Literasi Hukum – Artikel ini membahas dampak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 terhadap narapidana tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan penjelasan mendetail tentang perubahan hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat, artikel ini mengkaji implikasi hukum dan perubahan yang ditetapkan oleh undang-undang baru ini terhadap narapidana korupsi. Selain itu, artikel juga menyediakan analisis tentang bagaimana peraturan ini berinteraksi dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tanggung jawab moral narapidana. Penulis, Arison L. Sitanggang, S.H., M.H., memberikan perspektif hukum yang kaya untuk pemahaman yang lebih dalam tentang perubahan ini.
Pengertian Narapidana
Seperti kita ketahui baru-baru ini kasus korupsi yang diduga merugikan negara sebesar 271 Triliun. Lantas bagaimana nasib para terpidana nanti setelah di vonis dengan berrlakunya UU No 22 Tahun 2022?. Sebelum mengetahui hak narapidana tipikor berdasarkan UU No 22 Tahun 22, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa arti narapidana. Berdasarkan UU No 03 Tahun 2018.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan, sedangkan Narapidana Tindak pidana korupsi penjelasan sederhananya adalah sesesorang/individu yang telah diputus dan terbukti berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Sedangkan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun serta hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi
Dalam hal hak narapidana tindak pidana korupsi, apa-apa saja hak yang melekat pada narapidana tersebut? Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara; Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Adapun hak narapidana sebagai berikut :
- Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
- Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
- Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
- Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
- Menyampaikan keluhan;
- Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
- Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
- Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
- Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
- Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
- Mendapatkan pembebasan bersyarat;
- Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
- Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dengan kata lain pemerintah menjamin hak-hak tersebut diatas dapat diperoleh sepanjang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan “terkecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan dan Pemberian hak remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi narapidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dan terpidana mati”.
Hak Remisi Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi
Terkait hak remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi pun merupakan hak yang dapat diperoleh remisi. Remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan, ketentuan mengenai remisi ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi) perlu disesuaikan dengan hak dan kewajiban setiap Narapidana sebagai pemeluk agama karena agama merupakan sendi utama kehidupan masyarakat, dan pelaksanaan di atur pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dana Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pengaturan mengenai remisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Jika kita melihat seseorang terpidana tipikor pada amar putusanya menyatakan “Membayar kerugian sebesar Rp. 500.000.000,- Subsider 5 bulan hukuman penjara, jika kita merujuk pada peraturan yang lama, maka si terpidana tersebut wajib membayar kerugian tersebut baru mendapatkan hak remisi, asimilasi atau pembebasan bersyarat.
Dengan disahkannya UU No 22 tahun 2022 ini, narapidana tipikor tidak dipersyarakatkan untuk membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai yang diatur pada pasal 54 ayat (3), pasal 46 ayat (1) huruf b, Pasal 46 ayat (3) Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, dan Pasal 47 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 karena bertentangan dengan pasal 10 undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, sehingga semua narapidana tetap diberikan asimilasi tanpa harus melampirkan surat keterangan membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Serta pemberian remisi kemanusiaan yang diatur dalam pasal 34 C ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tidak berlaku, karena bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, maka remisi kemanusiaan dapat diberikan kepada semua narapidana yang telah memenuhi syarat sesuai Pasal 29 Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022.
Hak Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana TindakPidana Korupsi
Kemudian Hak Pembebasan Bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi pun tidak dipersyaratkan untuk membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sebagaimana Pasal 88 ayat (2) Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 karena bertentangan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 akan tetapi syarat pemberian pembebasan bersyarat berupa kewajiban menjalani asimilasi paling sedikit ½ (satu per dua) dari sisa masa pidana sebagaimana diatur Pasal 84 huruf b, Pasal 85 huruf b, dan Pasal 86 huruf b Permenkumham 7 Tahun 2022 dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun2022;
Tata Cara dan Pelaksaan Pembebasan Bersyarat
Tata cara dan pelaksanaan pembebasan bersyarat dilaksanakan sesuai Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022.
Artinya dengan adanya Undang-undang yang baru ini mungkin memberikan tanggapan pro dan kontra, kenapa narapidana tipikor sudah diputus bersalah atau merugikan negara, namun narapidana tersebut masih diberikan hak untuk remisi? bahkan tidak masyaratkan untuk melunasi uang pengganti? Kembali kepada filosofi pertanggung jawaban pidana tersebut, tidak hanya semata-mata untuk membalas perbuatan yang telah diperbuat, namun selama terpidana tersebut mempertanggung jawabkan di lembaga pemasyarkatan, tentu narapidana tersebut di bina agar ketika narapidana tersebut bebas tidak mengulangi perbuatannya lagi, dan dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat luas ketika bebas, maka sudah selayaknya lah hak remisi, asimilasi dsb dapat diperolehnya, kecuali bagi narapidana yang di putus seumur hidup atau hukuman mati oleh hakim.
Seluruh informasi hukum ini disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum yang ditulis oleh Arison L. Sitanggang. S.H., M.H. yang merupakan Founder Law Firm Arison Sitanggang & Partners.