Literasi Hukum – Dalam dinamika geopolitik global, perubahan kedaulatan atas suatu wilayah adalah fenomena yang tak terhindarkan. Disolusi negara besar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, penyatuan Jerman, hingga lahirnya negara-negara baru melalui dekolonisasi merupakan peristiwa sejarah yang menimbulkan konsekuensi hukum fundamental. Proses peralihan hak dan kewajiban dari satu negara ke negara lain akibat perubahan kedaulatan ini diatur dalam sebuah cabang khusus hukum internasional yang dikenal sebagai suksesi negara.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam konsep suksesi negara, mulai dari dasar hukum, bentuk-bentuk terjadinya, hingga pertentangan doktrin utama yang membentuk praktiknya. Dengan memahami kerangka kerja ini, kita dapat lebih baik menganalisis dampak yuridis dari perubahan peta politik dunia.
Secara sederhana, suksesi negara adalah peralihan kedaulatan atas suatu wilayah dari negara pendahulu (predecessor state) kepada negara penerus (successor state). Konsekuensi dari peralihan ini mencakup status perjanjian internasional, kepemilikan aset dan arsip negara, utang negara, serta status kewarganegaraan penduduknya.
Definisi formal dapat ditemukan dalam beberapa sumber. Menurut Pasal 1(b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, suksesi negara didefinisikan sebagai:
“…peralihan hak dan kewajiban dari satu negara ke negara lain, sebagai akibat pergantian negara untuk melanjutkan tanggung jawab pelaksanaan hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu perjanjian internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Upaya kodifikasi hukum internasional mengenai suksesi negara telah dimotori oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) di bawah naungan PBB. Upaya ini menghasilkan dua instrumen hukum fundamental:
Meskipun kedua konvensi ini belum diratifikasi secara universal, mereka tetap menjadi rujukan utama dalam studi dan praktik suksesi negara.
Suksesi negara dapat terjadi melalui berbagai cara, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Persoalan utama dalam suksesi negara adalah menentukan sejauh mana negara penerus terikat oleh hak dan kewajiban negara pendahulunya. Terdapat dua doktrin utama yang menawarkan jawaban yang saling bertentangan.
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah contoh klasik suksesi negara melalui dekolonisasi. Dalam praktiknya, Indonesia secara umum menganut doktrin clean slate. Hal ini paling jelas terlihat dalam isu utang negara.
Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, salah satu poin perdebatan paling sengit adalah mengenai pelimpahan utang pemerintah Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Delegasi Indonesia menolak untuk menanggung seluruh utang tersebut, terutama utang yang digunakan Belanda untuk membiayai agresi militer terhadap Indonesia. Sikap ini mencerminkan prinsip clean slate, di mana negara baru berhak menolak beban kewajiban yang dianggap tidak adil atau bertentangan dengan kepentingannya.
Suksesi negara adalah bidang hukum internasional yang kompleks dan dinamis, yang merefleksikan perubahan kedaulatan di panggung dunia. Dari disolusi hingga unifikasi, setiap bentuk suksesi membawa implikasi yuridis yang signifikan. Pertentangan abadi antara doktrin kontinuitas yang mengedepankan stabilitas dan doktrin tabula rasa yang memperjuangkan kedaulatan penuh negara baru menunjukkan bahwa tidak ada satu solusi tunggal. Pada akhirnya, praktik suksesi negara sering kali ditentukan oleh kombinasi antara prinsip-prinsip hukum, negosiasi politik, dan konteks spesifik dari setiap peristiwa suksesi itu sendiri.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini