OpiniPidana

Keadilan Restoratif: Solusi Penyelesaian Over Kapasitas Lapas dalam Perkara Narkotika

Redaksi Literasi Hukum
201
×

Keadilan Restoratif: Solusi Penyelesaian Over Kapasitas Lapas dalam Perkara Narkotika

Share this article
Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Berbasis Keadilan Restoratif
Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Berbasis Keadilan Restoratif

Literasi Hukum – Sistem Peradilan Pidana yang kian hari semakin lunak melahirkan sebuah tanggungjawab bagi Negara untuk melakukan perubahan. Tanggung jawab ini berupa mengembalikan aspek keadilan yang memulihkan bukan untuk menghukum yang biasa disebut keadilan restoratif.

Oleh: Shenny Mutiara Irni

Pengertian Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana yang menekankan pada pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Pendekatan ini berfokus pada dialog dan musyawarah antara para pihak yang terlibat dalam tindak pidana, yaitu korban, pelaku, keluarga korban/pelaku, dan pihak-pihak lain yang terkait, seperti perwakilan masyarakat atau lembaga masyarakat.

Tujuan Keadilan Restoratif

Tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk:

  1. Memulihkan kerugian yang dialami korban
  2. Membantu pelaku untuk memahami dan bertanggung jawab atas perbuatannya
  3. Membangun kembali hubungan yang rusak antara korban dan pelaku
  4. Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat

Implementasi Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif dapat diterapkan dalam berbagai jenis tindak pidana, termasuk tindak pidana ringan, tindak pidana berat, dan tindak pidana anak. Di Indonesia, keadilan restoratif telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
  2. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
  3. Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif

Tanggungjawab bagi Negara untuk melakukan perubahan juga tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan dengan amanat agar Negara melakukan pembinaan pada pelaku kejahatan dengan tujuan agar mereka dapat kembali ke masyarakat dan menjadi bagian dari pembangunan Bangsa setelah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).

Berikut adalah beberapa contoh penerapan keadilan restoratif di Indonesia:

  1. Seorang remaja yang mencuri sepeda motor diajak untuk bertemu dengan korban dan keluarganya. Dalam pertemuan tersebut, remaja tersebut meminta maaf kepada korban dan keluarganya, dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Remaja tersebut juga diwajibkan untuk mengganti kerugian yang dialami korban.
  2. Seorang pelaku penganiayaan diajak untuk bertemu dengan korban dan keluarganya. Dalam pertemuan tersebut, pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Pelaku juga diwajibkan untuk melakukan kerja sosial di lingkungan korban.
  3. Seorang pelaku narkoba diajak untuk bertemu dengan keluarganya dan perwakilan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut, pelaku diminta untuk menceritakan alasan dirinya menggunakan narkoba. Pelaku juga diwajibkan untuk mengikuti program rehabilitasi narkoba.

Keadilan restoratif merupakan pendekatan baru yang dapat menjadi alternatif bagi sistem peradilan pidana yang konvensional. Pendekatan ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain:

  1. Lebih cepat dan efisien
  2. Lebih murah
  3. Lebih efektif dalam memulihkan korban
  4. Lebih mendidik bagi pelaku
  5. Lebih membangun rasa saling pengertian dan kebersamaan

Alasan lain Penerapan Keadilan Restoratif

Seiring dengan berjalannya waktu, Lapas mulai mengalami masalah-masalah yang menyebabkan pembinaan didalamnya menjadi tidak optimal, salah satunya overcrowding karena tidak equalnya daya tampung Lapas tersebut dengan jumlah tahanan yang ada.

Oleh karena itu penerapan keadilan restoratif merupakan suatu keniscayaan untuk menyelesaikan permasalahan over capacity lapas di Indonesia.

Bagaimana untuk Perkara Narkotika, bisakah diterapkan Keadilan Restoratif?

Data tahun 2023 dari Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa jumlah tahanan di Rutan Negara dan Lapas telah terjadi over capacity dengan jumlah 60% nya didominasi dengan narapidana narkotika. Akibatnya, banyak pelaku penyalahgunaan narkotika kemudian gagal untuk dibina menjadi lebih baik setelah mereka keluar dari Lapas tempat mereka menjalani hukumannya.

Menanggapi hal tersebut, Kejaksaan Agung kemudian menawarkan suatu pendekatan penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika dengan konsep keadilan restoratif. Oleh karena itu, maka terbitlah Pedoman Kejaksaan Agung No. 18 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Pedoman tersebut juga merupakan salah satu upaya untuk menyukseskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka untuk diadakannya perbaikan sistem hukum pidana nasional dengan lebih mendekatkan pada konsep keadilan restoratif, dengan salah satu fokus masalahnya ialah mengenai persoalan overcrowding di Lapas.

Syarat-Syarat Rehabilitasi dalam Perkara Narkotika

Dalam Pedoman Kejaksaan Agung No. 18 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa, syarat-syarat agar Penuntut Umum kemudian dapat merekomendasikan pelaku untuk menjalani rehabilitasi ialah antara lain:

  1. Tersangka dinyatakan positif menggunakan narkotika;
  2. Tersangka tidak terlibat dalam jaringan pengedaran narkotika dan tergolong kedalam pengguna terakhir (end user);
  3. Tersangka tertangkap tangan atau ditangkap baik tanpa atau dengan barang bukti narkotika dengan jumlah pemakaian tidak lebih dari 1 hari;
  4. Tersangka dikualifikasikan sebagai penyalahguna narkotika, korban penyalahguna narkotika, atau pecandu narkotika;
  5. Tersangka belum pernah direhabilitasi, atau setidak-tidaknya telah menjalankan rehabilitasi namun tidak lebih dari 2 kali (kecuali bagi korban penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika);
  6. Ada surat jaminan bahwa tersangka melaksanakan rehabilitasi dengan melalui proses hukum dari keluarga ataupun walinya.

Pada saat Penuntut Umum diserahkan tanggungjawab atas tersangka sekaligus barang bukti serta hendak mengajukan rehabilitasi melalui proses hukum kepada tersangka yang bersangkutan, maka Penuntut Umum menyampaikan terlebih dahulu kepada tersangka mengenai penyelesaian perkara melalui rehabilitasi.

Setelahnya, tersangka diminta untuk membuat surat ketersediaan untuk menjalankan rehabilitasi, serta dibuat pula surat jaminan bahwa tersangka akan menjalani rehabilitasi melalui proses hukum oleh keluarga atau wali tersangka. Setelah dinyatakan berhak untuk dilakukan rehabilitasi, Penuntut Umum kemudian mengajukan nota pendapat secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk dibuatkan nota penetapan menjalankan rehabilitasi terhadap tersangka. Dalam hal tersangka menjalani rehabilitasi, maka penuntutan akan dihentikan.

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.