Tata NegaraMateri Hukum

Perlukah Model Pengujian Konstitusional Asing Diadopsi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
157
×

Perlukah Model Pengujian Konstitusional Asing Diadopsi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?

Sebarkan artikel ini
Model Pengujian Konstitusional
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

Literasi HukumArtikel ini membahas apakah model pengujian konstitusional dari negara asing perlu diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Melalui analisis mendalam mengenai doktrin konstitusionalisme dan pengujian konstitusi, serta membandingkan mekanisme pengujian konstitusional yang diterapkan di Jerman dan Perancis, artikel ini mengupas potensi dan tantangan penerapan model serupa di Indonesia. Dengan pendekatan yuridis dan normatif, penulis mengkaji implikasi dari adopsi model pengujian konstitusional asing terhadap upaya penegakan konstitusi dan perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia.

Doktrin Konstitusionalisme dan Pengujian Konstitusi

“The principle of constitutionalism rest on this idea of restraining the government in its exercise of power. Constitutionalism therefore, is to be set in contradiction to arbitrary power.”

Untaian kata di atas adalah salah satu dari playlist doktrin hukum yang memengaruhi paham konstitusionalisme di dunia, yaitu doktrinnya Michael Allon dan Brian Thompson.[1] Inti dari paham ini adalah adanya tuntutan divided power atau pembagian kekuasaan pemerintah berdasarkan konstitusi agar kekuasaan tersebut tidak disalahgunakan. Paham ini menyebar ke penjuru negara di dunia, in casu negara yang menganut kedaulatan hukum, sehingga melahirkan tuntutan internal suatu negara agar berjalannya mekanisme menjaga dan mengawal konstitusi. Selain itu, hal ini bertujuan agar segala bentuk penyimpangan dalam penggunaan suatu wewenang dapat direhabilitasi, kembali sesuai dengan fungsi dan posisi yang diatur dalam konstitusi.

Konstitusi sebagai konstruksi perjanjian masyarakat atau social contract menjadi wadah bagi hak-hak warga negara untuk dijamin, dilindungi, dan dihormati. Skala urgensi yang lahir dari konstitusi ini ditegakkan dalam suatu negara sebagai guideline atau acuan dalam memutar roda kenegaraan. Yang perlu digarisbawahi adalah garansi atas jaminan penegakan konstitusi tersebut. Tanpa jaminan terhadap tegak dan berjalannya konstitusi, maka hak-hak warga negara akan berada di ujung tanduk karena konstitusi hanya berfungsi sebagai naskah beku dan bisu.

Mekanisme yang tersedia dalam menjaga dan mengawal konstitusi adalah pengujian konstitusional atau constitutional review peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi atau UUD. Penempatan batu uji konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan pada konstitusi ini berpijak pada Teori Hierarki Norma yang digagas oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Konstitusi sebagai grundnorm atau norma dasar diletakkan pada posisi puncak sebagai sandaran bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dalam praktik di lapangan peradilan di seluruh dunia terdapat beragam jenis dan model pengujian konstitusional yang diterapkan oleh suatu negara.

Berkenalan dengan Mahkamah Konstitusi Jerman

Di antara negara-negara independen di dunia ada sebuah negara yang menyajikan perlindungan maksimal terhadap hak-hak warga negaranya, yaitu Jerman. Upaya perlindungan tersebut dijamin dengan berdirinya sebuah lembaga independen dan terpisah dari kekuasaan negara lainnya, yaitu Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Keunikan yang dimiliki MK Federal Jerman ini adalah status spesial sebagai satu-satunya lembaga negara yang berhak melakukan interpretasi terhadap konstitusi.[2]

Demi menjaga hak-hak warga negaranya, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusinya, Grundgesetz, sistem ketatanegaraan Jerman menyediakan tiga bentuk alternatif mekanisme yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak warga negaranya, :

  1. Pengujian konstitusional secara abstrak (abstract judicial review), yaitu kekuasaan peradilan konstitusi untuk memutuskan konstitusionalitas peraturan perundang-undangan tanpa adanya kasus konkret di pengadilan. Pengujian ini disebut “abstrak” karena tidak membutuhkan kasus konkret yang berkelindan dengan UU yang sedang dan akan diajukan pengujian konstitusionalitasnya. Pengujian model ini diatur dalam Pasal 93 Grundgesetz.[3] Model pengujian ini berimplikasi pada terhambatnya konstitusionalisasi UU karena UU yang positif dapat dengan mudah digugat dan dinegatifkan bahkan belum terjadi konflik empiris yang disebabkan oleh UU tersebut. Namun, model pengujian ini dapat menjadi langkah antisipatif terhadap kasus futuristik kontroversial yang akan lahir dari UU tersebut. Selain itu, dalam proses pengujian konstitusionalitas UU, imparsial dan independensi majelis hakim  menjadi lebih terjamin. Hal ini disebabkan tidak dipengaruhinya majelis hakim oleh warga negara yang melakukan pengujian tersebut.[4]
  2. Pengujian konstitusional secara konkret (concrete judicial review), yaitu pengujian berdasarkan kasus konkret yang terjadi. Model pengujian yang berbasis konkret ini tidak membuka peluang dilakukannya pengujian konstitusional yang tidak berimplikasi nyata pada hak-hak konstitusional warga negara. Proses pengujian ini juga dapat terjadi pada lingkup peradilan tingkat pertama maupun di tingkat yang lebih tinggi pada suatu kasus konkret. Dalam lingkup peradilan, pengujian konkret ini dapat diajukan kepada MK Federal Jerman ketika pengadilan mempresuposisikan konstitusionalitas UU yang berada pada perkara yang sedang ditanganinya bertentangan dengan konstitusi, Grundgesetz. Setelah putusan MK ditetapkan, maka pengadilan yang sebelumnya dapat melanjutkan persidangan dengan menggunakan UU yang telah melalui proses judicial review. Regulasi pengujian ini diatur dalam Pasal 100 konstitusi Jerman.[5]
  3. Pengaduan konstitusionalitas (constitutional complaint). Pengaduan ini diajukan oleh warga negara terhadap perbuatan public officials atau pejabat publik yang telah melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Regulasi pengaduan ini diatur dalam Pasal 93 Grundgesezt.[6]

Dalam ketiga model pengujian konstitusional di MK Federal Jerman tersebut terdapat beberapa perbedaan dengan model pengujian di MK Republik Indonesia, yaitu :

  1. Abstract Judicial Review tidak diterapkan dalam model pengujian di MK RI. Dalam model pengujian di MK Federal Jerman, suatu UU dapat dilakukan pengujian sebelum lahirnya kontroversi akibat UU tersebut. Hal ini berseberangan dengan model pengujian di MK RI yang mensyaratkan adanya kasus konkret, implikasi suatu UU yang akan diujikan. Sebelum melakukan pengujian konstitusionalitas suatu UU, MK RI akan memeriksa legal standing dari Pemohon, salah satu substansi amar tersebut adalah kerugian yang timbul dari suatu UU. Di antara faktor penentu ditolak atau diterimanya legal standing Pemohon adalah hubungan kausalitas yang dapat berstatus  faktual maupun potensial antara dirampasnya suatu hak konstitusional warga negara dengan UU yang akan melalui proses pengujian.
  2. MK Federal Jerman dapat membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah jika dalam putusannnya pengadilan tersebut tidak memperhatikan konstitusionalitas UU yang dijadikan basis dari legal consideration atau pertimbangan hukum putusan tersebut. Fakta empiris ini tidak terjadi pada sistem peradilan di Indonesia. Faktor utama terjadinya distingsi ini adalah pembagian wewenang MK di Indonesia dengan badan peradilan lain, yaitu MA atau Mahkamah Agung. MK di Indonesia tidak dapat membatalkan putusan pengadilan mana pun karena MK adalah pemegang kekuasaan kehakiman konstitusional pertama dan terakhir sehingga tidak ada peradilan yang  secara hierarkis berada di bawahnya. Hal ini berbeda dengan lingkup peradilan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki beberapa lingkungan pengadillan di bawahnya. Putusan pengadilan di bawah MA bersifat “inkracht” atau berkekuatan hukum tetap selama tidak dibatalkan dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
  3. Pengaduan konstitusionalitas tidak termasuk wewenang MK RI. Pengaduan ini masuk ke dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara, PTUN. Mengenai wewenang PTUN ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan perubahannya dalam UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009.

