Berita

Perebutan Kursi DPRD Intan Jaya 3 diwarnai Dugaan Penghilangan Suara!

Redaksi Literasi Hukum
1279
×

Perebutan Kursi DPRD Intan Jaya 3 diwarnai Dugaan Penghilangan Suara!

Sebarkan artikel ini
Perebutan Kursi DPRD Intan Jaya 3 diwarnai Dugaan Penghilangan Suara!
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

JAKARTA, LITERASI HUKUMMahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon dan keterangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Daerah Pemilihan (Dapil) Intan Jaya 3 yang diajukan Julianus Agimbau calon Anggota DPRD Kabupaten dari Partai Nasdem, nomor Urut 8.

Sidang dengan nomor perkara 126-02-05-36/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini digelar pada Senin (06/05/2024) pagi di Ruang Sidang Panel 3 dengan Majelis Hakim Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Dalam sidang ini, Termohon memberikan penjelasan mengenai permohonan Pemohon yang pada sidang pendahuluan Senin (29/4/2024) siang mendalilkan adanya selisih suara antara hasil suara Pemilu yang ditetapkan oleh Termohon (Komisi Pemilihan Umum) dengan suara hasil Pemilu yang benar menurut Pemohon.

Menurut Pemohon, seharusnya Perolehan suara Pemohon adalah 3.528, akan tetapi sesuai hasil yang ditetapkan oleh Termohon, suara Pemohon adalah nol. Pemohon menduga bahwa selisih perolehan suara tersebut disebabkan karena adanya penghilangan suara Pemohon dari empat kampung sebanyak 3.528 suara. Pengurangan suara tersebut karena suara Pemohon dirampok dan/atau dihilangkan oleh oknum anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD) dan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Heppy Verrovina, selaku kuasa hukum Termohon, memberikan jawaban bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara proses pemilihan umum. Heppy menyebut bahwa sebagaian besar isi permohonan Pemohon adalah terkait dengan proses Pemilu yang merupakan ranah Bawaslu ataupun jika merupakan tindak pidana Pemilu merupakan Kewenangan Gakkumdu.

“Bahwa dari 7 halaman uraian dari permohonan pokok perkara (halaman 4-10) dalil pemohon yang terbanyak adalah mengenasi dalil proses pemilu (halaman 6-10). Dimana seluruh dalil yang disampaikan Pemohon bukan merupakan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi Kewenangan Bawaslu,” ungkap Heppy.

Selain itu, Termohon juga mempersoalkan kedudukan hukum Pemohon, dimana pemohon mengajukan Permohonannya tanpa didasari atas rekomendasi dari pimpinan Partai Nasional Demokrasi (NasDem). Pemohon hanya mendapatkan persetujuan dari DPD Partai NasDem kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.

“Pemohon sebagaimana pengakuannya pada sidang pendahuluan hanya memperoleh persetujuan dari DPD Partai NasDem Kabupaten Intan Jaya, dengan demikian maka pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan oleh karenanya permohonan pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.” ujar Kuasa Hukum KPU.

Termohon dalam persidangan menyatakan bahwa permohonan Pemohon mengandung cacat hukum yang disebut obscuur libel. Hal ini disebabkan karena terdapat ketidakjelasan antara uraian yang disampaikan Pemohon dalam posita (alasan gugatan) dan petitum (tuntutan) yang diajukan.

Lebih detailnya, Pemohon dalam posita menjelaskan adanya perbedaan perolehan suara antara dirinya dengan anggota legislatif lain dari Partai NasDem di Dapil Intan Jaya 3. Pemohon menduga bahwa seharusnya perolehan suaranya adalah 3.528, namun dalam hasil penetapan KPU, suaranya tercatat sebagai nol.

Namun, dalam petitumnya, Pemohon hanya menuntut agar perolehan suaranya diubah menjadi 3.528. Termohon menilai petitum ini tidak jelas karena Pemohon tidak menjelaskan secara gamblang ke mana suara yang seharusnya itu hilang dan dialihkan kepada calon nomor urut berapa. Akibat ketidakjelasan ini, Termohon berpendapat bahwa permohonan Pemohon mengandung obscuur libel dan patut ditolak oleh majelis hakim.

Dalam jawabannya, Termohon menyebut bahwa Julianus Agimbau tidak memperoleh suara atau nol sesuai dengan D-Hasil Kabupaten/Kota. Artinya dalil Pemohon yang menyebut bahwa suara Pemohon adalah 3.528 suara adalah tidak benar karena perolehan suara Pemohon untuk Dapil Intan Jaya 3 adalah sebanyak nol.

“Menurut Termohon, Perolehan suara untuk Julianus Agimbau adalah nol sesuai dengan D-Hasil Kabupaten/Kota. Dan klaim perolehan 3.528 suara adalah tidak benar,” ungkap Heppy Verrovina.

Berdasarkan uraian dalam Jawaban Termohon, Termohon memohon kepada Mahkamah untuk dalam Eksepsi mengabulkan seluruhnya dan dalam Pokok perkara, menolak seluruh permohonan pemohon dan menyatakan benar Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024.

Bawaslu, dalam keterangannya, menerangkan bahwa perolehan suara yang telah disampaikan oleh Termohon sudah sama dengan Catatan Bawaslu, yaitu berdasarkan C-Hasil dan D-Hasil, Kecamatan-Kabupaten seluruhnya nol.

“Berdasarkan C-Hasil dan D-Hasil Kecamatan dan Kabupaten, nol seluruhnya,” ungkap Yonas Yanampa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.