Ilmu HukumFilsafat Hukum

Paradigma Yuristokrasi

Miftakhul Shodikin
269
×

Paradigma Yuristokrasi

Share this article
Paradigma yuristokrasi
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum – Yuristokrasi adalah paradigma yang menekankan peran dominan ahli hukum dalam pembuatan keputusan dan norma. Kajiannya panjang, mulai dari konsep Plato tentang “the philosopher king” hingga kritik modern tentang eksklusivitas dan potensi ketidakadilan. Yuk simak pembahasannya legkapnya di bawah ini.

Paradigma Yuristokrasi

Paradigma yuristokrasi merupakan suatu pendekatan atau pandangan dalam ilmu hukum yang memberikan penekanan pada peran dominan hukum dan para ahli hukum (yuris) dalam pembuatan keputusan dan pembentukan norma-norma dalam masyarakat. Istilah “yuristokrasi” berasal dari gabungan kata “yuris,” yang merujuk pada para ahli hukum atau juru hukum, dan “aristokrasi,” yang merujuk pada penguasaan oleh kelompok elit.

Kajian tentang yuristokrasi adalah sebuah kajian yang panjang, dan dalam perkembangannya, mengalami perubahan makna dan konteks. Dalam bukunya yang berjudul “Republica”, Plato secara konsepsional merumuskan sebuah harapan, adanya sekelompok elite, yang memiliki kebijaksanaan dan kecerdasan sistemik, guna diandalkan untuk menjadi pengelola dari sebuah organisasi yang bernama Negara. Kelompok elit itu kemudian dinamakan yuristokrat. Sekelompok elit, yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan di bidang ilmu hukum, yang dengan modalitas berharga itu, bertransformasi menjadi “the philosopher king”.

Sistem yang mengandalkan para yuris di dalam mengelola negara itu, kemudian disebut yuristokrasi. Sehingga pada awaalnya istilah yuristokrasi adalah istilah yang positif pemaknaanya. Namun seiring perkembangannya, yuristokrasi mengalami pergeseran yang cukup signifikan yakni umum digambarkan sebagai kekuasaan kelompok yuris, atau para hakim, yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari kedaulatan lini yudikatif, dalam membajak fungsi legislasi, yang seharusnya menjadi kewenangan dari lini legislatif.

Dalam konteks paradigma yuristokrasi, kebijakan dan regulasi dianggap seharusnya didasarkan pada interpretasi dan penafsiran hukum yang dilakukan oleh para ahli hukum. Para ahli hukum dianggap memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum dan, oleh karena itu, dapat berperan sebagai otoritas intelektual dalam mengembangkan dan mengelola sistem hukum suatu negara. Pendekatan ini dapat menimbulkan beberapa pertanyaan dan kritik, termasuk potensi eksklusi terhadap perspektif dan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan hukum. Paradigma yuristokrasi dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap proses peradilan dan keadilan, dengan merendahkan peran masyarakat umum dalam mempengaruhi atau berpartisipasi dalam pembentukan norma hukum.

Meskipun paradigma ini dapat memberikan penekanan pada keberlakuan hukum dan ketertiban, penting untuk mencari keseimbangan yang tepat antara otoritas ahli hukum dan partisipasi masyarakat dalam rangka menciptakan sistem hukum yang adil dan inklusif. Seiring dengan perkembangan pandangan mengenai partisipasi publik dalam proses hukum, paradigma yuristokrasi mungkin juga memerlukan adaptasi dan penggabungan dengan elemen-elemen partisipatif untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan sistem hukum.

Contoh Penerapan Paradigma Yuristokrasi

Contoh dari yuristokrasi dalam penerapan disuatu negara dapat dilihat dari masif dan kuatnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus konstelasi sosial, hukum dan politik dari suatu negara tersebut. Kita tahu bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki putusan yang bersifat ultra petita. Dasar filososfis MK dapat mengeluarkan putusan yaang bersifat ultra petita ditentukan dengan memasukannya permohonan subsidair pemohon yang berbunyi: “Apabila pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”.

Dalam hal pemohon mengajukan permohonan berdasarkan keadilan yuridis atau putusan yang paling adil, dapat disimpulkan dalam undang-undang bahwa pemohon telah mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi isi permohonan yang tidak disyaratkan atau melebihi permohonan pemohon. kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ada merupakan kewenangan-kewenangan yang memiliki nuansa politis yang tinggi. Selain itu, Pertimbangan-pertimbangan politis dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi terlihat lebih banyak mendominasi daripada pertimbangan-pertimbangan keilmuan. Aspek-aspek politis tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang juga sarat akan kepentingan politis.

Hal ini yang dinamakan sebagai penciptaan konstitusi semu yang diungkapkan oleh Béla Pokol. Bahwa kekuasaan negara yang berdasarkan demokrasi diubah secara besar-besaran oleh pengadilan konstitusi dengan kewenangannya yang diperluas dan, di samping itu, aktivitas yudisial dari pengadilan biasa yang dikeluarkan dari ketentuan undang-undang dan lebih didasarkan pada pernyataan abstrak dari konstitusi membuat gagasan demokrasi semakin kosong.

Demikian pembahasan mengenai paradigma yuristokrasi. Jika #temanliterasi ingin pembahasan topik lainnya, dapat menghubungi kami melalui laman contact us ataupun menghubungi melalui whatsapp widget di sebelah kanan bawah. Semoga bermanfaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.