Literasi Hukum – Artikel ini membahas tentang Problematika Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan partai politik yang merasa dirugikan karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual oleh KPU. Keputusan tersebut memunculkan polemik di ruang publik karena salah satu poin pada pokok perkaranya menyatakan menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan pengadilan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Kala segenap elemen panitia peyelenggara pemilu yang berada pada garda terdepan sudah mulai bergegas dari desa ke desa sampai dari pintu ke pintu bertugas untuk mencocokan data pemilih, ketukan palu dari ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggema hingga membuat semua pihak dibuat tak percaya. Pasalnya, ketidakpercayaan ini bermula setelah gugatan partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum yang merasa dirugikan karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual oleh KPU dikabulkan oleh majelis hakim waktu itu.
Keputusan tersebut memunculkan polemik di ruang publik ketika dalam salah satu poin pada pokok perkaranya menyatakan menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan pengadilan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Bahkan dari poin itu saja sebenarnya sudah terlihat jelas bahwa upaya-upaya untuk menunda pemilu masih ada tanpa mempertimbangkan efek samping yang secara otomatis akan memperpanjang usia kekuasaan baik Presiden maupun DPR.
Setelah hampir satu tahun isu tersebut tenggelam dari layar kaca media, kaset usang mengenai wacana penundaan pemilu kembali diputar dan disenandungkan. Proses pengambil-alihan peran yang dilakukan oleh lembaga yudikatif dalam putusannya tersebut seakan-akan justu tengah mempertontonkan karakter lama dari corong kekuasaan maupun para elite partai politik yang beberapa waktu lalu menjadi aktor utama dalam menggemakan isu kontroversi tersebut.
Jika isu demikian muncul dari para elite partai politik barang tentu kita setidaknya masih dapat menebak dan menerka motif kepentingan dibaliknya, yakni kekuasaan semata. Sedangkan dalam kasus ini polemik itu muncul justru dari lembaga yudikatif pada tingkat pertama yang secara prinsipil merdeka dari segala macam intervensi kepetingan politik mana pun.
Kekuasaan Mengadili Putusan Pengadilan Negeri
Putusan pengadilan adalah keputusan resmi yang dikeluarkan oleh pengadilan setelah mempertimbangkan bukti, argumen hukum, dan pertimbangan lain yang relevan dalam suatu kasus hukum. Putusan ini menetapkan hasil akhir dari proses hukum yang berlangsung, termasuk apakah terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, serta sanksi atau hukuman yang diberlakukan jika terdakwa terbukti bersalah. Putusan pengadilan didasarkan pada hukum yang berlaku, prinsip keadilan, dan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Putusan pengadilan biasanya mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, dan dapat diberlakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di suatu negara.
Sebagai landasan penyelenggaraan sistem peradilan di Indonesia berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction, eksistensi peradilan umum sebenarnya hanya terbatas pada lanskap perkara pidana dan perdata. Berbeda dari perkara pidana yang sifatnya publik, sengketa keperdataan terbatas pada aspek permasalahan relasi kepentingan individu dan sifat putusan pengadilannya pun hanya berlaku dan mengikat terhadap para pihak yang berperkara saja, bukan mengikat secara umum (erga omnes).
Sangat disesalkan apabila konsep sesederhana itu tak dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang lebih memilih dan mengambil langkah berani dengan menabrak norma-norma, doktrin dan teori hukum yang tersedia. Meskipun pada kenyataannya sudah jelas dan terang Pasal 10 dan 11 dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2019 telah memberikan pedoman mengenai penyelesaian sengketa tindakan pemerintah dan kewenangan mengadili perbuatan melanggar hukum badan dan/atau pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di Pengadilan Negeri.
Lebih jauh, di dalam doktrin hukum dikenal salah satu prinsip yang berbunyi ius curia novit. Artinya, hakim dianggap tahu semua hukum. Konsekuensinya, hakim wajib menggali, mencari dan menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat maupun hukum yang terkodifikasi/tertulis dalam peraturan perundangan. Jika dari awal majelis hakim berangkat dan bersandar pada prinsip ini mungkin saja perkara a quo tidak akan sampai menciptakan suatu putusan pengadilan yang benar-benar luar biasa untuk menunda pemilu yang implikasinya tidak main-main yakni berskala nasional.
Sedari awal prinsip ius curia novit tidak dimaksudkan untuk menolak perkara dan menjegal para pencari keadilan untuk menuntut haknya. Proses kurasi dan filterisasi yang ketat justru penting diupayakan supaya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan untuk diperiksa selain berkualitas juga sesuai dengan koridornya.
Merespons peristiwa menggelikan ini, sekali lagi, Pengadilan Negeri tidak mempunyai otiritas dan kapasitas untuk memutuskan lanjut atau tunda pemilu. Karena secara yuridis memang tidak ada payung hukum yang memfasilitasi bagi Pengadilan Negeri untuk bertindak demikian. Toh, konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemilu wajib dilaksanakan selama lima tahun sekali.
Merabut Akar, Mencari Jalan Keluar
Sudah menjadi harga mati bagi KPU selaku pihak tergugat untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebab, penyelenggaraan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan para pihak yang bersengketa saja, juga ada pihak lain yang jauh lebih besar terkena dampaknya yaitu masyarakat.
Selain itu, masalah ini bukan hanya harus diselesaikan oleh KPU melalui upaya hukumnya. Kita masih menunggu peran apa yang akan diambil oleh Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial dalam menanggapi polemik ini. Akar permasalahan tidak hanya timbul akibat substansi putusan pengadilan yang dirasa janggal, juga peristiwa ini tidak terlepas dari motif yang selalu saja menjadi hal terpenting dan kerap mengganggu rasa penasaran pada benak publik dalam mengungkap suatu peristiwa yang sebenarnya.
Oleh karenanya, palu yang telah diketuk oleh majelis hakim dan perintah penundaan pemilu yang telah dituangkan dalam surat putusannya tersebut tidak dapat dianggap sebelah mata dan diabaikan begitu saja. Proses penyelenggaraan pemilu bukan karnaval tahunan atau pesta demokrasi semu yang bersifat formalitas belaka. Lebih esensial dari itu, penyelenggaraan pemilu merupakan proses transisi dan rotasi pergantian kekuasaan dan peralatan yang kokoh untuk meruntuhkan gejala absolutisme kekuasaan. Hemat kata, kepastian untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana waktu yang telah ditentukan harus tetap dilaksanakan. Karena hanya dengan cara tersebutlah proses sirkulasi dan ekosistem demokrasi tetap tumbuh, sehat dan terawat.