Artikel ini membahas tentang pengaturan hukum internasional mengenai penggunaan pesawat tanpa awak atau drone, terutama dalam kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Beberapa pengaturan hukum internasional yang berkaitan dengan penggunaan drone dijelaskan dalam artikel ini, termasuk pengaturan hukum kebiasaan internasional, perjanjian internasional, dan peraturan di Indonesia. Artikel ini juga menjelaskan perbedaan penggunaan drone non-combat dan drone combat dalam hukum internasional.
Eksistensi Drone
Dalam hukum Internasional terdapat beberapa pengaturan mengenai pesawat tanpa awak, namun pengaturan tersebut sifatnya hanya mengatur hal-hal yang umum, secara spesifik atau khusus memang belum ada pengaturan khusus mengeni pesawat tanpa awak. Dalam hukum humaniter Internasional, kegunaan drone dibedakan menjadi dua yakni Non Combat Drove atau UAV yakni drone yang tidak membawa senjata atau bom,melainkan hanya untuk kegiatan pengumpulan dan penelitian data dan Combat Drone, yakni drone yang dianggap sebagai sasaran militer yang sah, yang membawa senjata dan melakukan penyerangan yang menyebabkan kerusakan pada militer musuh.
Menurut Arman Nicolas Marbun, keberadaan drone kenyataannya lebih banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan militer dibandingkan dengan kegiatan sipil. Dengan demikian sudah seharusnya pengaturan mengenai drone asing ada, dan pesawat tanpa awak atau drone asing ini, wajib tunduk pada kategori hukum humaniter internasional dalam hukum internasional. Tujuannya adalah demi menjamin dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan termasuk bebas dari ancaman militer atau kekuatan bersenjata bagi sipil dan militer damai.
Pengaturan Drone Menurut Hukum
Sejumlah pengaturan hukum Internasional mengenai keberadaan drone antara lain :
- Berdasarkan hukum kebiasaan Internasional, penggunaaan drone terikat dengan rancangan RAW (Raw of Air Warfare) dalam Konvensi Den Hag IV, contohnya adalah drone tidak boleh dijatuhkan ke pemukiman yang banyak penduduknya. Praktek-praktek dalam konvensi den hag mengenai drone tersebut, telah banyak digunakan sehingga dapat dijadikan landasan pembatasan penggunaan drone asing berdasarkan sumber hukum kebiasaan internasional.
- Berdasarkan perjanjian Internasional
- Konvensi Jenewa 1949; Yakni pasal 36 Protokol Tambahan I bahwa pesawat tanpa awak yang merupakan suatu sarana dan metode berperang baru harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada didalam Protokol dan Konvensi serta pengaturan lainnya yang berlaku dan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai alat dan metode berperang tidak sesuai dengan Pasal 57 Protokol Tambahan I. Jika ternyata pesawat tanpa awak menyerang sipil, maka dapat dikenakan hukuman sesuai dengan pelanggaran hukum humaniter Internasional tentang sarana dan metode perang.
- Konvensi Chicago 1944. Dalam konvensi tentang penerbangan sipil tersebut, pada Pasal 8 menyebutkan bahwa pesawat tanpa pilot harus memiliki izin untuk dapat memasuki wilayah lain. Izin yang diberikan harus merupakan izin khusus memasuki wilayah lain dan pesawat tanpa pilot tersebut akan mendapatkan pengawasan untuk menjamin/mencegah timbulnya bahaya. Hal ini dikarenakan berdasarkan pasal 1 konvensi ini menyatakan setiap wilayah negara-negara pihak/peserta mengakui bahwa setiap negara memiiki kedaulatan penuh dan ekslusif atas wilayah udara di atas wilayahnya. Dan pesawat tanpa awak yang prakteknya digunakan untuk kegiatan militer, maka tunduk pada Pasal 3 Konvensi ini.
- Konvensi Montevideo 1933 pasal 9 tentang hak dan kewajiban negara berdaulat. Bahwa tidak boleh menggunakan segala senjata atau persenjataan untuk melanggar hak dan kewajiban negaranya, melakukan intervensi terhadap negara lain dan menimbulkan pergolakan sipil dengan penyerangan terhadap negara lain. Hal ini termasuk penggunaan pesawat tanpa awak asing yang tidak boleh secara langsung memasuki wilayah negara berdaulat tanpa izin apalagi melakukan penyerangan.
- Konvensi Paris 1919 tentang hak lintas damai. Bahwa dalam waktu damai memperbolehkan pesawat negara lain melakukan lintas sesuai dengan ketentuan “damai” yang ditetapkan konvensi ini.
Di negara Indonesia sudah terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai drone asing antara lain :
- Peraturan Menteri Perhubungan yakni PM No.90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Dilayani Indonesia. Dalam Peraturan Menteri tersebut sudah disebutkan, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait pengoperasian drone seperti drone tidak boleh dioperasikan di kawasan udara terlarang (prohibited area), kawasan udara terbatas (restricted area) dan kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) suatu bandar udara (bandara), dan terdapat waktu permohonan izin pengoperasian drone yakni 14 hari sebelum hari kerja drone.
- PM No.90 Tahun 2015 kemudian dicabut dengan Permenhub No. 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Dilayani Indonesia yang kemudian dicabut kembali dengan Permenhub No.37 Tahun 2020 tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia.
- Untuk Unmanned Underwater Vehicles (UUV) atau pesawat tanpa awak di perairan Indonesia, dapat diterapkan dasar hukum yaitu Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menjelaskan kedaulatan negara Republik Indonesia di perairan Indonesia. Serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS (ratifikasi hukum internasional) tentang segala kegiatan riset di kelautan. Jadi apabila ada pesawat tanpa awak di perairan yang melakukan pelanggaran dapat diadili dengan kedua peraturan perundang-undangan tersebut.