Opini

Hukum Acara Pidana di Indonesia: Problematika dan Pembahasannya

Adam Ilyas
1114
×

Hukum Acara Pidana di Indonesia: Problematika dan Pembahasannya

Sebarkan artikel ini
Hukum Acara Pidana di Indonesia: Problematika dan Pemabahasannya
Hukum Acara Pidana di Indonesia: Problematika dan Pemabahasannya

Literasi HukumKUHAP sebagai sumber utama operasionalisasi hukum acara pidana telah berlaku dalam waktu yang cukup lama, yaitu empat puluh tahun, sehingga dalam waktu yang cukup lama tersebut, selayaknya terdapat kekurangan pengimplementasian KUHAP dalam penegakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

Hukum acara pidana Indonesia sejak 1981 diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP sebenarnya telah cukup menyebabkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.

Namun, dengan semakin kompleksnya permasalahan hukum pidana yang harus ditangani serta banyaknya instrumen internasional yang menginspirasi dalam penegakan hukum pidana, KUHAP dalam beberapa kasus mulai dirasakan tidak sesuai lagi dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat.

Problematika Kita Undang-Undang hukum Acara Pidana

Tidak adanya Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Problematika yang ada dalam KUHAP yang berlaku saat ini misalnya, tidak diaturnya pengertian tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam KUHAP. Sehingga, dengan tidak diaturnya pengertian tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menimbulkan permasalahan dalam implementasi dengan adanya perbedaan tafsir terhadap pelaksanaan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam penegakkan hukum pidana di Indonesia.

Meskipun telah diketahui Indonesia yang menjadi bekas jajahan Belanda, terpengaruh pada ajaran hukum pidana Belanda yang bersifat monistis. Dimana pada pandangan monistis ini pada dasarnya melihat persoalan “pertanggungjawaban” sebagai bagian dari “tindak pidana”. Dengan demikian pada pandangan monistis, dalam suatu “tindak pidana” dengan sendirinya mencakup pula kemampuan bertanggungjawab. Terhadap pandangan monistis ini, di Indonesia juga mulai berkembang pemikiran yang bersifat dualistis.

Sistem Penyelenggaraan Peradilan Pidana

Selain itu, dalam penegakan hukum pidana, problematika yang selalu muncul adalah berkaitan dengan dengan sistem penyelenggaraan peradilan pidana. KUHAP dimaksudkan sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Hakikat dasar pengaturannya adalah membatasi kekuasaan negara namun pada implementasinya terdapat permasalahan struktural, kultural maupun subtansial.

Hal ini disebabkan dari berbagai ketidakjelasan makna rumusan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP, apabila dibandingkan dengan asas-asas yang mendasari dan melatarbelakangi pengaturan masalah tersebut. Hal ini menimbulkan masalah-masalah dalam praktik hukum, terutama tidak dapat diterapkannya equal treatment terhadap tersangka dan terdakwa tindak pidana, padahal kejadian konkritnya kurang lebih sama namun berujung pada pengabaian hak segala warga negara secara kolektif untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dan hak setiap orang secara individual untuk dijamin mendapatkan perlakuan yang sama dan adil.

Dengan ketidakjelasan makna rumusan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP akan memunculkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum pidana.

Padahal keberadaan hukum dan institusinya mempunyai esensi untuk mempromosikan keadilan melalui mengidentifikasi nilai-nilai moral dan sistem moral yang sudah mengendap dalam struktur kemasyarakatan. Selain itu dengan membentuk suatu sistem norma hukum dalam KUHAP dimaksudkan untuk menciptakan keadilan itu sendiri.

Konsep keadilan lahir dari anggapan bahwa suatu nilai moral yang tidak bertentangan dengan hukum. Keadilan adalah bagian dari moral yang sudah mengkristal, dalam kaedah-kaedah keteraturan hukum positif, dan norma-norma dasar pada kehidupan bermasyarakat.

Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai sarana mencapai keadilan yang hakiki, padahal hukum pidana adalah suatu bentuk jalan pidana tidak dipergunakan secara beyond reasonable doubt maka yang terjadi bukanlah reasonable justice tetapi reasonable unjustice.

Keadilan dapat dicapai dengan membentuk suatu struktur hukum yang mutakhir dan responsif. Institusi hukum harus bersifat fleksibel karenanya perubahan struktur hukum lebih mudah, jika dibandingkan merubah substansi hukum, khususnya hukum pidana.

Peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum. Penegakan hukum pidana merupakan rangkaian aktivitas sebagai wujud operasionalisasi pengembalian keseimbangan individu, sosial dan kesejahteraan masyarakat, dari adanya pelanggaran kaidah-kaidah hukum pidana.

Sedangkan sistem peradilan pidana atau (criminal justice system) adalah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang terdiri dari Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja bersama-sama, terpadu di dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama yakni menangulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana tidak hanya menampakkan diri sebagai sistem fisik (physical system), sebagaiman terwujud dalam hubungan yang bersifat interface antar sub-sistem, akan tetapi juga harus disadari bahwa ada hubungan yang bersifat abstrak (abstract system), berhubungan dengan keharusan untuk adanya penghayatan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang menjadi tujuan dan landasan operasional setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana.

Dalam proses peradilan pidana dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan tindakan penyelidikan sampai penyidikan, kejaksaan berwenang dalam hal penuntutan, hakim mempunyai kewenangan dalam memeriksa dan mengadili di sidang pengadilan. Sekalipun perbedaan kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim, pada dasarnya merupakan suatu sistem dalam sistem penegakan hukum pidana yang diatur dalam KUHAP.

Pada awal pembentukannya KUHAP disebut sebagai “karya agung”, namun seiring dengan semakin berkembangnya dunia ilmu pengetahuan dan praktik hukum, maka semakin pula terlihat kelemahan sistemik yang di design untuk membutuhkan respon yang bukan hanya menjadi tanggung jawab legislator tetapi juga diperlukan langkah konstitusional yang antisipatif.

Hal ini sebagai konsekuensi langsung diabaikannya amanat konstitusi dalam substansi KUHAP. Oleh karenanya, diperlukan adanya penyesuaian pada beberapa ketentuan KUHAP yang dianggap tertinggal dan tidak sesuai dengan kebutuhan hukum acara pidana saat ini.

Dalam perspektif KUHAP operasionalisasi sistem peradilan pidana dilakukan mengacu pada konsep defferensiasi fungsional dan konsep keterpaduan, artinya meskipun setiap sub-sistem memiliki kewenangan masing-masing sesuai dengan bidang tugasnya secara mandiri (fungsi penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pelaksana pidana) antar subsistem harus bekerja secara koheren dan terpadu secara integral, sebagai satu kesatuan sistem penyelenggaraan hukum pidana.

Oleh karenanya, pemberlakuan KUHAP masih memerlukan aturan pelaksana yang diatur oleh lembaga masing-masing seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dalam perkembangan sekarang, sebagai akibat dari pengaruh semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi dapat mempengaruhi sistem pembuktian. Sehingga pengaturan sistem pembuktian yang terdapat dalam KUHAP di pandang sudah tidak memadai lagi.

Selain itu, pandangan dan perkembangan nilai yang hidup dalam masyarakat, baik di dalam lingkungan nasional maupun global memiliki pengaruh terkait mekanisme yang efektif untuk menanggulangi tindak kriminal atau kejahatan yang semakin kompleks.

Oleh sebab itu, untuk memberikan kepastian hukum harus dicarikan solusi melalui berbagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan merubah bahkan mengganti instrumen hukum acara yang ada, yaitu dengan pembaharuan KUHAP.

M.Yahya Harahap berpandangan bahwa begitu kompleknya permasalahan yang terdapat dalam KUHAP yang memerlukan perumusan substansi yang harus jelas. Beberapa permasalahan yang dapat ditemui dalam perumusan substansi dalam KUHAP diantaranya:
  1. ditemukan perumusan yang bersifat elipsis, akibatnya sering memunculkan pasal yang tidak jelas pemaknaannya, tidak jelas artinya, ambiguitas, tidak diungkapkan kata-katanya karena dianggap sudah tercakup pada kalimat sebelumnya.
  2. mengandung rumusan broad-term, bahwa setiap perumusan maupun “peristilahan luas” dapat mengandung arti kabur penggarisan/standarnya, memiliki arti yang tidak pasti sehingga dalam penerapannya tidak jelas, perumusan dan tujuannya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan lintasan waktu.
  3. perumusan bercorak political uncertainty, perumusan undang-undang tidak terlepas dari latar belakang politik, rumusannya mengadung tujuan politik atau merupakan kehendak pemerintah untuk meminimalkan risiko perubahan hukum.
  4. Perumusan Unforseable Development, bahwa manusia tidak mungkin membuat undang-undang dengan lengkap dan sempurna. Harus disadari bahwa undang-undang sejak diundangkan tidak mampu untuk menangkap isyarat perkembangan di masa yang akan datang dan berkembang mengikuti perubahan masyarakat.
  5. Perumusan yang mengandung eror, bahwa terdapat perumusan yang tidak mendalam atau keliru dalam pertimbangan, perumusan yang mengandung konflik atau kontroversi antar undang-undang maupun antar pasal.

Melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang cukup dinamis, aturan yang ada seakan terlihat tidak mampu mengikuti perubahan masyarakat. Oleh karena itu, dalam dasar filosofis perlu diadakan sebuah pembaharuan terhadap KUHAP.

Sebagai contoh mengapa KUHAP perlu diperbaharui, yaitu dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai perluasan saksi yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Dalam perkara ini adalah mengenai permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1a) KUHAP mengenai pengaturan hak tersangka untuk menghadirkan saksi yang menguntungkan.

Terhadap permasalahan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam pasal aquo tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.

Lebih lanjut, MK dalam pertimbangannya menilai pengertian saksi yang menguntungkan sebagaimana diatur pada Pasal 65 KUHAP tidak boleh ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Pengertian saksi yang menguntungkan harus ditafsirkan lebih luas karena makna penting saksi tidak terletak hanya sebatas pada yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana melainkan relevansi kesaksiannya.

Dalam perkara lainnya yang terkait dengan hukum acara pidana, MK dalam perkara nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas objek praperadilan. Seperti diketahui,  KUHAP awalnya menyebutkan bahwa yang berkaitan dengan bukanlah dalam ruang lingkup praperadilan, sehingga terhadap ketentuan ini juga telah diubah berdasarkan  putusan permohonan a quo.

MK menyatakan Pasal 77 huruf (a) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Hal ini berarti, jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan a quo, MK telah memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Putusan MK ketiga yang terkait dengan hukum acara pidana, yakni pada putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013, putusan MK nomor 45/PUU-XIII/2015 dan putusan MK nomor 66/PUU-XIII/2015 terkait dengan peninjauan kembali (PK). Dalam Putusan a quo, MK telah menyatakan bahwa PK dapat dilakukan lebih dari satu kali apabila memenuhi alasan PK.

Dari contoh 3 (tiga) putusan tersebut, telah nampak bahwa MK telah memberikan warna perubahan pada hukum acara pidana di Indonesia.

Putusan MK sendiri memiliki sifat final dan mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh pihak yang wajib untuk ditaati dan dilaksanakan. Sifat final putusan MK dipertegas dalam konstitusi yang diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Selanjutnya, Ketentuan ini diturunkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu pada Pasal 10 ayat (1) UU MK. Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memeroleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kemudian, sifat final tersebut kembali dipertegas dalam Pasal 47 UU MK bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Sejak MK berdiri tahun 2003, telah banyak undang-undang yang telah dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, tidak terkecuali dengan norma yang terdapat dalam hukum acara pidana. Norma terkait dengan hukum acara pidana di Indonesia tidak hanya terbatas pada aturan di dalam KUHAP saja tetapi juga dalam peraturan perundang-uangan lain di luar KUHAP.

Oleh karena itu, dalam buku ini akan banyak menghadirkan berbagai perubahan baru mengenai Hukum Acara Pidana dalam Pengujian Undang-Undang terkait dengan Hukum Acara Pidana berdasarkan putusan MK dalam rangka penegakan hukum pidana di Indonesia.

Artikel ini merupakan cuplikan dari buku:
Oly Viana Agustine, Erlina Maria Chistin Sinaga, PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA, (Jakarta: RajaGrafindo, 2021)

Pembaca dapat memperoleh buku tersebut melalui link berikut:

Link Buku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Praperadilan: Pengertian, Pihak, Mekanisme, dan Hakikat
Ilmu Hukum

Literasi Hukum – Praperadilan merupakan salah satu lembaga hukum acara pidana yang penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Praperadilan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau…

Seponering dan Monopoli Kewenangan Penuntutan
Opini

Literasi Hukum – Pelajari mengenai seponering dan asas oportunitas dalam hukum pidana Indonesia. Seponering merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang memungkinkan Jaksa Agung untuk menghentikan perkara demi kepentingan umum. Pelajari juga…

Parameter Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Opini

Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai parameter pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Parameter pembuktian dalam hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara pembuktian dalam perkara…