Berkenalan dengan Coseil Constitutionnel di Perancis

Coseil Constitutionnel atau Dewan Konstitusi Perancis merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai guardian of constitution yang lahir dari atribusi UUD Perancis tahun 1958, yang biasa disebut Konstitusi Republik Kelima Perancis. Dalam model pengujian pada negara ini terdapat distingsi dengan negara-negara Eropa Kontinental pada umumnya. Distingsi yang terjadi salah satunya adalah pada bentuk lembaga pengujian konstitusionalnya, yang  berbentuk “dewan” bukan “mahkamah”. Perbedaan bentuk lembaga ini berimplikasi pada status lembaga tersebut yang bersifat non-peradilan. Komposisi anggotanya juga mendapatkan pengaruh yang cukup signifikan, diduduki oleh utusan partai politik atau birokrat dan sebagainya di samping ahli hukum.[7]

Di samping itu, model pengujian konstitusionalitas UU yang dianut dalam sistem pengujian Dewan Konstitusi Perancis berbeda dengan sistem pengujian di negara-negara lainnya. Tanda pembeda yang dimiliki Dewan Konstitusi Perancis adalah model pengujian yang bersifat preventif dan apriori dalam bentuk constitutional preview. Pengujian yang diterapkan dalam Dewan Konstitusi Perancis ditujukan pada UU yang masih berbentuk rancangan, belum diundangkan dan mengikat untuk umum. Tujuan utama dari penerapan pengujian model ini adalah meminimalisir distraksi dan perampasan hak-hak konstitusional warga negaranya sebagai buah dari lahirnya suatu produk legislative act yang mengikat untuk umum.

Model pengujian ini berhadapan secara diametral dengan model yang diterapkan oleh MK RI. Model constitutional preview ini tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK sebagai salah satu badan penguji konstitusional tidak mendapatkan atribusi dari UUD 1945 untuk menyentuh ranah pengujian model apriori tersebut. MK hanya mendapatkan atribusi untuk menguji konstitusionalitas UU secara aposteriori. Konsekuensi logis yuridisnya adalah MK tidak berwenang dan dilarang untuk melakukan pengujian model apriori tersebut.

Analisis Yuridis Normatif Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009

Duduk perkara, in casu Pokok Permohonan, pada putusan a quo adalah pengujian materiil dan formil terhadap Perpu No. 4 Tahun 2009 yang dianggap merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Para Pemohon mendalilkan bahwa Perpu dapat dikenakan pengujian atau judicial review kepada MK dengan UUD dan UU. Para Pemohon mendeduksikan bahwa substansi Perpu dan UU adalah setara dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Berpijak pada hal itu, Para Pemohon memohon agar Perpu a quo dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat.

Pada amar Pertimbangan Hukum, in casu Kewenangan Mahkamah, dinyatakan bahwa MK berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.[8] Pernyataan yuridis tersebut membawa implikasi normatif revolusioner, yaitu perluasan wewenang MK yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam UUD. Namun, jika dipotret dari sisi lain, akan terlihat perspektif yang memberikan legitimasi terhadap hal tersebut.

Jika hal ini dipotret dari sudut pandang MK sebagai guardian of constitution yang salah satu tugasnya adalah interpretating constitution, maka hal ini dapat dibenarkan. Ayat-ayat konstitusi yang dilalilkan oleh MK sebagai basis perluasan wewenangnya dapat diterima secara yuridis normatif karena frasa “Undang-undang” ditafsirkan oleh MK mencakup makna frasa “Perpu” di dalamnya. Putusan a quo juga masih berada dalam koridor legal etis karena tujuan yang ingin dicapai oleh putusan a quo adalah keadilan substantif.

Selain putusan  a quo, terdapat beberapa putusan lainnya yang memiliki corak yang sama, yaitu memperluas pagar wewenang yang diberikan oleh UUD sebagai atribusi. Di antara putusan tersebut adalah Putusan No. 27/PUU-VII/2009 yang menyatakan MK berwenang melakukan uji formil UU dengan batas waktu 45 hari setelah diundangkan. Di samping itu, ada juga putusan yang serupa yaitu Putusan No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa MK berwenang memutus PHP KADA selama belum ada UU yang mengatur hal tersebut.

