Literasi Hukum – Artikel ini mengulas pengertian, sejarah, dan perkembangan tata hukum Indonesia dari era prapenjajahan hingga masa reformasi. Dibahas pula pengaruh hukum adat, hukum kolonial Belanda dan Jepang, hingga terbentuknya sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila serta perlindungan hak asasi manusia. Artikel ini juga memaparkan upaya Indonesia dalam menciptakan tata hukum yang mencerminkan identitas nasional dan keberagaman masyarakat, dengan sumber referensi dari para ahli dan literatur sejarah hukum Indonesia.
Tata hukum Indonesia atau susunan hukum Indonesia adalah tatanan atau tata tertib hukum-hukum Indonesia guna melindungi kepentingan masyarakat Indonesia. Tata hukum Indonesia merupakan hukum positif di mana terdapat aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku dan sudah diganti dengan aturan hukum baru yang sejenis dan berlaku sebagai hukum positif baru.
Keadaan tata hukum Indonesia pada masa prapenjajahan berkaitan erat dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia pada masa itu. Indonesia pada masa itu masih bernama Nusantara, berupa kerajaan yang dipimpin oleh raja, ratu, sultan, atau pimpinan masyarakat adat setempat. Pemerintahannya bersifat monarki dan aristokrasi yang terdiri dari para bangsawan atau feodalis.
Raja sebagai pimpinan kerajaan mengembangkan bahasa dan peraturan yang berisikan perintah raja dan tatanan perilaku bagi warganya. Menurut Slamet Muljana, kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu hayam Wuruk sudah membuat peraturan hukum dan menjalankan pengadilan, sebagaimana tercantum dalam naskah Nagarakretagama.
Bangsa Indonesia pada masa itu hidup dalam dua ikatan sosial, yaitu ikatan feodal yang terpusat di kerajaan dan ikatan desa, dan keduanya saling berkorelasi. Sesungguhnya kekuasaan raja secara politik hingga ke desa, tetapi karena letaknya jauh dengan kerajaan sehingga pengaruh kerajaan tidak begitu kuat. Oleh sebab itu, masyarakat yang tinggal di desa juga mengembangkan pola interaksi dan hubungan sosial sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kedua ikatan tersebut, membentuk pranata atau norma hukum yang disebut hukum adat, baik pada ikatan feodal di kerajaan maupun ikatan desa. Menurut Van Vollenhoven hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan alat kekuasaannya.
Pada masa itu, selain hukum adat berlaku pula hukum Islam bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Hukum Islam berlaku bagi para pemeluknya. Namun, tidak seluruh lapangan hukum Islam berlaku di masyarakat. Hanya lapangan hukum perkawinan Islam dan hukum waris Islam yang berlaku. Sedangkan hukum pidana Islam tidak diterapkan dalam kehidupan sosial.
Belanda pada awalnya tidak ada niat untuk datang ke Nusantara kalau bukan karena kepentingan dagangnya terganggu. Pendudukan Portugal oleh Spanyol pada tahun 1580 telah menutup pelabuhan orang Portugis. Hal ini berdampak terhadap kepentingan dagang Belanda, karena Belanda pada saat itu sedang berperang dengan Spanyol.
Padahal, pelabuhan Portugis selama ini disinggahi oleh kapal-kapal Belanda untuk mengangkut dan mendistribusikan rempah-rempah (spicies) ke Eropa Utara dan Timur. Ditutupnya pelabuhan itu berdampak terhadap kapal dagang Belanda sehingga tidak dapat bersandar. Hal ini mendorong kapal-kapal Belanda untuk mencari jalur perdagangan sendiri hingga ke Hindia Timur (oost Indie; East India).
Pada perkembangannya, Belanda membentuk serikat dagang VOC dan melakukan praktek dagang secara monopoli di Nusantara dengan cara memiliki hak untuk membeli dan menjual rempah-rempah dengan harga yang ditentukan VOC. Para pedagang VOC bertransaksi di atas kapal dagang milik Belanda atas ketentuan hukum Belanda kuno (oud Nedelands recht) yang sebagian besar materinya adalah hukum disiplin dan ditambah asas-asas hukum Romawi. Dalam pergaulan sehari-hari, menurut Utrecht pada saat itu orang Indonesia asli hidup dibawah kekuasaan hukum adat dan orang Belanda dibawah kekuasaan hukum Belanda yang dibawa ke Indonesia.
Pada tahun 1800 VOC dibubarkan karena pailit akibat tidak mampu membayar hutang. Sejak saat itu, pemerintah Belanda melakukan penjajahan secara langsung terhadap Bangsa Indonesia. Daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Perkembangan selanjutnya adalah transisi kekuasaan VOC menjadi kekuasaan Pemerintah Belanda. Gubernur Jenderal tidak lagi agen Perusahaan dagang namun wakil pemerintah.
Indonesia pernah dijajah oleh Inggris pada tahun 1811. Pulau Jawa dikusai Inggris diatas Pimpinan T.S. Raffles. Inggris mengakui keberadaan hukum adat dan hukum islam bagi orang Indonesia asli. Meski demikian, hukum Eropa masih dianggap lebih tinggi. Rakyat pada masa itu dibebani dengan pajak bumi. Pemerintahan Raffles berakhir ketika Pemerintahan Napoleon Bonaparte runtuh.
Prancis sebagai penjajah memberlakukan code de civil dan code de commerce di Belanda, hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah colonial Belanda di Hindia-Belanda (baca indonesia) memberlakukan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Kophandel di Hindia-Belanda. Pemberlakuan ini merupakan penyesuaian hukum atau disebut dengan konkordansi (concordantie) hukum, yaitu diberlakukannya BW dan WVK di Hindia-Belanda. Meski demikian, penyesuaian hukum yang diberlakukan di Hinda-Belanda secara politik hukum dipandang hanya sebagai dasar hukum untuk memberlakukan devide et impera.
Akibat dari politik hukum konkordansi, maka di Hindia-Belanda bukan hanya tercipta dualisme hukum tetapi juga pluralisme hukum. Di satu pihak, hukum Eropa berlaku bagi orang Eropa, di lain pihak, hukum adat dan hukum islam berlaku bagi Bumi Putera. Selain itu, di dalam hukum adat terdapat berbagai peraturan adat yang berbeda-beda, tergantung system masyarakat adat yang bersangkutan. Politik hukum diskriminatif semakin tampak ketika Pemerintahan Hindia-Belanda mengatur pembedaan golongan penduduk, antara lain:
Pada tahun 1866 kodifikasi hukum pidana di Indonesia dilakukan dan dibuat bagi golongan Eropa. Pada tahun 1872 diundangkan kitab hukum pidana yang berlaku bagi golongan Bumi Putra dan Timur Asing, yang substansinya mirip dengan hukum pidana bagi golongan Eropa. Berdasarkan Pasal 75 RR tahun 1854, wetboek van strafrecht atau KUHP yang merupakan tiruan Code Penal dari Prancis juga berlaku di Hindia Belanda. Namun, pada tahun 1915 dibuat kodifikasi hukum pidana yang baru, yaitu wetboek van strafrecht yang berlaku 1918 untuk mewujudkan unifikasi hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan rakyat dan golongan hukum di wilayah Indonesia.
Golongan penduduk di Hindia-Belanda menurut Pasal 109 RR dibedakan menjadi yang menjajah dan yang dijajah. Golongan Eropa adalah pihak yang menjajah, dan Bumi Putera pihak yang dijajah. Peraturan hukum yang berlaku untuk Bumi Putera diatur dalam Pasal 75 RR yaitu, hakim dalam memeriksa perkara agar memberlakukan hukum perdata Eropa bagi orang Eropa, dan hukum Adat bagi pribumi. Pada tahun 1920 dilakukan perubahan beberapa pasal dalam RR, salah satunya adalah pasal 75 RR baru menyatakan pemnbedaan golongan penduduk didasarkan pada kriteria pendatang dan yang didatangi. Mengenai golongan penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Bumi Putera, dan Timur Asing.
