Literasi Hukum – Prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) adalah pilar fundamental yang menopang tatanan hukum internasional. Tanpa adanya mekanisme untuk menentukan pertanggungjawaban atas pelanggaran, hukum internasional hanya akan menjadi serangkaian anjuran moral tanpa kekuatan mengikat. Konsep ini menjadi landasan untuk menuntut akuntabilitas ketika suatu negara melanggar kewajiban internasionalnya, baik yang timbul dari perjanjian, hukum kebiasaan, maupun sumber lainnya.
Artikel ini akan mengurai secara sistematis kerangka hukum tanggung jawab negara, dengan merujuk pada kodifikasi paling otoritatif hingga saat ini, yaitu Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang dirampungkan oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) pada tahun 2001.
Meskipun belum berstatus sebagai traktat yang mengikat, ILC Articles 2001 diakui secara luas oleh Mahkamah Internasional (ICJ) dan berbagai pengadilan lainnya sebagai cerminan hukum kebiasaan internasional. Kerangka ini menyajikan pendekatan yang terpadu dan modern.
Menurut Pasal 2 ILC Articles, suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act) oleh sebuah negara timbul ketika terdapat dua elemen kumulatif:
Pendekatan ini menyatukan semua jenis pelanggaran di bawah satu payung, tidak lagi membedakan secara kaku antara tanggung jawab yang lahir dari perjanjian (contractual liability) atau dari perbuatan melawan hukum lainnya (delictual liability).
Karena negara adalah entitas hukum yang abstrak, hukum internasional menetapkan aturan spesifik untuk menentukan tindakan siapa saja yang dianggap sebagai tindakan negara. Beberapa dasar atribusi yang paling utama menurut ILC Articles adalah:
Ketika tanggung jawab suatu negara telah ditetapkan, serangkaian konsekuensi hukum baru akan timbul. Konsekuensi utamanya adalah kewajiban untuk memberikan reparasi penuh (full reparation) atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tersebut (Pasal 31). Bentuk-bentuk reparasi tersebut meliputi:
ILC Articles juga mengatur enam keadaan spesifik yang, jika terpenuhi, dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang seharusnya merupakan pelanggaran. Ini bukan berarti kewajibannya hilang, namun negara tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakannya dalam situasi tertentu. Keenam keadaan tersebut adalah:
Kasus klasik antara Inggris dan Albania ini menjadi contoh sempurna penerapan prinsip tanggung jawab negara. Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan Albania bertanggung jawab atas kerusakan kapal perang Inggris dan hilangnya nyawa akibat ledakan ranjau laut di perairan teritorial Albania.
Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa Albania yang memasang ranjau tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Albania mengetahui atau seharusnya mengetahui keberadaan ranjau di perairannya. Dengan demikian, kelalaian (omission) Albania untuk memberitahukan adanya bahaya kepada kapal-kapal yang melintas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang berdasar pada “pertimbangan kemanusiaan yang paling mendasar” (elementary considerations of humanity). Kelalaian ini dapat diatribusikan kepada negara Albania, sehingga menimbulkan kewajiban untuk membayar kompensasi kepada Inggris.
Tanggung jawab negara adalah mekanisme penegakan hukum yang esensial dalam sistem internasional. Kerangka yang disediakan oleh ILC Articles telah memberikan kejelasan dan kepastian hukum dengan menetapkan dua elemen inti—atribusi dan pelanggaran—serta merinci konsekuensi hukum dan keadaan pembenar yang dapat diterima. Dengan adanya prinsip ini, kedaulatan negara tidak lagi bersifat absolut, melainkan diimbangi oleh kewajiban untuk menghormati hukum dan hak negara lain, demi terwujudnya tatanan internasional yang adil dan teratur.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini