Literasi Hukum – Artikel ini membahas dinamika dan pentingnya kontrak syariah dalam konteks bisnis dan perbankan di Indonesia, yang tumbuh pesat seiring dengan perkembangan ekonomi Islam. Kontrak syariah memainkan peranan penting dalam memastikan bahwa transaksi bisnis dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yang mencakup kejujuran, keadilan, dan kepatuhan terhadap larangan riba, gharar, dan maisir. Artikel ini juga menguraikan definisi, teori, asas, subjek, dan objek kontrak syariah, serta syarat sah dan konsekuensi yuridis jika kontrak batal atau berakhir. Informasi ini penting bagi pelaku bisnis yang ingin memahami bagaimana kontrak syariah diaplikasikan dalam praktik dan regulasi hukum di Indonesia, memberikan panduan yang komprehensif tentang persyaratan dan implikasi legal kontrak syariah.
Pendahuluan
Masa kini marak sekali bisnis di Indonesia yang menunjukkan grafik perkembangan semakin cepat, seperti halnya aktifitas dalam bisnis syariah. Aktifitas bisnis syariah yang sedang berjalan tentu ada kontrak yang terjadi. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia paling pesat berada pada bentuk perbankan dan Lembaga keuangan non bank. Semakin beragamnya bisnis syariah, maka pelaku harus melaksanakan berdasarkan syariah yang didasarkan pada hubungan antara bank dan nasabah dalam lingkup perbankan. Kontrak yang terjadi dalam bisnis syariah adalah kontrak syariah. Kontrak syariah dalam kondisi ini mengatur suatu perjanjian atau perikatan tertulis dengan didasarkan pada prinsip syariah dengan fungsi sebagai alat bukti bagi para pihak.
Tujuan dari kontrak syariah sebagai arahan manusia Ketika melakukan transaksi social ekonomi baik itu modern ataupun konvensional dalam rangka mencapai keridhaan illahi. Dalam prakteknya, kontrak syariah dilarang mengandung riba, gharar, dan maisir. Adapun yang diperbolehkan, berdasarkan prinsip syariah adalah prinsip tauhid, prinsip Amanah, prinsip fatanah, prinsip siddiq, prinsip Ridha, prinsip tabliq, prinsip ikhtiar, prinsiap mas’ulun, prinsip adil, prinsip zakat, dan prinsip ihsan.
Definisi dan Istilah Kontrak Syariah
Kontrak dalam Bahasa Arab ialah akad dengan arti ikatan atau simpulan. Kontrak merupakan sebuah kepastian dari hasil bersama antar kedua belah pihak secara lisan, isyarat, tulisan dengan membawa impilkasi hukum yang mengikat dalam pelaksanaannya. Istilah kontrak dengan perjanjian tidak dibedakan dalam hukum Islam karena identik dengan istilah akad, sehingga akad diartikan sebagai adanya ijab qabul secara sah menurut hukum syar’i serta memungkinkan timbulnya akibat hukum. Disamping itu, kata syariah secara etimologi bermakna “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”. Bilamana di kondisikan dalam kontrak syariah, maka kata syariah memiliki makna segala kegiatan amaliah, Aqidah, dan akhlak manusia diatur dalam bentuk perintah maupun larangan sesuai dengan dail qath’i.
Disimpulkan bahwa kontrak syariah merupakan proses pelaksanaan transaksi antara satu pihak dengan pihak lain yang terikat oleh hukum dengan adanya sebuah penawaran dan penerimaan yang sesuai dengan hukum syar‟i. Dapat dikatakan pula bahwa, seluruh kaidah hukum dibidang muamalah yang mengatur pelaku dalam hubungan ekonomi didasarkan kata sepakat berdasarkan hukum Islam serta dapat menimbulkan akibat hukum.
