Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional: Prinsip, Konsekuensi, dan Pengecualian

Ilustrasi Gambar

Pendahuluan

Literasi Hukum – Prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) adalah pilar fundamental yang menopang tatanan hukum internasional. Tanpa adanya mekanisme untuk menentukan pertanggungjawaban atas pelanggaran, hukum internasional hanya akan menjadi serangkaian anjuran moral tanpa kekuatan mengikat. Konsep ini menjadi landasan untuk menuntut akuntabilitas ketika suatu negara melanggar kewajiban internasionalnya, baik yang timbul dari perjanjian, hukum kebiasaan, maupun sumber lainnya.

Artikel ini akan mengurai secara sistematis kerangka hukum tanggung jawab negara, dengan merujuk pada kodifikasi paling otoritatif hingga saat ini, yaitu Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang dirampungkan oleh Komisi Hukum Internasional (ILC) pada tahun 2001.

Dasar Hukum dan Elemen Fundamental Tanggung Jawab Negara

Meskipun belum berstatus sebagai traktat yang mengikat, ILC Articles 2001 diakui secara luas oleh Mahkamah Internasional (ICJ) dan berbagai pengadilan lainnya sebagai cerminan hukum kebiasaan internasional. Kerangka ini menyajikan pendekatan yang terpadu dan modern.

Menurut Pasal 2 ILC Articles, suatu perbuatan yang salah secara internasional (internationally wrongful act) oleh sebuah negara timbul ketika terdapat dua elemen kumulatif:

  1. Atribusi (Attribution): Perbuatan tersebut, baik berupa tindakan (action) maupun kelalaian (omission), harus dapat diatribusikan atau dilekatkan pada negara menurut hukum internasional.
  2. Pelanggaran (Breach): Perbuatan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.

Pendekatan ini menyatukan semua jenis pelanggaran di bawah satu payung, tidak lagi membedakan secara kaku antara tanggung jawab yang lahir dari perjanjian (contractual liability) atau dari perbuatan melawan hukum lainnya (delictual liability).

Atribusi Perbuatan kepada Negara

Karena negara adalah entitas hukum yang abstrak, hukum internasional menetapkan aturan spesifik untuk menentukan tindakan siapa saja yang dianggap sebagai tindakan negara. Beberapa dasar atribusi yang paling utama menurut ILC Articles adalah:

  • Perbuatan Organ Negara (Pasal 4): Setiap perbuatan yang dilakukan oleh organ negara—baik legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun fungsi lainnya di tingkat pusat maupun daerah—dianggap sebagai perbuatan negara.
  • Perbuatan Pihak yang Menjalankan Wewenang Pemerintah (Pasal 5): Perbuatan individu atau entitas swasta yang secara hukum diberikan wewenang untuk menjalankan fungsi pemerintahan (misalnya, perusahaan keamanan swasta yang ditugaskan menjaga penjara).
  • Perbuatan yang Diarahkan atau Dikendalikan Negara (Pasal 8): Perbuatan individu atau kelompok yang bertindak atas instruksi, arahan, atau di bawah kendali efektif negara.
  • Perbuatan Gerakan Pemberontak yang Menjadi Pemerintah (Pasal 10): Jika suatu gerakan pemberontak berhasil dan membentuk pemerintahan baru, maka tindakannya sejak awal dapat diatribusikan kepada negara.

Konsekuensi Hukum dari Tanggung Jawab Negara

Ketika tanggung jawab suatu negara telah ditetapkan, serangkaian konsekuensi hukum baru akan timbul. Konsekuensi utamanya adalah kewajiban untuk memberikan reparasi penuh (full reparation) atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tersebut (Pasal 31). Bentuk-bentuk reparasi tersebut meliputi:

  1. Restitusi (Restitution): Mengembalikan kondisi seperti semula sebelum pelanggaran terjadi, sejauh hal tersebut tidak mustahil secara materiel atau menimbulkan beban yang tidak proporsional (Pasal 35).
  2. Kompensasi (Compensation): Memberikan ganti rugi finansial atas setiap kerugian yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kehilangan keuntungan (loss of profits) (Pasal 36). Ini adalah bentuk reparasi yang paling umum.
  3. Kepuasan (Satisfaction): Diberikan untuk memperbaiki kerugian non-materiel atau kerugian moril (seperti penghinaan terhadap martabat negara). Bentuknya bisa berupa pengakuan atas pelanggaran, pernyataan penyesalan, permintaan maaf resmi, atau putusan pengadilan yang menyatakan adanya pelanggaran (Pasal 37).

