Tata Negara

Memahami Makna Pengujian Formil di Indonesia

Redaksi Literasi Hukum
216
×

Memahami Makna Pengujian Formil di Indonesia

Share this article
Pengujian formil di Indonesia
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas tentang pengujian formil di Indonesia.

Pengujian Formil di Indonesia

Pengujian undang-undang dibedakan menjadi dua yakni pengujian materiil dan pengujian formil.  Harun Al Rasid menyatakan bahwa hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang.[1]

Sementara itu, menurut Jimly Asshiddiqie, secara umum yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU, dan pemberlakuan UU.[2] 

Jimly memberikan kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas undang-undang dari segi formal nya adalah sejauhmana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh institusi yang tepat (appopriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appopriate procedure).[3]

Lebih lanjut menurut Sri Soemantri, hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.[4]

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa di dalam pengujian formil harus setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:[5]

  1. Pengujian atas pelaksanaan tata acara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
  2. Pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
  3. Pengujian yang berkaitan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang;
  4. Pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk dalam pengujian materiil.

Berdasarkan empat cakupan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengujian formil undang-undang akan selalu berkaitan dengan prosedur dan bentuk pembentukan undang-undang. Pengujian formil tidak terkait dengan isi materi dari undang-undang tersebut apakah bertentangan dengan hak konstitusional sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945 ataukah tidak, akan tetapi apakah prosedurnya sudah sesuai dengan UUD 1945 ataukah tidak. 

Jimly menyatakan bahwa pada pokoknya, prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang diatur dalam UUD 1945.[6] Akan tetapi, aturan yang lebih terperinci diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga, materi yang diatur dalam undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga harus dipandang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum konstitusi.[7]

Suzie Navot dalam tulisannya berjudul Judicial Review of the Legislative Process menyebut istilah pengujian formil dengan istilah judicial review of legislative process yang merupakan salah satu bentuk pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh pengadilan untuk menentukan keabsahan suatu undang-undang berdasarkan pemeriksaan prosedur pembentukannnya.[8] Artinya, sebuah undang-undang dapat dinyatakan cacat secara prosedur karena undang-undang disahkan tanpa mengikuti prosedur yang semestinya. Sehingga, argumenentasi utama yang dibangun dalam pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan daripada substansi materiil undang-undang. [9]

Argumentasi yang dibangun mengenai keabsahan proses pembentukan undang-undang yang didasarkan pada ketentuan yang mengatur mengenai aspek prosedural pembentukan perundang-undangan. Konsekuensinya, apabila terbukti bahwa suatu undang-undang dianggap cacat prosedur maka pengadilan tidak menghalangi lembaga legislatif untuk memberlakukan kembali undang-undang yang sama, asalkan kemudian diikuti dengan proses pembentukan yang tepat.[10]

Baca Juga: Problematika Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Terkait Penundaan Pemilu

Referensi

  • [1] Harun Al Rasyid, “Masalah “Judicial Review”, makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat tentang “Judicial Review” di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2003, h. 2.
  • [2] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 62-63.
  • [3] Ibid., h. 63-64.
  • [4] Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Edisi Revisi (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2020), h. 163. Lihat juga, Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Cetakan Ketiga (Bandung: Alumni, 1982), h. 28.
  • [5] Jimly, Op.Cit., h. 64.
  • [6] Ibid., h. 65.
  • [7] Ibid.
  • [8] Suzie Navot, “Judicial Review of the Legislative Process.” Israael Law Review 39, No. 2 (Summer 2006), h. 182.
  • [9] Zaka Firma Aditya dan Abdul Basid Fuadi, “Konsep Kedudukan Hukum Pemohon dalam Pengujian Formil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi” (Jakarta:Raja Grafindo, 2022), h. 13.
  • [10] Ittai Bar-Siman-Tov, “The Role of Courts in Improving the Legislative Process.” The Theory and Practice of Legislation 3, No. 3 (2015), h. 295-313.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.