomi, khususnya pada hal yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak. Konsep ini diterapkan saat seorang debitur berada di situasi terdesak atau sedang mengalami peristiwa yang terjadi di luar kendali. Artikel ini membahas tentang force majeure secara mendalam, mulai dari definisi, landasan hukum, jenis-jenis, hingga implementasinya dalam hukum di Indonesia.

Definisi Force Majeure

Merujuk pada Black’s Law Dictionary, force majeure secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yang berarti superior force atau kekuatan yang lebih tinggi. Adapun dari segi terminologi, istilah tersebut diartikan sebagai peristiwa yang tidak dapat diantisipasi ataupun dikendalikan, termasuk kejadian alam maupun kejadian akibat manusia.

Advertisement
Advertisement

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), force majeure atau keadaan kahar didefinisikan sebagai suatu kejadian yang secara rasional tidak bisa diantisipasi atau dikendalikan oleh manusia.

Terdapat pula beberapa pengertian force majeure menurut para ahli, yakni:

  • Abdulkadir Muhammad

Keadaan kahar ialah suatu kondisi tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

  • Setiawan

Keadaan kahar adalah suatu kondisi yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Hal ini karena semua terjadi sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa force majeure adalah situasi memaksa (overmacht) karena adanya peristiwa yang terjadi di luar kendali, sehingga menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

Adapun peristiwa dapat dikatakan keadaan kahar harus memenuhi beberapa unsur, meliputi:

  1. Peristiwa yang terjadi karena kejadian atau gejala alam.
  2. Peristiwa yang tidak dapat diprediksi akan terjadi.
  3. Peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk menunaikan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.

Dalam hal ini, force majeure merupakan salah satu konsep yang termasuk dalam kategori hukum perdata. Pada sistem civil law, hukum perdata memiliki dua bagian, yakni hukum kontrak dan hukum dagang. Secara lebih spesifik, kedudukan force majeure berada pada bagian hukum kontrak.

Dasar Hukum Force Majeure

Keadaan kahar dalam hukum Indonesia diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245.

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pada Pasal 1244 KUHPerdata dijelaskan bahwa:

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat membuktika bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. Walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pada Pasal 1245 KUHPerdata dijelaskan bahwa:

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Berdasarkan kedua pasal di atas, maka rumusan kausa force majeur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya keadaan kahar harus tidak terduga pada saat pembuatan perjanjian.
  2. Peristiwa tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak debitur.
  3. Peristiwa yang menyebabkan keadaan kahar harus di luar kuasa atau kesalahan pihak debitur.
  4. Para pihak tidak dalam keadaan itikad buruk.
  5. Jika terjadi keadaan kahar, kontrak tersebut dianggap gugur dan seolah tidak pernah ada perjanjijan.
  6. Jika terjadi keadaan kahar, kedua belah pihak tidak boleh menuntut ganti, akan tetapi karena kontrak yang bersangkutan menjdi gugur maka untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi masih dimungkinkan.
  7. Risiko sebagai akibat dari keadaan kahar beralih dari pihak kreditur kepada debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan.

Lantas, dalam hal ini siapakah yang berhak memutuskan bahwa suatu peristiwa itu termasuk dalam keadaan kahar?

Hal tersebut telah diatur pada Pasal 1338 KUHPerdata, yakni:

“Semua perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Berdasarkan pasal di atas,  perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan antara kedua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan begitu, kedua belah pihak itu jugalah yang menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi termasuk dalam keadaan kahar. Kesepakatan terkait keadaan kahar dapat ditentukan pada saat atau setelah perjanjian ditandatangani.

Jenis-Jenis Force Majeure

Berdasarkan jangka waktunya, keadaan kahar dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

Permanen

Suatu keadaan kahar dikatakan permanen jika prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi sampai kapan pun. Sebagai contoh, barang yang menjadi objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan debitur.

Temporer

Suatu keadaan kahar dikatakan temporer jika pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu. Sebagai contoh, ketika terjadi bencana alam dan ketika bencana itu telah berhenti, maka prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.

Fungsi Force Majeure dalam Hukum Kontrak di Indonesia

Klausa force majeure dalam suatu kontrak bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti bencana alam dan peristiwa tak terduga lainnya seperti pemadaman listrik, kebakaran, sabotase, kerusakan katalisator, invasi, perang, pemberontakan, blokade, kudeta militer, nasionalisasi, terorisme, embargo, dan lain sebagainya.

Referensi

Isradjuningtias, Agri Chairunisa. “Force Majeure (Overmacht) dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia 1, No. 1 (2015): 136-158.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.