Keadaan yang Menghapuskan Sifat Melawan Hukum (Circumstances Precluding Wrongfulness)

ILC Articles juga mengatur enam keadaan spesifik yang, jika terpenuhi, dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang seharusnya merupakan pelanggaran. Ini bukan berarti kewajibannya hilang, namun negara tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakannya dalam situasi tertentu. Keenam keadaan tersebut adalah:

  1. Persetujuan (Consent, Pasal 20): Negara yang dirugikan telah memberikan persetujuan yang sah atas tindakan tersebut.
  2. Pembelaan Diri (Self-defense, Pasal 21): Tindakan tersebut merupakan bentuk pembelaan diri yang sah sesuai dengan Piagam PBB.
  3. Tindakan Balasan (Countermeasures, Pasal 22): Tindakan yang dilakukan sebagai balasan atas perbuatan melawan hukum sebelumnya oleh negara lain, dengan tujuan untuk membuat negara tersebut patuh pada kewajibannya.
  4. Keadaan Memaksa (Force Majeure, Pasal 23): Adanya kekuatan yang tak tertahankan atau peristiwa tak terduga di luar kendali negara, yang secara materiel membuat pemenuhan kewajiban menjadi mustahil.
  5. Keadaan Darurat (Distress, Pasal 24): Pelaku perbuatan tidak memiliki cara lain yang masuk akal untuk menyelamatkan nyawanya atau nyawa orang lain yang berada dalam perawatannya.
  6. Keadaan yang Sangat Diperlukan (Necessity, Pasal 25): Tindakan tersebut adalah satu-satunya cara bagi negara untuk melindungi kepentingan esensialnya dari bahaya yang besar dan akan segera terjadi.

Studi Kasus Ilustratif: The Corfu Channel Case (1949)

Kasus klasik antara Inggris dan Albania ini menjadi contoh sempurna penerapan prinsip tanggung jawab negara. Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan Albania bertanggung jawab atas kerusakan kapal perang Inggris dan hilangnya nyawa akibat ledakan ranjau laut di perairan teritorial Albania.

Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa Albania yang memasang ranjau tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Albania mengetahui atau seharusnya mengetahui keberadaan ranjau di perairannya. Dengan demikian, kelalaian (omission) Albania untuk memberitahukan adanya bahaya kepada kapal-kapal yang melintas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang berdasar pada “pertimbangan kemanusiaan yang paling mendasar” (elementary considerations of humanity). Kelalaian ini dapat diatribusikan kepada negara Albania, sehingga menimbulkan kewajiban untuk membayar kompensasi kepada Inggris.

Kesimpulan

Tanggung jawab negara adalah mekanisme penegakan hukum yang esensial dalam sistem internasional. Kerangka yang disediakan oleh ILC Articles telah memberikan kejelasan dan kepastian hukum dengan menetapkan dua elemen inti—atribusi dan pelanggaran—serta merinci konsekuensi hukum dan keadaan pembenar yang dapat diterima. Dengan adanya prinsip ini, kedaulatan negara tidak lagi bersifat absolut, melainkan diimbangi oleh kewajiban untuk menghormati hukum dan hak negara lain, demi terwujudnya tatanan internasional yang adil dan teratur.

Daftar Pustaka

  • Higgins, Rosalyn. Problems and Process: International Law and How We Use It. Oxford: Clarendon Press, 1994.
  • International Law Commission. Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, with commentaries. 2001.
  • International Court of Justice. Corfu Channel Case (United Kingdom v. Albania). Judgment of April 9th, 1949.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

You might also like
Sampaikan Analisis Anda

Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.

Sampaikan Analisis Hukum Anda Tutup Kirim Naskah Opini