Hukum BisnisMateri Hukum

Larangan Praktik Nominee atas Kepemilikan Tanah dan Penanaman Modal

Dini Wininta Sari, S.H.
1125
×

Larangan Praktik Nominee atas Kepemilikan Tanah dan Penanaman Modal

Sebarkan artikel ini
Larangan Praktik Nominee
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum – Praktik nominee antara WNI dan WNA nyatanya masih banyak dilakukan di Indonesia, padahal hal itu termasuk penyelundupan hukum & melanggar ketentuan UU. Artikel ini membahas larangan praktik nominee atas kepemilikan tanah dan penanaman modal dalam peraturan perundang-undangan. Yuk simak pembahasan praktik nominee di bawah ini.

Perjanjian Nominee antara WNI dan WNA

Perjanjian nominee (perwakilan atau pinjam nama) berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua belah pihak, yakni Warga Negara Asing (WNA) meminjam nama Warga Negara Indonesia (WNI) untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, sehingga WNA tersebut dapat melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya. Perjanjian nominee juga digunakan untuk pinjam nama seseorang sebagai pemegang saham di perusahaan, dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara akta notariil dihadapan notaris.

Dalam hal ini, WNA adalah pemilik asli selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah atau saham atas nama WNI dan kewenangan atau kekuasaan mengelola serta memanfaatkan tanah dilakukan atau diwakilkan kepada WNA tersebut. Pada umumnya WNA yang menguasai lahan melalui perjanjian nominee atau pinjam nama memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan usaha dan pariwisata.

Praktik nominee ini dilakukan karena hak milik yang mengataskan nama WNI dapat berlangsung lama atau selamanya selama pihak yang tercantum namanya di sertifikat masih hidup serta dapat diturunkan kepada ahli waris. Apabila sertifikat yang bersangkutan diturunkan kepada ahli waris, dengan demikian WNA tetap dapat memperbaharui perjanjian nominee dengan mencantumkan nama ahli waris.

Unsur-Unsur Perjanjian Nominee

Perjanjian nominee terdiri atas perjanjian induk seperti halnya perjanjian pemilikan tanah (land agreement) dan surat kuasa, perjanjian sewa-menyewa, kuasa untuk menjual, perjanjian opsi, hibah wasiat, dan surat pernyataan ahli waris.

Perjanjian nominee sifatnya sama dengan perjanjian timbal balik, yang mana para pihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi masing-masing pihak yang disepakati dalam perjanjian dan perjanjian ini merupakan penerapan dari asas kebebasan berkontrak. Hal ini dikarenakan perjanjian nominee tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Unsur-unsur perjanjian nominee sebagaimana perjanjian pada umumnya, yaitu :

  1. unsur kaidah hukum, baik kaidah hukum perjanjian tertulis maupun tidak tertulis;
  2. unsur subyek hukum, yaitu para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian;
  3. unsur obyek hukum, yaitu pokok prestasi dalam perjanjian;
  4. kata sepakat yang merupakan persesuaian pernyataan kehendak para pihak mengenai isi dan obyek perjanjian;
  5. hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat hukum yang timbul dari perjanjian.

Kemudian secara implisit, perjanjian nominee mempunyai unsur-unsur yaitu :

  1. Adanya perjanjian pemberi kuasa oleh Beneficial Owner sebagai pemberi kuasa kepada Nominee sebagai penerima kuasa yang didasarkan pada kepercayaan dari Beneficial Owner kepada Nominee;
  2. Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang terbatas;
  3. Nominee bertindak seakan-akan (as if) sebagai perwakilan dari Beneficial Owner di hadapan hukum.

Mengapa Perjanjian Nominee Dilarang Diberlakukan di Indonesia?

Praktik nominee atau pinjam nama sudah banyak dilakukan di kota-kota besar Indonesia meskipun sejatinya tidak sah dan melanggar hukum. Selama tidak ada permasalahan diantara para pihak secara internal, pelaksanaan praktiknya dibiarkan saja. Namun pada kenyataannya, ditemukan adanya praktik nominee yang bertujuan agar WNA dapat memiliki hunian atau lahan dengan status hak milik atas tanah yang dilarang oleh Undang-Undang Pokok Agraria, sehingga mengarah pada penyelundupan hukum karena dalam hukum perjanjian Indonesia tidak ada ketentuan secara khusus mengenai perjanjian nominee serta tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yakni suatu sebab yang halal.

Penyelundupan hukum tanpa adanya pengawasan yang kuat dan penindakan terhadap praktik nominee, berbanding lurus dengan risiko hukum yang sangat tinggi bagi pemilik asli nominee sebab pemilik asli nominee tidak mendapat perlindungan hukum jika penerima kuasa nominee ada kalanya menimbulkan permasalahan atau wanprestasi terhadap isi perjanjian. Untuk itu, berikut penjelasan mengenai ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang melarang adanya praktik nominee.

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Syarat sahnya perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu; dan
  4. suatu sebab yang halal.

Keabsahan dan kekuatan mengikat dari perjanjian nominee, tidak terlepas dari ketentuan pasal tersebut, yang mana pada hakikatnya perjanjian nominee tidak memenuhi unsur suatu sebab yang halal sebab menyangkut pemindahan secara tidak langsung hak atas tanah dari WNI kepada WNA yang dilarang dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Dengan demikian menyebabkan perjanjian nominee menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para pihak dalam perjanjian.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian nominee terkait aspek kepemilikan tanah dalam praktik adalah WNA yang memiliki tanah berstatus hak milik, dengan jalan meminjam nama (nominee) dari WNI dalam melakukan jual beli. Padahal dalam Pasal 21 ayat (1) juncto Pasal 26 ayat (2) UUPA telah tegas melarang WNA untuk memiliki tanah dengan status hak milik di Indonesia sebagai konsekuensi diterapkannya asas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood) serta ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA bahwa WNA hanya dapat memperoleh hak pakai dan hak sewa untuk bangunan.

Dengan demikian, perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak menjadi batal demi hukum dan berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA perjanjian nominee tersebut bahkan dapat juga mengakibatkan status tanah tersebut kembali menjadi tanah negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung dan seluruh pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)

Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) mengatur secara tegas bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam Perseroan Terbatas untuk dan atas nama orang lain, hal tersebut mengakibatkan perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

Dalam hal ini, UUPM melarang adanya perjanjian saham pinjam nama atau Nominee Arrangement, sebagai contoh apabila seorang WNA mengaku sebagai pemegang saham, akan tetapi namanya tidak tercantum sebagai pemegang saham dalam anggaran dasar suatu perseroan terbatas karena meminjam nama WNI yang mengatasnamakan saham tersebut tanpa mengubah status badan hukum perseroan terbatas tersebut menjadi PT Penanaman Modal Asing (PT PMA). Keberadaan maupun hak WNA tersebut tidak diakui, sehingga perjanjiannya menjadi batal demi hukum.

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

Ditinjau dari aspek kepemilikan saham, Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) juga melarang praktik pengeluaran saham perseroan terbatas atas nama pemilik yang bukan pemilik aslinya dengan ancaman perbuatan tersebut dianggap batal demi hukum. Pasal tersebut menyebutkan: “Saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya”.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2020

SEMA nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno MA Tahun 2020 menjelaskan bahwa : “Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/harta/aset milik pihak lain atau Warga Negara Asing”, yang pada pokoknya mengatur bahwa WNA atau pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam sertifikat tidak diakui secara hukum sebagai pemilik tanah.

Contoh Kasus Praktik Nominee

Terdapat kasus sebagaimana dalam Putusan Nomor 12/Pdt/2014/PT.Dps antara pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah (CA) justru menjual tanah tersebut kepada orang lain tanpa sepengetahuan pemilik asli yang merupakan WNA (SH) yang telah membeli tanah tersebut. Berlanjut hingga tingkat kasasi dalam Putusan No. 3020 K/Pdt/2014, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi SH sebagai pemilik asli.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim kasasi menyatakan bahwa WNA memang tidak dapat menjadi pemilik tanah di Indonesia, sehingga jual beli atas tanah oleh WNA dan praktik nominee WNI bertentangan dengan Pasal 21 UUPA dan tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni sebab yang halal. WNI lah yang berhak mengalihkan, menjual, membebani, menjaminkan, serta melakukan tindakan apapun atas benda yang bersangkutan atas nama hukum, meskipun bukan pemilik tanah yang sebenarnya.

Penutup

Praktik nominee atau pinjam nama dalam bidang pertanahan dan penanaman modal adalah tindakan yang dilarang dalam beberapa ketentuan perundang-undangan karena dianggap sebagai penyelundupan hukum. Oleh karena itu, diperlukannya aturan dan sanksi yang lebih tegas agar lebih memberikan efek jera.

Dalam struktur hukum, pemerintah bersama dengan aparat penegak hukum dan khususnya notaris dapat saling bekerja sama untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan hukum serta melakukan pemeriksaan terhadap segala transaksi yang mengatasnamakan orang lain. Notaris harus lebih teliti dan hati-hati dalam pembuatan akta oleh para pihak yang berindikasi perbuatan melawan hukum atau melanggar ketentuan undang-undang yang dapat merugikan para pihak beserta notaris itu sendiri.

Dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3007 K/Pdt/2014 tertanggal 29 Agustus 2015 menyatakan “Perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris atau Pejabat yang berwenang bukanlah selalu dianggap benar, namun dianggap autentik, sehingga akta yang tersebut tidak sah dapat dibatalkan, karena faktanya akta tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi pada saat akta tersebut dibuat dan ditandatanganipun ternyata bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku”.

Referensi

  • Eva Aprilia, Dinda, Nur Anggraini Hidayatullah, dan Muhammad Iswan. “Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Nominee yang Diberikan Secara Lisan”. Jurnal Lex Suprema, Vol. 3, no. 2 (2021).
  • Pertiwi, Endah. “Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum oleh Para Pihak”. Jurnal Rechten : Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Vol. 1 (2019).
  • Ramdhana, Kadek Wija Dharma, I Nyoman Putu Budiartha, dan Ni Made Puspasutari Ujianti. “Larangan Penguasaan Tanah oleh WNA Melalui Perjanjian Nominee”. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3, no. 2 (2022).

Demikian penjelasan mengenai larangan praktik nominee atas kepemilikan tanah dan penanaman modal dalam peraturan perundang-undangan. #TemanLiterasiHukum dapat menghubungi kami jika terdapat permintaan pembahasan materi tertentu melalui contact us atau melalui widget whatsapp di kanan bawah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.