Opini

Kekerasan terhadap Anak: Analisis Putusan MA RI No. 1288 K/Pid/2023

Fally Avriantara
257
×

Kekerasan terhadap Anak: Analisis Putusan MA RI No. 1288 K/Pid/2023

Share this article
Kekerasan terhadap Anak
Ilustrasi Gambar

Literasi HukumArtikel ini membahas Putusan MA RI No. 1288/K/Pid/2023 mengenai kekerasan terhadap anak. Kekerasan merupakan tindakan yang melanggar norma hukum dan dilarang, terutama jika korban adalah bagian dari kelompok rentan seperti anak-anak.

Kekerasan dalam Perspektif Umum dan Hukum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan adalah sesuatu/perihal yang bersifat keras. Perbuatan individu atau kelompok yang dilakukan untuk menyebabkan orang lain mengalami penderitaan secara fisik juga ditafsirkan oleh KBBI sebagai kekerasan.

Dalam Bahasa Inggris kekerasan diistilahkan dengan sebutan violence. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana dilansir dari situs National Library of Medicine, violence is the intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, that either results in or has a high likelihood of resulting in injury, death, psychological harm, maldevelopment or deprivation.

Dari pengertian KBBI dan WHO di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum kekerasan adalah perbuatan, kegiatan, atau aktivitas yang dilakukan dengan sengaja baik disertai ancaman/tidak, untuk menimbulkan penderitaan pada orang lain secara fisik ataupun mental. Oleh karena itu, kekerasan adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum maupun peraturan perundang-undangan.

Dalam perspektif hukum pidana di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan, seperti pengancaman dan pemerasan, pemerkosaan, kekerasan terhadap nyawa, dan penganiayaan. Beberapa Ahli Hukum Pidana menilai kekerasan dapat diidentikkan/disamakan dengan perbuatan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351-358 KUHP.

Kekerasan terhadap Anak

Perumusan Tindak Pidana Kekerasan juga diatur di luar ketentuan KUHP. Salah satunya adalah tindak pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 76C Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengamanatkan ketentuan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Adapun ancaman sanksi pidananya tercantum dalam Pasal 80 ayat (1) yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Salah satu peristiwa pidana kekerasan terhadap anak terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan, Adapun yang terlibat adalah JR sebagai pelaku dan RAS sebagai korban.

Pada intinya kasus ini bermula ketika pelaku JR dan RAS saling bertengkar/berselisih dengan kata-kata kasar melalui media sosial instagram. Pelaku JR yang berdomisili di Kota Makasar kemudian tidak terima dan memutuskan untuk mendatangi korban RAS yang tinggal di sebuah rumah indekos di Kabupaten Sidrap.

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Pelaku JR terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan/penganiayaan terhadap korban RAS dalam bentuk pemukulan, penjambakan, serta penendangan. Akibat dari kekerasan terhadap anak yang dilakukan pelaku JR tersebut, korban RAS mengalami luka-luka akibat trauma tumpul sebagaimana dijelaskan dalam Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum Daerah Nene Mallomo.

Pada persidangan tingkat pertama Penuntut Umum mendakwa pelaku JR dengan dakwaan berbentuk alternatif yaitu kekerasan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang melalui Putusan Nomor: 103/Pid.B/2023/PN.Sdr tertanggal 21 Juni 2023 meyakini perbuatan pelaku JR adalah penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Menurut Majelis Hakim, saat tindak pidana terjadi korban RAS memang masih berusia 16 tahun, akan tetapi korban RAS diketahui pernah melaksanakan pernikahan selama 3 (tiga) bulan meskipun sudah pernah bercerai, sehingga korban RAS sudah tidak terkualifikasi sebagai anak.

Begitu juga dengan pendapat dari Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Makassar sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor: 582/PID/2023/PT.MKS tertanggal 08 Agustus 2023. Penuntut Umum dalam memori bandingnya telah mendalilkan korban RAS masih dikategorikan sebagai anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan beberapa peraturan perundang-undangan, meskipun pada akhirnya Pengadilan Tinggi Makasar menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang.

Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indoneia. Di tingkat kasasi ini-lah Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku Judex Jurist menyatakan Judex Factie telah salah menerapkan hukum.

Menurut Judex Jurist, korban RAS tetap dikategorikan sebagai anak meskipun telah pernah menikah. Oleh karena itu Putusan Pengadilan Tinggi Makasar yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang telah salah dalam konteks penerapan hukum.

Menurut Judex Jurist juga, Judex Facti tidak mempertimbangkan dengan tepat dan benar fakta hukum yang relevan secara yuridis. Sesungguhnya berdasarkan fakta-fakta pelaku JR telah memenuhi unsur dakwaan pertama yaitu Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan MA RI Nomor 1288 K/Pid/2023 tertanggal 24 Oktober 2023 kemudian membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor: 582/PID/2023/PT.MKS tertanggal 08 Agustus 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang Nomor: 103/Pid.B/2023/PN.Sdr tertanggal 21 Juni 2023. Pada akhirnya, pelaku JR dihukum dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp, 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.