Opini

KUHP Baru dan Pasal Penghinaan Presiden: Antara Melindungi Martabat dan Membungkam Kritik?

Wahyu Hidayat
670
×

KUHP Baru dan Pasal Penghinaan Presiden: Antara Melindungi Martabat dan Membungkam Kritik?

Sebarkan artikel ini
KUHP Baru dan Pasal Penghinaan Presiden: Antara Melindungi Martabat dan Membungkam Kritik?
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini membahas kasus pasal penghinaan presiden di Indonesia, mencakup sejarah hukum, pasal KUHP RI 2023, serta opini pro dan kontra terkait Pasal 218 dan 219. Diskusi ini menggali argumen dari berbagai perspektif dan menekankan pentingnya keseimbangan antara melindungi kehormatan presiden dan kebebasan berekspresi dalam masyarakat demokratis.

Kasus Penghinaan Presiden di Indonesia

Kasus penghinaan terhadap presiden banyak diperbincangkan oleh warga dunia maya maupun dunia nyata. Setidaknya dalam kasus ini terdapat dua respons secara umum. Pertama, pelaku mendapatkan dukungan yang cukup besar dari publik. Kedua, sebagian orang berpendapat bahwa kasus ini terlalu dilebih-lebihkan. Maka, untuk menyikapi kasus penghinaan presiden perlu dikaji lebih mendalam lagi.

Terdapat beberapa kasus mengenai penghinaan presiden, di antaranya: Muhammad Arsyad, pemuda asal Ciracas, Jakarta Timur, melakukan penghinaan presiden melalui editan gambar Jokowi dan Megawati yang diunggah di Facebook. Supratman terjerat kasus penghinaan terhadap mantan presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, melalui unggahannya di media sosial yang mengatakan “Mulut Mega Bau Solar”. Dua kasus tersebut telah diselesaikan melalui jalur hukum.

Namun, terdapat pula kasus yang dianggap penghinaan yang berakhir secara diplomatis. Misalnya, Cak Nun yang mengatakan Jokowi seperti tokoh Fir’aun. Kemudian, Rocky Gerung yang mengatakan Jokowi itu “dungu”. Hal ini semakin menarik lagi untuk dipersoalkan, jika memang pasal terkait penghinaan presiden telah ditetapkan, mengapa masih terjadi kesenjangan keadilan.

Sejarah Hukum di Indonesia

Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan demokrasi, penerapan teori, dan praktik penegakan hukum di Indonesia sesuai dengan ruh yang ada dalam konstitusi. Konstitusi menjadi aturan dasar dan penyangga untuk keberlangsungan suatu negara yang berdaulat, adil, dan sejahtera. Maka, untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan dalam suatu negara dibutuhkan keteraturan yang baik dalam masyarakat, dibarengi adanya aturan-aturan yang menyatu pada sistem hukum yang berkembang dalam diri masyarakat.

Aturan-aturan yang dimaksud adalah ketentuan hukum pidana. Hukum pidana menjadi instrumen hukum yang melindungi kepentingan masyarakat dalam proses berlakunya hukum. Terdapat kepentingan hukum yang bersifat perorangan, kepentingan hukum yang luas (masyarakat), dan kepentingan yang berkaitan dengan hukum negara. Pembagian hukum ini tertuang jelas dalam sistematika pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selama ini, KUHP yang dipergunakan di Indonesia merupakan warisan dari Kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (meskipun beberapa telah dilakukan revisi dan adaptasi). Hukum yang telah berumur lebih dari satu abad ini tentu saja terkadang terdapat pasal-pasal yang sudah tidak relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini. Maka, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berinisiatif untuk melakukan penggantian KUHP peninggalan Belanda.

KUHP RI 2023

Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia telah mengesahkan KUHP baru yang di dalamnya memuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan keadaan masyarakat yang ada di Indonesia. Akan tetapi dalam KUHP baru tersebut memuat pasal-pasal yang menyebabkan adanya isu krusial, di antaranya pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Setiap manusia menghendaki martabat, kehormatan terjaga, seperti hal jiwa, kehormatan, dan nama baik setiap manusia juga harus dilindungi, bebas dari tindakan pencemaran terhadapnya. Sedangkan di Indonesia sering sekali terjadi kasus yang menyangkut penghinaan yang dilakukan seseorang warga negara kepada kepala negara atau wakil kepala negara. Penghinaan yang dilakukan secara lisan, tulisan sampai gambar melalui media sosial.