Teori Yuridis Kontrak Syariah
Teori yuridis kontrak syariah terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 tentang persetujuan perjanjian. Bila dilingkup perbankan ada dalam Undnag-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan hukum Islam, makan kontrak syariah menggunakan akad. Definisi akad dapat dilihat dalam Pasal 1 sampai 5 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlu digaris bawahi pula, bahwa di dalam menjalankan kontrak harus ada unsur “suka sama suka” karena keridhaan tidak dapat diperkecualikan. Jadi, harus mendapatkan persetujuan diantara kedua belah pihak.
Asas-asas Kontrak Syariah
Asas-asas yang digunakan oleh kontrak syariah, yaitu
- Asas ibahah dengan dalil terkenalnya yaitu “pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya”.
- Asas kebebasan berakad setiap orang bebas melakukan perjanjian dengan siapapun dan apapun selama didasarkan pada hukum Islam.
- Asas konsesualisme yaitu perjanjian tercipta cukup dengan kata sepakat di antara kedua belah pihak.
- Asas janji itu mengikat yaitu janji yang telah dibuat itu bersifat mengikat dan wajib dipenuhi.
- Asas keseimbangan yaitu perjanjian islam menerapkan keseimbangan dalam menanggung resiko.
- Asas kemaslahatan yaitu perjanjian atau kontrak yang dibuat tidak boleh merugikan diantara para pihak.
- Asas amanah yaitu adanya itikad baik dalam transaksi.
- Asas keadilan yaitu seperti halnya boleh mengadakan negosiasi dalam kontrak.
Selain di atas, sumber lain mengatakan adanya prinsip-prinsip yang digunakan dalam kontrak syariah, meliputi Prinsip Tauhid, prinsip kebolehan, prinsip keadilan, prinsip persamaan atau kesetaraan, prinsip kejujursan dan kebenaran, prinsip tertulis, prinsip itikad baik atau kepercayaan, prinsip kenmanfaatan, prinsip kerelaan atau konsensualisme, prinsip kebebasan berkontrak, dan prinsip kepastian hukum.
Subjek dan Objek Kontrak Syariah
Subjek hukum digolongkan menjadi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Manusia dikatakan sebagai subjek hukum karena memiliki hak subyektif, akan tetapi tidak semua manusia dapat dikatakan subjek hukum. Golongan yang dimaksud ialah orang yang belum dewasa, orang yang berada di bawah pengampuan, dan seorang wanita yang bersuami. Selain manusia, badan hukum juga sebagai subjek hukum. Jadi, bisa terjadi menggugat dan digugat yang tergantung pada jenis badan hukumnya, seperti Perseroan Terbatas, Perusahaan Negara, Yayasan, Badan-Badan Pemerintahan, dan sebagainya. Dengan demikian, subjek hukum manusia dan badan hukum memiliki kedudukan dominan dalam terjadinya kontrak syariah.
Sedangkan objek kontrak syariah ini dapat berupa benda, manfaat benda, jasa, ataupun segala hal yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟. Ada tiga macam bentuk objek, pertama objek akad dapat diserahkan. Maksudnya, objek yang mendukung keberadaan kontrak tersebut berjalan atau tidak. Dengan kata lain, objek berupa benda itu harus jelas serta dapat diserahkan ketika terjadi kontrak syariah. Tidak boleh atas barang tersebut masih kepemilikan orang lain. Benda harus sesuai dengan keinginan dan minat baik zat, sifat, kemanfaatannya bagi pihak lawan.
Macam objek kontrak syariah yang kedua ialah objek kontrak tertentu. semua jenis objek transaksi atau kontrak bisnis Islam yang bersyarat tertentu itu terlihat dalam benda tertentu, jasa tertentu, pekerjaan tertentu, dan manfaat dari barang tertentu. Maksud dari benda tertentu ialah sudah dipastikan jelas dan tidak dalam bayangan pihak yang menawarkan. Pekerjaan tertentu di sini ialah penetapan waktu kerja sebagai dasar penetapan upah dan terjadinya dalam kontrak pekerja antara pekerja dan majikan. Adapun, maksud objek kontrak manfaat benda tertentu dan ditentukan ialah Manfaat sebuah benda dapat dijadikan sebagai dasar penetapan berlakunya hukum kontrak dalam praktek kontrak binis yang dijalankan oleh para pihak. Akan tetapi tidak semua manfaat benda itu bisa tertentu maupun ditentukan
Bentuk objek kontrak yang ketiga ialah objek kontrak yang ditransaksikan. Maksudnya Objek yang digunakan sebagai subjek sudah sangat jelas dan keduanya dapat melihat, memegang dan merasakan Di sisi. Selain itu, barang atau benda benarbenar milik pihak yang melakukannya kontrak, yaitu pemasok. Jika penerima tahu benar dan sangat yakin dengan barang yang digunakan subjek kontrak komersial sebenarnya adalah milik pemasok siapa mitra kontrak. Karena Kepemilikan adalah syarat mutlak menjunjung tinggi kesepakatan di antara mereka sendiri Berpesta. Karena tidak mungkin untuk menyimpulkan kontrak bisnis jika orang lain memiliki barang tersebut lain Kecuali barang tersebut diotorisasi orang lain yang bertindak sebagai subjek kontrak komersial.
Syarat Sah Kontrak Syariah
Berdasarkan hukum perdata, syarat sah perjanjian diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan, yaitu :
- Terdapat kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Kecakapan berdasarkan hukum perdata dan hukum islam memiliki kesamaan yaitu bahwa kecakapan sama dengan berakal. Maka, jenis kecakapan itu ada yang sempurna dan tidak sempurna. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata itu sama dengan prinsip hukum Islam. Akan tetapi, dalam KUHPerdata ukuran orang dewasa adalah umur 21 tahun atau sudah kawin. Sedangkan dalam hukum Islam, ukurannya terletak pada baligh. Laki-laki sudah mengalami ihtilam (bermimpi) dan perempuan sudah haid. Baligh dalam ukuran Islam itu berumur 15 tahun.
- Terdapat izin sebagai kata sepakat secara sukarela dari para pihak.
Terkait pada kesepakatan yang dinyatakan sah atau tidak sah baik dalam KUHPerdata dengan hukum Islam sama yaitu terjadi kesepakatan tanpa ada pemaksaan atau penipuan. Akan tetapi dalam KUHPerdata dalam praktiknya kesepakatan dilakukan dalam lisan atau tertulis sebagai alat bukti. Sedangkan, dalam hukum Islam kesepakatan identik dilaksankan dengan kata ijab dan qabul.
- Mengenai suatu hal atau obyek tertentu.
Objek kontrak baik KUHPerdata ataupun hukum Islam harus mengenai sesuatu hal sebagai objek hukum. Akan tetapi dalam KUHPerdata, objek perjanjian adalah prestasi atau pokok perjanjian yang harus diperbolehkan, harus ditentukan, dimungkinkan, serta dapat dinilai dengan uang. Sedangkan dalam hukum Islam, objek kontrak harus ada ketika akad dilangsungkan, jelas, dapat diserahterimakan, serta dibenarkan oleh syariah.
- Adanya sebab yang dibenarkan.
Baik dalam KUH Perdata dan hukum Islam harus ada itikad baik dari para pihak dan tidak disebabkan oleh sesuatu yang dilarang seperti karena paksaan dan penipuan. Adapun, perbedaan antara KUHPerdata dan hukum Islam terkait kausa halal yaitu alasan perjanjian jual beli penjual tidak berkewajiban untuk menyerahkan barang setelah pengiriman oleh pembeli uang seperti yang dipahami hukum Barat tetapi transfer kepemilikan dengan penghargaan berdasarkan hukum syariah.
Konsekuensi Yuridis Kontrak Syariah
Konsekuensi dari batalnya hukum yang membatalkan keberadaan kontrak selalu dipertimbangkan secara retrospektif setelah berakhirnya kontrak. Memahami kontrak seharusnya sehubungan dengan ketidakpatuhan terhadap syarat-syarat kontrak, yaitu tidak terpenuhinya unsur subyektif dan unsur obyektif serta ketidakcakapan. Kontrak dikatakan berakhir ketika apa yang menjadi tujuan akad telah tercapai, terutama setelah masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya. Inilah yang disebut berakhrinya kontrak secara utuh yaitu setelah tujuan suatu perikatan tercapai.