Konklusi

MK hadir sebagai tuntutan reformasi yang direncanakan dapat memulihkan supremasi hukum, terutama konstitusi. Putusan-putusan yang diproduksi oleh MK adalah putusan yang dianggap sebagai manifestasi dari tujuan utamanya sebagai guardian of constitution. Tujuan ini berusaha dicapai oleh MK itu sendiri, bahkan dengan melakukan terobosan hukum atau judicial activism jika dirasa perlu. Pola-pola judicial activism tersebut setidaknya tergambarkan oleh tiga putusan yang telah dinarasikan secara singkat di atas. Selain dari tiga putusan a quo, putusan-putusan serupa yang diproduksi tidaklah sedikit.

Putusan-putusan revolusioner tersebut dapat menjadi preseden bagi putusan-putusan yang akan lahir di kemudian hari, walaupun peradilan di Indonesia tidak menganut common law system. Tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang kebutuhan terhadap hukum sangatlah tinggi sehingga membutuhkan judicial activism yang lebih berani. Salah satu probabilitasnya adalah adopsi model pengujian asing yang belum dikenal dan diterapkan di Indonesia.

Model pengujian asing tersebut telah dipaparkan di atas yang mencakup model pengujian konstitusional Jerman dan Perancis. Kedua negara tersebut memiliki model pengujiannya masing-masing yang memiliki karakteristik yang unik. Jerman dengan abstract judicial review-nya dan Perancis dengan constitutional preview-nya. Kedua model pengujian ini telah membawa sisi positifnya masing-masing. Menurut penulis, kedua model pengujian tersebut dapat saja diterapkan di Indonesia. Faktor utamanya adalah problematika kehidupan bernegara akan makin kompleks dan tidak menutup kemungkinan memerlukan terobosan baru dalam ranah konstitusi.

Hal ini tidak menutup kemungkinan karena MK sendiri dalam beberapa kasus menelurkan putusan-putusan yang dianggap melenceng dari konstitusi. Harus diakui bahwa putusan yang dianggap melenceng tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita keadilan substatif dan sesuai amanat UUD itu sendiri. Selain itu, mengadopsi model negara asing tidak selalu buruk. Penting untuk diingat bahwa ide lembaga konstitusi, in casu MK, tidak lahir di Indonesia. Ide tersebut lahir dari seorang teoretikus hukum yaitu Hans Kelsen yang berhasil membawa model pengujian kosntitusional dalam sebuah lembaga independen, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Dengan pemaparan di atas, hal yang ingin disampaikan oleh tulisan ini adalah harapan kedua model pengujian konstitusional tersebut dapat diadopsi di Indonesia. Namun, pembentukan dasar hukum yang memberikan atribusi secara eksplisit terhadap hal tersebut dirasa perlu. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum terhadap segala aktivitas kenegaraan, sebagai komitmen terhadap prinsip rule of law. Selain itu, sebagai bukti nyata terhadap progresivitas hukum. Law is law for human, not human for law.

Daftar Pustaka

  • Asshiddiqie, J. (2005). Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta Pusat: Konstitusi Press.
  • Atmadja, I. D. (2010). Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945. Malang: Setara Press.
  • Lailam, T. (2023). PERBANDINGAN DESAIN PENGUJIAN KONSTITUSIONAL PADA MAHKAMAH KONSTITUSI FEDERAL JERMAN DAN INDONESIA. ARENA HUKUM JURNAL ILMU HUKUM, 274-301.
  • Latif, A. (2009). Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi). Yogyakarta: Kreasi Total Media.
  • Palguna, I. D. (2020). Mahkamah Konstitusi & Dinamika Politik Hukum di Indonesia. Depok: Rajawali Press.

[1] (Atmadja, 2010), hlm. 17

[2] (Latif, 2009), hlm. 194

[3] (Palguna, 2020),  hlm.  131

[4] (Lailam, 2023), hlm. 279-280

[5] (Palguna, 2020), hlm. 131-132

[6] Ibid. hlm. 123-124

[7] (Asshiddiqie, 2005), hlm. 55-57

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.