Terdapat pasal spesial yang mengatur larangan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pada Pasal 218 disebutkan: “Bahwa menyerang di muka umum kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wakil presiden dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan/pidana…” Kemudian lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 219 yang berbunyi “Bahwa jika perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan media elektronik atau sarana teknologi informasi, maka pidana penjara akan bertambah menjadi paling lama 4 tahun 6 bulan…”

Opini pro terkait Pasal 218 dan 219 KUHP 2023

Untuk tetap mempertahankan pasal penghinaan ini, pemerintah memiliki pertimbangan-pertimbangan, yakni dengan beberapa alasan. Pertama, Presiden merupakan simbol negara. Kedua, penghapusan pasal penghinaan akan menjadikan budaya demokratisasi yang liberal. Ketiga, tidak mungkin menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan Presiden negara lain dilindungi harkat dan martabatnya.

Terkait dengan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden masih relevan karena kebebasan berpendapat (freedom of expression) bukanlah hak yang absolut. Apabila Pasal penghinaan terhadap kehormatan, harkat, dan martabat Presiden dan Wakil Presiden ditiadakan dan akhirnya oleh masyarakat dianggap hal yang biasa seperti di negara liberal seperti Amerika Serikat, maka sama juga dengan tidak menghormati nilai-nilai luhur Pancasila (nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kerakyatan serta nilai keadilan).

Akan tetapi negara Indonesia menganut sistem presidensial yang memberikan hak rakyat untuk mengawal jalannya pemerintahan, dan memberikan respons atas tindakan pemimpinnya. Ketetapan pasal ini juga akan mempengaruhi kualitas pemerintahan ke depannya, karena rakyat yang seharusnya menjadi check and balance pemerintah akan sedikit ketakutan untuk menyampaikan kritiknya. Karena meskipun sudah diberi batasan yang jelas antara mengkritik dan menghina, namun hukum itu adalah seni berinterpretasi (law is the art of interpretation).

Keputusan menghidupkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di negara yang menganut presidensialisme sangat membahayakan. Melihat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi bukanlah negara monarki. Di mana corak negara kerajaan memposisikan raja atau ratu selalu pada titik kebenaran atas keputusannya dan tidak dapat diganggu gugat. Konsep mendasar dari negara kerajaan jelas bertolak belakang dengan sistem pemerintahan Indonesia yang kepala negaranya menjadi satu dengan kepala pemerintahan, dan juga mengedepankan nilai-nilai luhur demokrasi.

Opini kontra terkait Pasal 218 dan 219 KUHP

Dalam konteks ini, pasal yang awalnya secara tersurat bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya dalam perkembangan politik di masa depan, sangat dikhawatirkan pasal ini hanya sebuah kedok untuk mengkriminalisasi suara-suara rakyat yang bertentangan dengan kepentingan Presiden.

Logika hukumnya, jika ada ketentuan pasal-pasal umum penghinaan, maka dalam negara demokrasi tidak perlu mengatur secara khusus pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Meski pemerintah mempunyai pemikiran tersendiri dalam menjaga kehormatan dan harkat dan martabat presiden dan wakilnya, tetapi bukankah ironis jika kita mengkriminalisasi masyarakat dengan pasal-pasal yang diklaim mewakili hukum nasional (KUHP). Undang-undang nasional (KUHP) macam apa yang tega dan sadis membakar rakyatnya ketika berusaha memajukan negara melalui para pemimpinnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasal penghinaan presiden di Indonesia masih menjadi isu yang kompleks dengan argumen kuat di kedua sisi. Penting untuk melakukan diskusi yang terbuka dan konstruktif untuk menemukan keseimbangan antara melindungi kehormatan presiden dan menjaga kebebasan berekspresi dan kritik untuk pemerintahan. Masyarakat juga harus lebih memperhatikan public policy yang bermunculan, dan menjadi checks and balances yang baik sehingga dapat menciptakan negara demokrasi yang dicita-citakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.