Membedah Suksesi Negara: Konsep, Doktrin, dan Implikasinya dalam Hukum Internasional

Ilustrasi gambar oleh penulis.

Pendahuluan

Literasi Hukum – Dalam dinamika geopolitik global, perubahan kedaulatan atas suatu wilayah adalah fenomena yang tak terhindarkan. Disolusi negara besar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, penyatuan Jerman, hingga lahirnya negara-negara baru melalui dekolonisasi merupakan peristiwa sejarah yang menimbulkan konsekuensi hukum fundamental. Proses peralihan hak dan kewajiban dari satu negara ke negara lain akibat perubahan kedaulatan ini diatur dalam sebuah cabang khusus hukum internasional yang dikenal sebagai suksesi negara.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam konsep suksesi negara, mulai dari dasar hukum, bentuk-bentuk terjadinya, hingga pertentangan doktrin utama yang membentuk praktiknya. Dengan memahami kerangka kerja ini, kita dapat lebih baik menganalisis dampak yuridis dari perubahan peta politik dunia.

Pengertian dan Dasar Hukum Suksesi Negara

Secara sederhana, suksesi negara adalah peralihan kedaulatan atas suatu wilayah dari negara pendahulu (predecessor state) kepada negara penerus (successor state). Konsekuensi dari peralihan ini mencakup status perjanjian internasional, kepemilikan aset dan arsip negara, utang negara, serta status kewarganegaraan penduduknya.

Definisi formal dapat ditemukan dalam beberapa sumber. Menurut Pasal 1(b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, suksesi negara didefinisikan sebagai:

“…peralihan hak dan kewajiban dari satu negara ke negara lain, sebagai akibat pergantian negara untuk melanjutkan tanggung jawab pelaksanaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu perjanjian internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

Upaya kodifikasi hukum internasional mengenai suksesi negara telah dimotori oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) di bawah naungan PBB. Upaya ini menghasilkan dua instrumen hukum fundamental:

  1. Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian (Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties).
  2. Konvensi Wina 1983 tentang Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Milik Negara, Arsip, dan Utang Negara (Vienna Convention on Succession of States in Respect of State Property, Archives and Debts).

Meskipun kedua konvensi ini belum diratifikasi secara universal, mereka tetap menjadi rujukan utama dalam studi dan praktik suksesi negara.

Bentuk-Bentuk Terjadinya Suksesi Negara

Suksesi negara dapat terjadi melalui berbagai cara, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  • Disolusi (Dissolution/Break-up): Sebuah negara bubar dan berhenti eksis, di mana wilayahnya kemudian menjadi dua atau lebih negara baru yang berdaulat. Contoh klasik adalah pecahnya Uni Soviet menjadi Rusia dan negara-negara merdeka lainnya, serta disolusi Yugoslavia dan Cekoslowakia.
  • Separasi atau Dekolonisasi (Separation/Decolonization): Sebagian wilayah dari sebuah negara memisahkan diri untuk membentuk negara baru, sementara negara pendahulunya tetap eksis. Proses dekolonisasi pasca-Perang Dunia II, seperti kemerdekaan Indonesia dari Belanda dan pemisahan Pakistan dari India pada tahun 1947, adalah contoh utama dari bentuk ini.
  • Unifikasi atau Merger (Unification/Merger): Dua atau lebih negara berdaulat setuju untuk bergabung dan membentuk satu negara baru yang tunggal. Contoh paling terkenal adalah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990.
  • Sesi (Cession): Terjadi ketika suatu negara menyerahkan sebagian wilayahnya kepada negara lain melalui sebuah perjanjian. Contohnya adalah pembelian Alaska oleh Amerika Serikat dari Kekaisaran Rusia pada tahun 1867.
  • Aneksasi (Annexation): Pengambilan wilayah suatu negara secara paksa oleh negara lain. Meskipun secara historis sering terjadi, aneksasi kini dianggap ilegal menurut hukum internasional modern, khususnya Piagam PBB yang melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain.

Akibat Hukum Suksesi Negara: Pertentangan Doktrin

Persoalan utama dalam suksesi negara adalah menentukan sejauh mana negara penerus terikat oleh hak dan kewajiban negara pendahulunya. Terdapat dua doktrin utama yang menawarkan jawaban yang saling bertentangan.

  1. Doktrin Kontinuitas (Continuity Doctrine) Doktrin ini berpendapat bahwa negara penerus secara otomatis melanjutkan (continue) seluruh hak dan kewajiban dari negara pendahulunya, termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang telah dibuat. Tujuan utama doktrin ini adalah untuk menjaga stabilitas dan kepastian hukum dalam hubungan internasional, mencegah kekosongan hukum (legal vacuum), dan memastikan kelangsungan komitmen internasional.
  2. Doktrin Tabula Rasa (Clean Slate Doctrine) Berkebalikan dengan kontinuitas, doktrin tabula rasa (yang berarti “lembaran kosong”) menyatakan bahwa negara baru yang merdeka tidak terikat oleh perjanjian atau kewajiban yang dibuat oleh negara pendahulunya. Dipopulerkan oleh ahli hukum Inggris, Lord McNair, doktrin ini sangat berpengaruh dalam konteks dekolonisasi. Logikanya, negara yang baru merdeka harus memiliki kebebasan penuh untuk menentukan komitmen internasionalnya sendiri tanpa dibebani oleh ikatan yang dibuat oleh penjajahnya.

Studi Kasus Singkat: Posisi Indonesia dalam Suksesi Negara

Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah contoh klasik suksesi negara melalui dekolonisasi. Dalam praktiknya, Indonesia secara umum menganut doktrin clean slate. Hal ini paling jelas terlihat dalam isu utang negara.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, salah satu poin perdebatan paling sengit adalah mengenai pelimpahan utang pemerintah Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Delegasi Indonesia menolak untuk menanggung seluruh utang tersebut, terutama utang yang digunakan Belanda untuk membiayai agresi militer terhadap Indonesia. Sikap ini mencerminkan prinsip clean slate, di mana negara baru berhak menolak beban kewajiban yang dianggap tidak adil atau bertentangan dengan kepentingannya.

Kesimpulan

Suksesi negara adalah bidang hukum internasional yang kompleks dan dinamis, yang merefleksikan perubahan kedaulatan di panggung dunia. Dari disolusi hingga unifikasi, setiap bentuk suksesi membawa implikasi yuridis yang signifikan. Pertentangan abadi antara doktrin kontinuitas yang mengedepankan stabilitas dan doktrin tabula rasa yang memperjuangkan kedaulatan penuh negara baru menunjukkan bahwa tidak ada satu solusi tunggal. Pada akhirnya, praktik suksesi negara sering kali ditentukan oleh kombinasi antara prinsip-prinsip hukum, negosiasi politik, dan konteks spesifik dari setiap peristiwa suksesi itu sendiri.

Daftar Pustaka

  • Adolf, Huala. 2015. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Cetakan ke-5). Bandung: CV Keni Media.
  • Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
  • United Nations. Vienna Convention on the Succession of States in Respect of Treaties, 1978.
  • United Nations. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Property, Archives and Debts, 1983.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini