Literasi Hukum – Hukum merupakan pilar penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, pada kenyataannya, hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Penegakan hukum di Indonesia sarat dengan ketidakadilan, tebang pilih, dan diskriminasi. Hal ini lah yang membuat fokus pikiran penulis bahwa hukum modern tidak dapat memberikan rasa keadilan yang ada di masyarakat.
Oleh : Rean Fahmi (Asisten Staf Bidang Advokasi – YLBHI-LBH Padang)
Carut Marut Hukum Modern Indonesia
Telah kita ketahui bahwa hukum di Indonesia sejatinya berasal dari hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Terkini, hukum di Indonesia mengadopsi Hukum Modern. Acapkali persoalan hukum di Indonesia ini menjadi problematika di kalangan akademisi, mahasiswa dan masyarakat.
Banyak sekali persoalan yang bisa dikatakan rancu pada hukum modern ini. Mulai dari ketidakadilan dalam penegakan hukum itu sendiri, yang mana si kaya lebih cepat mendapatkan bantuan hukum dari pada si miskin dan banyak lagi.
Mulailah dikalangan masyarakat kita bermunculan istilah “hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas” , seperti yang kita lihat sendiri fakta di masyarakat yaitu kasus nenek Asyani yang dituduh mencuri satu kayu jati yang dia yakini itu dilahan nya sendiri divonis satu tahun penjara, coba kita bandingkan dengan kasus korupsi di Indonesia saat ini, miliaran uang rakyat yang dia curi tapi hukum di Indonesia lebih memilih bungkam.
Ada pula seorang yang dulunya aktivis pembela masyarakat kecil malah mengajukan Revisi UU KPK, sudah sangat jelas ini salah satu bentuk pelemahan KPK dan bentuk melindungi tikus-tikus berdasi.
Kondisi hukum di Indonesia pada saat ini dalam suasana carut marut, terjadi krisis dimana-mana khusunya pada bidang hukum. Penegakan hukum hanya berlaku untuk si kaya saja, namun tidak ada kepastian hukum dan keadilan untuk si miskin.
Seperti di jelaskan diatas bahwa pelaku korupsi dan permasalahan hukum orang-orang diatas itu hanya seperti debu yang berlalu saja. Banyak sekarang hukum yang berlaku di Indonesia seperti ada kelas-kelas sosialnya, hukum yang kita ketahui seharusnya berjalan untuk kedamaian, keadilan dan ketertiban malah faktanya terbalik luar biasa.
Dalam berbagai penanganan kasus di negara kita ini, tidak jauh dari perbincangan publik dikarenakan putusan pengadilan yang keluar dari nilai-nilai keadilan, keadilan seolah-olah seperti barang yang sangat mahal dan mewah di kalangan masyarakat kebawah.
Pada dasarnya hukum dibuat untuk mengatur tingkahlaku masyarakat yang pada hakikatnya mempunyai tujuan untuk mengadakan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat itu sendiri. Kita ketahui Hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan, manusia lah yang membuat aturan dan manusia juga lah yang dapat merubah tatanan undang-undang dalam hukum suatu negara.
Hilangnya Rasa Keadilan dalam Proses Penegakan Hukum
Proses penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan kita masyarakat luas, dimana rasa keadilan tidak menyentuh bagi kelas masyarakat bawah, sedangkan mereka yang berada pada kelas atas akan sangat mudah sekali mendapatkan perlakuan hukum yang sangat istimewa.
Banyak sekali kasus-kasus yang memperlihatkan sebuah problematika dalam penegakan hukum di indonesia. Bahkan lucunya seolah hukum dapat diperjualbelikan di negara ini, yang mana hukum semestinya dapat berjalan secara efektif apabila semua orang sadar diri akan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang berada dalam masyarakat luas.
Kepastian hukum di Indonesia sering sekali menjadi sebuah legitimasi pencarian keadilan. Terkadang, kepastian hukum itu sendiri yang kini sedang dipertanyakan, apa bisa hukum itu mengantarkan seseorang kepada keadilan yang hakiki?
Dialektika pemikiran hukum itu sendiri mulai dari zaman ke zaman telah terjadi atmosfer pencarian keadilan seperti saat ini. Positivisme hukum lahir pada Abad 19, positivisme hukum muncul melalui tokoh-tokoh seperti John Austin, HLA Hart, hingga Hans Kelsen.
Positivisme hukum yaitu mazhab yang sangat menekankan sebuah prinsip dimana segala hal itu haruslah konkret, dan konkret itu yang apa adanya. Hukum haruslah bersifat tertulis, harus dibentuk oleh lembaga yang berwenang, mengandung unsur perintah dan sanksi, dan ia bebas dari pertimbangan nilai-nilai yang tidak konkret misalnya seperti keyakinan.
Mazhab positivisme hukum itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem kapitalisme yang saat itu berkembang di Eropa Barat Abad 19. Para pedagang saat itu sangat membutuhkan kepastian hukum dimana kepastian hukum tersebut dapat membuat mereka untuk bisa berdagang dengan sukses sampai di masa yang akan datang. Asas kepastian hukum pada saat itu adalah sebagai penjamin nasib kaum borjuis.
Hukum Progresif: Solusi Carut Marut Hukum Modern
Ada tembok yang sangat besar telah menghadang hukum progresif di Indonesia yaitu positivisme hukum yang sacara telah membangun struktur hierarki secara teoritik dan normatif dan juga berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai universitas hukum di Indonesia.
Hukum progresif telah menjadi suatu wacana para intelek dan para pemuda di Indonesia tetapi kekuatan wacana itu masih sangat lemah sekali dan mudah terkalahkan jika dibawa dalam hukum. Kita ketahui bahwa hukum progresif sangat memerlukan kekuatan yang sangat besar sehingga setara dengan positivisme hukum yang kita ketahui.
Hukum progresif memang tidak mengharamkan kepastian hukum, namun menekankan pada interpretasi teks hukum positif demi keadilan manusia, ada satu kalimat yang terkenal yaitu “hukum adalah untuk manusia.”
Hukum progresif juga tidak mengklaim dirinya sendiri sebagai bebas nilai seperti pada positivisme hukum, melainkan ia hukum progresif berpihak kepada orang-orang yang lemah. Diibaratkan, bahwa hukum yang netral dan bebas nilai justru bisa menjadi tidak adil karena bakal menguntungkan orang-orang yang kuat saja.
Solusi Carut Marutnya Hukum Modern
Dari paparan tersebut bahwa ada solusi yang dapat menggantikan hukum modern dewasa ini, ialah hukum progresif. Dimana hukum progresif ini mempunyai kekuatan seperti yang disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa kekuatan yang menolak keadaan status quo.
Mempertahankan status quo berarti menerima normatifitas dan sistem yang ada tanpa adanya usaha untuk melihat suatu kelemahan didalamnya setelah itu mendorong untuk bertindak mengatasi.
Hukum progresif sebagaimana di atas, mempunyai keinginan yang sangat baik agar kembali kepada suatu pemikiran hukum pada falsafah yang dasarnya yaitu hukum untuk manusia.
Bahwa kita ketahui manusia ialah menjadi penentu dan titik orientasi dari adanya dan keberadaan hukum. Oleh karena itu, hukum tidak boleh menjadi suatu institusi yang lepas dan bebas dari kepentingan suatu pengabdian untuk kepentingan dan mensejahterakan manusia.
Para pelaku hukum dituntut agar untuk mengedepankan sikap kejujuran, ketulusan dan keadilan dalam penegakan hukum di indonesia. Mereka pula harus memiliki empati dan kepedulian terhadap penderitaan yang telah dialami oleh rakyat dan bangsanya.
Sebenarnya kepentingan rakyat baik kesejahteran dan kebahagiannya harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari penyelenggaraan hukum itu sendiri. Dalam hal ini, hukum progresif nyata menganut ideologi hukum yang mendukung keadilan dan hukum yang berpihak kepada rakyat.