Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan mengenai konsep pertanggungjawaban individu dan negara dalam melakukan kejahatan internasional, yang didasarkan pada konsep hukum internasional.
Orang perorangan atau individu dapat diminta pertanggungjawabannya apabila salah satu dari ketiga hal berikut terpenuhi, yaitu: pribadi tersebut secara sengaja melakukan, merencanakan, membantu atau mendukung perencanaan, persiapan tindak pidana kejahatan yang dinilai sebagai pelaku tindak pidana kejahatan tersebut. Individu tersebut bertanggung jawab sesuai dengan prinsip tanggung jawab individu atas keikutsertaan dalam rencana bersama untuk memudahkan terjadinya tindak pidana tersebut.
Tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) merupakan prinsip dalam hukum pidana internasional yang secara konsisten diikuti sejak prinsip ini ditegaskan dalam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg. Prinsip ini menghendaki agar pelaku kejahatan internasional memikul tanggung jawab secara pribadi atas kejahatan internasional yang mereka lakukan.
Hal ini juga berlaku terhadap kejahatan internasional yang dilakukan secara komunal atau kelompok, bahwa masing-masing individu yang berperan serta dalam kejahatan kelompok itu tetap dapat dipersalahkan secara individu dan juga harus mempertanggungjawabkan secara individual. Adanya prinsip ini dalam hukum pidana internasional mengakibatkan tidak berlakunya keistimewaan dan kekebalan jabatan formal yang dimiliki oleh seorang kepala negara atau pejabat pemerintahan lainnya, sehingga mereka harus tetap mempertanggungjawabkan kejahatannya. Hal tersebut merupakan kewenangan International Criminal Court (ICC) dalam menerapkan yurisdiksinya atas orang tersebut.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan dapat dijatuhi hukuman atas suatu kejahatan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) apabila orang tersebut:
- Melakukan suatu kejahatan, baik sebagai orang pribadi, bersama orang lain atau lewat orang lain tanpa memandang apakah orang itu bertanggung jawab secara pidana atau tidak;
- Memerintahkan, mengusahakan, atau menyebabkan dilakukannya kejahatan dalam kenyataan memang terjadi atau hanya percobaan;
- Membantu, bersekongkol atau kalau tidak membantu dilakukannya atau percobaan untuk melakukannya termasuk menyediakan sarana untuk melakukannya.
Pengaturan Pertanggungjawaban Individu
Konsep tanggung jawab individu ini juga tercantum dalam Pasal 6 Ayat (3) Statuta ICTR Tahun 1994 yang berjudul “tanggung jawab pidana individu (individual criminal responsibility)”, dan Pasal 7 ayat (3) serta Pasal 25 Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of The International Criminal Court) tahun 1998. Pasal 25 Statuta Roma 1998 ini menyatakan bahwa: yurisdiksi International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) adalah orang-perorangan (natural-persons). Seorang tersangka dalam yurisdiksi Pengadilan, bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai ketentuan pidana dalam Statuta Roma.
Prinsip pertanggungjawaban individu juga termuat di dalam Artikel 6 Statuta Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, dimana mahkamah tersebut memiliki kewenangan untuk mengadili dan menjatuhkan pidana terhadap setiap orang yang bertindak demi kepentingan negara-negara Poros Eropa, baik selaku individu maupun anggota kelompok, melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berkaitan dengan aspek pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM berat maka dalam Statuta Roma diatur mengenai pertanggungjawaban pidana perorangan, tidak dimasukkannya yurisdiksi atas orang-orang di bawah 18 (delapan belas) tahun, tanggung jawab komandan dan atasan lainnya, kondisi mental pelaku sehingga dianggap layak untuk mempertanggungjwabkan perbuatanya secara pidana. Dalam Statuta Roma secara keseluruhan diatur pada Pasal 25 Ayat (3) dan (4) Statuta Roma 1998 tentang Tanggung Jawab Pidana Perorangan dan Pasal 28 tentang Tanggung Jawab Komandan dan Atasan Lainnya.
Pertanggungjawaban Negara
Prinsip pertanggungjawaban negara belum diatur atau dikodifikasikan dalam hukum atau perjanjian internasional namun bersifat mengikat sebagai kaidah hukum internasional terhadap negara. Penyatuan pembahasan tanggung jawab negara terhadap pelanggaran dan kejahatan internasional dilakukan karena bentuk kewajiban yang dibebankan kepada negara dalam menangani kedua jenis tindak pidana internasional tersebut pada dasarnya sama.
Negara dianggap bertanggung jawab terhadap suatu peristiwa pidana internasional apabila negara tersebut lalai untuk mengambil tindakan pencegahan, pengusutan, atau pengekstradisian dan penghukuman terhadap individu pelaku kejahatan internasional, seperti perbuatan dan segala hal yang berhubungan dengan perbudakan, penyiksaan, pembajakan di laut lepas, kejahatan yang membahayakan di atas pesawat, dan sebagainya. Dalam hal ini, negara melakukan perbuatan melawan hukum internasional yang tergolong international infraction. Negara juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang di derita negara lain terhadap perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain dan terjadi di wilayah yurisdiksinya.
Berdasarkan penelitian Bassiouni, jenis tindak pidana internasional yang terjadi karena keterlibatan negara yang sangat tinggi adalah agresi, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, penggunaan senjata ilegal, genosida, apartheid dan mercenarism. Negara harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang melanggar perlindungan yang sangat fundamental bagi masyarakat internasional, yaitu terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Pertanggungjawaban negara tehadap tindak pidana internasonal dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
- tanggung jawab negara terhadap tindak pidana yang tidak langsung dilakukan oleh negara (ordinary violations to international crimes), seperti pelanggaran dan delik internasional;
- tanggung jawab terhadap tindak pidana internasional yang direncanakan, dikehendaki, dan dilakukan oleh negara secara langsung (extra-ordinary violations to international crimes).
Adanya lembaga exhaustion of local remedies merupakan bentuk perwujudan tanggung jawab negara terhadap tindak pidana internasional. Negara harus bertanggung jawab terhadap tindak pidana internasional yang pada dasarnya untuk melaksanakan yurisdiksi nasionalnya, baik atas dasar prinsip teritorial, personal aktif atau pasif, dan prinsip pidana internasional.
Selain itu, pelaksanaan tanggung jawab negara melalui forum penyelesaian sengketa internasional oleh lembaga atau organisasi internasional, countermeasures, penyelesaian sengketa internasional PBB, dan pembelaan diri dari suatu negara merupakan rezim pertanggungjawaban negara terhadap tindak pidana internasional.
Bentuk pertanggungjawaban negara terhadap perbuatan melawan hukum internasional juga melalui penyelesaian sengketa internasional PBB, baik dengan cara damai, seperti kasus “United States Diplomatic and Consular Staff in Teheran” maupun kekerasan, seperti kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan Yugoslavia terhadap rakyat atau penduduk sipil Kosovo.
Pengaturan internasional atau nasional khusus dalam pertanggungjawaban negara dalam tindak pidana internasional sangat diperlukan mengingat dalam hukum pidana internasional maupun pengaturan-pengaturan lain belum menegaskan negara sebagai subjek hukum sehingga pertanggungjawaban negara masih belum di implementasikan dengan baik. Hal ini juga dapat mempermudah dalam menyelesaikan problematika terkait kejahatan internasional yang dilakukan oleh negara sepenuhnya.
Referensi
- Cassese, Antonio. “On the Current Trends Towards Criminal Prosecution and Punishment of Breaches of International Humanitarian Law” Vol. 9 no. 1 (1998).
- Effendi, Tolib. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014.
- Pasek Diantha, I Made. Hukum Pidana Internasional dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
- Starke, J.G. Introduction to International Law. London: Butterworths, 1967.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.