Pada tahun 1925 pemerintah Belanda menerbitkan UU ketatanegaraan Hindia-Belanda, yaitu IS 1926 yang kemudian menggantikan RR 1854 secara keseluruhan. Politik hukum pemerintah Belanda dalam IS 1926 masih mencerminkan kekuasaan yang bersifat diskriminatif, dan politik pecah belah. Dalam pasal 163 IS diatur 3 golongan penduduk Hindia-Belanda yaitu:
Berikut penggolongan hukum berdasarkan golongan menurut Pasal 131 IS:
Pemerintahan Jepang di Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan balatentara Jepang, yaitu Osamu Sirei No. 1 Tahun 1942, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang, dari pemerintahan yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Osamu Seirei 1942, peraturan masa Hindia-Belanda yang diatur dalam IS 1926 masih berlaku. Dengan demikian, kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang, BW dan WvK masih berlaku. Untuk hukum pidana selain menggunakan WvS juga digunakan hukum pidana balatentara Jepang, yaitu Gunseirei 1942 dan Osamu Seirei No. 25 1944.
Di masa orde lama, tepatnya di awal kemerdekaan, pemerintahan didasarkan pada UUD 1945 semata. Jika dijabarkan, sistem pemerintahan negara sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Di masa ini terjadi pasang-surut perkembangan UUD 1945 sebagai berikut:
Sayangnya, UUD 1945 di awal kemerdekaan dinilai belum efektif. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih dalam peralihan, kemudian lembaga dan pranata hukum masih belum tersedia. Kemudian, ada pula pengaruh Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali.
Pemerintahan masa orde baru, dipandang sebagai tindakan koreksional atas pelaksanaan UUD 1945 yang menyimpang di masa orde lama. Salah satu tindakannya yang relevan dengan politik hukum adalah diterbitkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketentuan Pasal 2 MPRS tersebut menyatakan bahwa sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan berlaku bagi pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dalam ketetapan MPRS tersebut pula, dicanangkan struktur secara komprehensif dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia; dalam sumber tata hukum di Indonesia, Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Ketetapan MPRS yang sama juga mengatur tata urutan peraturan, antara lain:
Selain perubahan tata hukum Indonesia, politik hukum di masa reformasi ini juga ikut berubah. Perubahannya mengarah kepada sistem hukum yang lebih terbuka dan demokratis. Di masa ini juga terjadi Amandemen UUD 1945. Berikut Amandemen UUD 1945 yang terjadi selama masa reformasi sebagai berikut:
Berikut adalah substansi dari Amandemen UUD 1945 sebagai berikut:
Ketentuan Hierarki peraturan perundang-undangan juga mengalami perubahan yang sebelumnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, menjadi UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
Tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde”, ialah susunan hukum yang artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud dengan “memberikan tempat yang sebenarnya”, yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup agar ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.
Sejarah dan perkembangan tata hukum Indonesia merupakan refleksi dari perjalanan panjang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Dimulai dari hukum adat yang kaya akan nilai-nilai lokal, tata hukum Indonesia mengalami transformasi signifikan saat penjajahan, terutama oleh Belanda, yang memperkenalkan hukum Barat. Proses ini menciptakan ketegangan antara hukum adat dan hukum kolonial, yang berlanjut hingga era kemerdekaan.
Setelah proklamasi 1945, Indonesia berusaha membangun sistem hukum yang mencerminkan identitas nasional dan keberagaman masyarakatnya. Berbagai undang-undang dan peraturan baru dirumuskan untuk menggantikan sistem hukum kolonial, serta mengakomodasi hukum adat dan nilai-nilai Pancasila. Era reformasi di akhir 1990-an menandai titik balik penting, dengan penekanan pada demokratisasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini