Literasi Hukum – Asas Legalitas adalah prinsip hukum yang mendasarkan keabsahan tindakan hukum pada dasar hukum yang jelas dan tegas. Artikel ini membahas sejarah dan perkembangan asas legalitas dari masa ke masa, termasuk konsep hukum Romawi dan pengaruhnya pada sistem hukum modern.
Dengan membaca artikel ini, Anda akan memahami pentingnya asas legalitas dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana prinsip ini telah menjadi bagian integral dari sistem hukum yang ada saat ini.
Makna Asas Legalitas
Dalam bidang hukum pidana, terdapat prinsip yang dikenal sebagai Asas Legalitas. Asas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menyatakan bahwa suatu tindakan tidak dapat dianggap sebagai tindakan pidana kecuali jika didasarkan pada ketentuan hukum pidana yang berlaku saat ini. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dihukum jika tidak ada undang-undang pidana yang mengatur perbuatannya.
Sejarah Asas Legalitas
Asas Legalitas dinyatakan secara lengkap sebagai “nullum crimen (delictum), nulla poena sine paevia lege poenali“, dan berasal dari Bavarian Code di Jerman pada tahun 1813. Asas ini dimasukkan ke dalam Bavarian Code oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Asas Legalitas menekankan bahwa tidak ada orang yang bisa dihukum tanpa adanya undang-undang yang telah terlebih dahulu mengatur perbuatannya. Asas ini adalah salah satu ciri dari sistem hukum Eropa Kontinental, dan bertentangan dengan asas retroaktif yang mengizinkan pengenaan hukuman terhadap kejahatan yang belum diatur secara hukum pada saat kejahatan dilakukan.
Pada zaman Romawi kuno, ada istilah “criminal extra ordinaria” yang merujuk pada kejahatan yang tidak diatur dalam undang-undang. Istilah ini diterima oleh raja-raja Eropa Barat ketika mereka menerima hukum Romawi kuno. Hal ini memungkinkan para raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap tindakan-tindakan yang dianggap jahat tetapi belum diatur dalam undang-undang. Kemudian, Magna Charta Libertatum muncul di Inggris pada tahun 1215 sebagai bentuk reaksi terhadap praktik sewenang-wenang raja pada masa itu. Ini menandai fase pertama di mana manusia mulai memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia.
Dalam hukum pidana modern, prinsip legalitas muncul dari sudut pandang sosiologis Abad Pencerahan yang menempatkan perlindungan rakyat dari kekuasaan sewenang-wenang sebagai hal yang penting. Sebelum Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum seseorang tanpa adanya peraturan yang jelas. Pada masa itu, kehendak kekuasaan adalah yang menentukan apakah tindakan tersebut bisa dihukum atau tidak. Oleh karena itu, untuk melindungi hak individu, prinsip legalitas menjadi penting sebagai instrumen perlindungan kemerdekaan individu terhadap negara. Dengan demikian, apa yang bisa dihukum ditentukan oleh otoritas peraturan, bukan oleh kehendak kekuasaan.
Dahulu, perlindungan hak-hak rakyat banyak dicapai melalui perjuangan politik dengan mempertaruhkan kepentingan rakyat terhadap kekuasaan absolut raja. Asas legalitas pertama kali muncul dalam Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan perlindungan hukum/undang-undang seseorang, kecuali melalui putusan pengadilan yang sah. Kemudian, Habeas Corpus Act (1679) mengharuskan pemeriksaan terhadap orang yang ditangkap dalam waktu singkat. Setelah itu, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat menjadi asas hukum, dan dirumuskan dalam hukum tertulis untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid). John Locke (1760) menjadi pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris.
Perjuangan rakyat Inggris yang dimulai sebagai perlawanan terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang oleh Raja Louis XIV, berkembang hingga ke Perancis dan ditandai dengan Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotic. Perjuangan rakyat Perancis ini dipengaruhi oleh dua filsuf terkenal Abad Pencerahan, yaitu Charles Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau. Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois (1748), Montesquieu memperkenalkan konsep asas legalitas sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi yang didengungkan oleh Raja Louis. Sementara Rousseau dalam bukunya yang berjudul Dus Contrat Social, ou principes du droit politique (1762) juga memperkenalkan pemikiran asas legalitas. Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, turut mempengaruhi perkembangan asas legalitas di Perancis dengan membawa pemikiran tersebut dari Amerika ke Perancis.
Di Amerika Serikat, prinsip legalitas telah disebutkan dalam Deklarasi Kemerdekaan pada tahun 1776, yang menyatakan bahwa tidak ada orang yang dapat dituduh atau ditangkap kecuali karena tindakan yang telah diatur dalam hukum. Konsep legalitas kemudian dijadikan undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen pada tahun 1789 di Prancis.
