Literasi Hukum – Di dalam ruang kelas, kami dicekoki teori tentang keadilan, supremasi hukum, dan moralitas dalam praktik hukum. Kami belajar dari Hans Kelsen tentang hukum sebagai sistem norma yang hierarkis, dari John Rawls tentang keadilan sebagai fairness, dan dari Montesquieu tentang trias politica yang membagi kekuasaan demi keseimbangan. Kami menghafal pasal-pasal dalam UUD 1945, memahami asas-asas hukum pidana dan perdata, serta menganalisis putusan-putusan pengadilan yang dianggap sebagai preseden penting.
Semua terdengar indah dan meyakinkan—seolah hukum benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun, semakin dalam kami mempelajari hukum, semakin jelas bahwa semua ini hanyalah ilusi. Hukum di negeri ini bukanlah alat keadilan, melainkan instrumen para pemilik kuasa untuk menindas yang lemah dan melindungi kepentingan mereka sendiri. Ketika kami mempertanyakan mengapa realitas di luar tidak mencerminkan teori yang kami pelajari, seorang dosen dengan entengnya berkata, “Nanti kalian akan paham kalau sudah jadi praktisi. Cara kerja hukum tidak seideal yang kalian bayangkan.”
Kalimat itu terdengar seperti peringatan dini: bersiaplah untuk memasuki dunia yang penuh kebusukan, di mana hukum lebih sering menjadi alat transaksi daripada alat keadilan. Jika hukum memang sudah sedemikian rusaknya, jika semua yang kami pelajari hanyalah omong kosong akademik tanpa relevansi di dunia nyata, lalu untuk apa Fakultas Hukum masih ada? Untuk apa belajar keadilan jika praktik hukum diisi dengan suap, manipulasi, dan transaksi di bawah meja? Jika pada akhirnya Fakultas Hukum hanya mencetak sarjana yang dipaksa tunduk pada sistem korup atau tersingkir karena menolak bermain dalam permainan kotor ini, maka lebih baik fakultas ini dibubarkan saja.
Dari Teori Indah ke Realitas Busuk: Hukum di Tangan Para Mafia
Kami diajarkan bahwa hukum harus objektif, bahwa hakim harus berpegang pada kebenaran, dan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status sosial. Tapi di dunia nyata, hukum justru tunduk pada uang dan kekuasaan.
Mahfud MD pernah mengungkapkan bagaimana hukum di Indonesia telah menjadi industri transaksional. Mafia peradilan berkeliaran di semua sektor: dari pengadilan hingga kepolisian, dari kejaksaan hingga lembaga anti-korupsi. Hakim yang bisa dibeli, jaksa yang “bisa diatur”, pengacara yang lebih seperti broker kasus daripada pejuang keadilan, dan polisi yang menjadikan hukum sebagai barang dagangan.
Setiap hari kita mendengar berita tentang pejabat yang terlibat korupsi, tapi berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas. Kasus-kasus besar yang menyangkut para elite politik sering kali lenyap begitu saja, sementara rakyat kecil yang mencuri untuk bertahan hidup justru dihukum berat.
Lalu untuk apa kami belajar teori hukum, jika di lapangan yang berlaku adalah “siapa yang punya uang, dia yang menang”? Untuk apa Fakultas Hukum mencetak sarjana, jika pada akhirnya mereka hanya punya dua pilihan: ikut bermain dalam sistem yang korup atau tersingkir karena berpegang teguh pada idealisme?
Dosen, Praktisi, dan Legitimasi Kebobrokan Hukum
Pernyataan “Nanti kalian akan paham kalau sudah jadi praktisi” bukan sekadar pengakuan, tetapi bentuk pembenaran atas kebobrokan sistem. Seolah-olah kami harus menerima bahwa di dunia hukum, integritas hanya untuk mereka yang naif, sementara yang cerdas adalah mereka yang tahu bagaimana memanipulasi hukum demi kepentingan sendiri.
Ini adalah bentuk reproduksi korupsi dari generasi ke generasi. Mahasiswa yang awalnya idealis, setelah masuk ke dunia praktik, akan mendapati bahwa hukum tidak bekerja sebagaimana yang mereka pelajari. Mereka akan menghadapi dilema: ikut dalam sistem dan mendapatkan keuntungan, atau melawan arus dan berisiko kehilangan segalanya. Sayangnya, sebagian besar memilih yang pertama.
Jika menjadi praktisi berarti harus ikut bermain dalam kecurangan, lalu apa gunanya pendidikan hukum? Seharusnya, Fakultas Hukum mencetak orang-orang yang memperbaiki sistem, bukan sekadar kaderisasi bagi mafia hukum generasi baru. Namun, jika sejak awal sistem pendidikan hukum hanya menyiapkan kami untuk menerima realitas kotor ini, maka Fakultas Hukum tak lebih dari pabrik penghasil birokrat legal bagi korporasi dan penguasa.
Bubarkan Fakultas Hukum atau Perbaiki Sistem?
Seruan “Bubarkan Fakultas Hukum” bukan sekadar kemarahan emosional, tetapi kritik keras terhadap sistem pendidikan hukum yang gagal membentuk perubahan. Fakultas Hukum tidak boleh menjadi tempat mencetak profesional yang akhirnya hanya menjadi alat oligarki. Jika hukum tetap menjadi mainan para elite dan tidak ada ruang bagi perubahan, maka keberadaan Fakultas Hukum hanya memperpanjang ilusi keadilan.
Namun, apakah satu-satunya solusi adalah membubarkan Fakultas Hukum? Ataukah masih ada harapan untuk memperbaiki sistem?
Jika Fakultas Hukum ingin tetap relevan, maka ia harus mengalami reformasi total. Mahasiswa tidak boleh hanya dijejali teori, tetapi harus diajarkan bagaimana menghadapi kebusukan hukum di lapangan. Pendidikan hukum harus menjadi basis perlawanan, bukan sekadar pintu masuk bagi mereka yang ingin kaya dari industri hukum yang korup.
Fakultas Hukum harus berani mengajarkan realitas sejak dini, bukan meninabobokan mahasiswa dengan teori kosong. Harus ada mata kuliah yang membahas bagaimana menghadapi mafia hukum, bagaimana melawan suap dan intervensi politik, serta bagaimana membangun sistem hukum yang benar-benar berfungsi.
Tapi jika perubahan itu tidak mungkin, jika Fakultas Hukum tetap menjadi sarang akademisi yang menutup mata terhadap realitas, jika lulusan hukum terus menjadi bagian dari sistem yang busuk, maka mungkin benar: lebih baik bubarkan saja Fakultas Hukum.