Kontrak dapat dipastikan berakhir apabila masa berlakunya akad telah selesai. Ketika sudah selesai maka hubungan hukum diantara para pihak menjadi terputus. Namun, untuk mengakhiri suatu perjanjian dalam kontrak syariah itu tergantung dari jenis akad yang digunakan. Misalnya, kontrak jual beli akan dikatakan berakhir jika sudah terjadi penyerahan objek pertukaran. Kontrak dalam perspektif hukum Islam disebut juga sebagai perjanjian yang berlandaskan ketentuan syariat, sementara kontrak dalam hukum perdata dikenal dengan perjanjian konvensional yang pelaksanaannya didasarkan pada hukum perdata
Dalam BW tidak diatur secara detail apa akhir akad, tetapi diatur apa dalam Bab IV Buku II bahwa Batalnya perikatan. Ketika ketentuan tentang pemutusan kontrak juga merupakan ketentuan tentang pemutusan kontrak pengalihan karena pengalihan menurut bagian IV BW merupakan pengalihan secara umum, baik kontraktual maupun bertentangan dengan hukum.
Menurut pasal 1381 BW hapusnya kontrak karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaruan utang perjumpaan utang atau kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang teutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya syarat batal dan lampau waktu. Kesimpulannya, Berakhirnya perjanjian (akad) dalam perspektif hukum Islam dapat disebabkan karena selesai pelaksanaannya dikarenakan berakhirnya masa berlaku akad, kemudian dikarenakan tindakan mengakhiri perjanjian yang telah tercipta sebelum dilaksanakan atau sebelum selesai pelaksanaannya yang disebut dengan istilah terminasi. Terminasi itu ada empat yaitu: terminasi akad karena iqalah, terminasi terkait pembayaran urbun di muka, terminasi akad karena mustahil dilaksanakan, terminasi akad salah satu pihak menolak melaksanakannya.
Referensi
- Andriani, F, and I Zulfitri. “Berakhirnya Kontrak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Perdata.” Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan … 1, no. 2 (2021). https://ejournal.unidaaceh.ac.id/index.php/jspi/article/view/139%0Ahttps://ejournal .unida-aceh.ac.id/index.php/jspi/article/download/139/100.
- Ardi, Muhammad. “Asas-Asas Perjnajian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam Penerapan Salam dan Istisna”. Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14, no. 2, 2016.
- Astuti, Sinta Indi, Septo Pawelas Arso, dan Putri Asmita Wigati. “Kaidah-Kaidah Keabsahan Multi Akad”. Analisis Standar Pelayanan Minimal Pada Instalasi Rawat Jalan di RSUD Kota Semarang. No. 3, 2015.
- Hukaify, Akhmad. “Asas-Asas Kontrak (Akad) dalam Hukum Syari’ah”. At-Tadbir: Jurnal Ilmiah Manajemen. Vol. 3, no. 1, 2019.
- Muftadin, Dahrul. “Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya dalam Transaksi Syariah”. Jurnal Al-‘Adl, vol. 11, no. 1, 2018.
- Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Rachman, Abdul. “Dasar Hukum Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syariah di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol. 8, no. 1, 2022.
- Sari, Novi Ratna. “Komparasi Syarat Sah Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam”. Repertorium, vol. 4, no. 2, 2017.
- Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
- Wahidah, Zumrotul. “Berakhirnya Perjanjian Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Perdata.” Tahkim (Jurnal Peradaban dan Hukum Islam) 3, no. 2, 2020.
- Wiwoho, Anis Mashdurohatun Jamal.”Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika Bisnis.” Vol. 53, 2019. Yunita, Dewi. “Tinjauan Hukum Kontrak Prinsip Syariah Dibandingkan dengan Sistem Hukum Perdata”. Jurnal Keuangan dan Perbankan. No. 2, 2011.