Pasal ini menyatakan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dihukum kecuali jika diatur oleh undang-undang yang berlaku secara resmi. Napoleon Bonaparte memasukkan prinsip ini dalam Pasal 4 Code Penal pada tahun 1801. Seorang filsuf hukum, Beccaria, dalam bukunya yang berjudul Dei delitti e drllee pene (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang dan bahwa hukum harus diterapkan sebelum kejahatan terjadi. Hukum harus jelas dan tegas sehingga dapat memberikan panduan dalam menjalankan peradilan pidana.
Asas Legalitas dalam Pandangan Von Feuerbach
Seorang sarjana Jerman bernama Von Feuerbach menganggap bahwa penting bagi hukum pidana untuk memiliki asas bahwa setiap penjatuhan hukuman harus didasarkan pada ketentuan undang-undang yang ada, dengan tujuan untuk menjamin hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu, undang-undang harus memberikan ancaman hukuman bagi setiap orang yang melanggar hukum, sehingga hukuman yang diberikan oleh hakim menjadi konsekuensi hukum dari ketentuan undang-undang.
Von Feuerbach kemudian menjabarkan tiga ketentuan, yaitu: (1) Nulla Poena Sine Lege, artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman harus didasarkan pada undang-undang pidana; (2) Nulla Poena Sine Crimine, artinya bahwa hukuman hanya dapat diberikan jika perbuatan tersebut telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang; dan (3) Nullum Crimen Sine Poena Legali, artinya bahwa jika suatu perbuatan telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka pelanggaran tersebut dapat mengakibatkan penjatuhan hukuman yang sesuai dengan ancaman hukuman yang ditetapkan dalam undang-undang.
Von Feuerbach pada saat itu mengembangkan ungkapan “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” yang berarti bahwa tidak ada tindakan pidana yang bisa dijatuhkan tanpa adanya undang-undang yang mengatur terlebih dahulu. Ungkapan tersebut dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Rechts” yang diterbitkan pada tahun 1801.
Feuerbach mengungkapkan tiga konsep penting dalam asas legalitas:
- Tidak ada tindakan yang dapat dianggap sebagai kejahatan dan dikenakan hukuman, jika tidak diatur dalam undang-undang.
- Dalam menentukan keberadaan tindakan kejahatan, tidak boleh menggunakan analogi.
- Aturan hukum pidana tidak berlaku surut atau tidak dapat diterapkan untuk tindakan yang terjadi sebelum undang-undang diberlakukan.
Prinsip legalitas pertama kali diakui oleh Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1783 melalui Pasal I Bagian 9 yang menyatakan bahwa “Tidak ada undang-undang penuntutan atau undang-undang ex post facto yang akan disahkan”. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh Perancis melalui Declaration des droits de L’homme et du citoyen pada tahun 1789. Negara-negara yang menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental juga menghargai prinsip kepastian hukum. Tujuan dari prinsip legalitas ini adalah untuk memperkuat kepastian hukum, mendorong keadilan dan kejujuran dalam perlakuan terhadap terdakwa, memperkuat efektivitas hukuman pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta memperkuat rule of law.
Salah satu keuntungan dari asas legalitas adalah melindungi hak-hak rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Namun, kelemahan dari penerapan asas legalitas adalah bahwa hukum menjadi tidak cukup fleksibel untuk mengikuti perkembangan kejahatan yang cepat. E Utrecht menunjukkan bahwa asas legalitas tidak melindungi kepentingan kolektif karena dapat membebaskan pelaku tindakan yang sebenarnya merupakan kejahatan tetapi tidak diatur dalam peraturan hukum. Oleh karena itu, paradigma asas legalitas didasarkan pada konsep “mala in prohibita” (suatu tindakan dianggap kejahatan karena diatur oleh hukum), bukan “mala in se” (suatu tindakan dianggap kejahatan karena secara moral salah).
Di Indonesia, prinsip hukum bahwa setiap perbuatan yang dapat dihukum harus didasarkan pada undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”, yang berarti tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Pasal 1 ayat 1 KUHP mengatur ketentuan pidana yang memiliki tiga asas penting. Pertama, hukum pidana yang berlaku di negara tersebut harus tertulis. Kedua, undang-undang pidana tidak dapat diberlakukan surut. Ketiga, penafsiran analogis tidak boleh digunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.
Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa undang-undang pidana yang berlaku tidak dapat berlaku surut. Meskipun hal ini wajar karena undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia masih dianggap sebagai undang-undang, dan oleh karena itu harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan hukum dapat dijelaskan dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang diterbitkan di Staatsblad pada tahun 1847 dengan nomor 23 pada tanggal 23 April 1847. Biasanya disingkat sebagai A.B. di kepustakaan Belanda, Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia mengandung ketentuan-ketentuan umum tentang hukum Indonesia.
Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving menyatakan bahwa undang-undang hanya berlaku untuk hal-hal yang akan datang dan tidak dapat berlaku secara surut. Ini berarti bahwa undang-undang pidana hanya dapat diterapkan pada seseorang setelah undang-undang pidana tersebut dinyatakan berlaku dan setelah orang tersebut melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang pidana tersebut.