Administrasi Negara

Struktur Peradilan untuk Sengketa Tata Usaha Negara

Ramos Perisai
1108
×

Struktur Peradilan untuk Sengketa Tata Usaha Negara

Sebarkan artikel ini
Sengketa Tata Usaha Negara
(Sumber: Unsplash/Patrick Fore)

Literasi Hukum – Pelajari secara praktis mengenai struktur peradilan administrasi untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Apa itu Sengketa Tata Usaha Negara?

Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang administratif disebabkan oleh terbitnya suatu keputusan tata usaha negara.

Secara umum, dasar hukum mengenai sengketa tata usaha negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang telah mengalami perubahan pertama melalui UU 9/2004 dan perubahan kedua melalui UU 51/2009.

Pasal 1 angka 4 dari UU PTUN mengatur definisi sengketa tata usaha negara sebagai berikut.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Lebih lanjut, dari definisi di atas, ada beberapa unsur yang bisa kita tarik untuk memahami suatu “sengketa” sebagai “sengketa tata usaha negara”, yaitu:

  1. Sengketa itu berada dalam ranah tata usaha negara, termasuk sengketa yang berada dalam bidang kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
  2. Sengketa itu terjadi di antara orang atau badan hukum dengan dan badan atau pejabat tata usaha negara, dan
  3. Sengketa itu timbul sebab adanya keputusan tata usaha negara.

Sebagai catatan, sengketa tata usaha negara melibatkan banyak otoritas, seperti badan atau pejabat tata usaha negara (“B/P TUN”) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”).

B/P TUN terikat dengan peraturan administrasi pemerintahan. Di Indonesia, dasar hukum administrasi pemerintahan diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”).

B/P TUN juga terikat dengan peraturan administrasi tingkat institusional yang secara khusus memberikan mereka kewenangan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Ada banyak B/P TUN dalam struktur pemerintahan dengan aturan institusional tersendiri. Misalnya, pejabat di bidang kementerian kesehatan akan terikat dengan peraturan bidang kementerian kesehatan. Logika yang sama berlaku bagi pejabat bidang kementerian keuangan, aparatur sipil negara, TNI/POLRI, dan sejenisnya.

Selanjutnya, PTUN berpedoman pada peraturan perundang-undangan lain selain UU PTUN dan perubahannya, seperti Peraturan Mahkamah Agung (“PERMA”) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”).

Oleh karena keadaan tersebut, maka, untuk memahami sengketa tata usaha negara, kita tidak cukup hanya memahami UU PTUN. Kita juga perlu memahami peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi B/P TUN dan PTUN.

Pengantar Struktur Peradilan

Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang bersifat administratif. Artinya, sengketa ini hanya akan berupa persoalan administrasi yang berdampak pada setiap pihak yang berkepentingan.

Secara teoritis, sengketa yang bersifat administratif melibatkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya menyelenggarakan administrasi pemerintahan.

Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberhentikan seseorang sebagai aparatur sipil negara dalam struktur pemerintahan. Pemecatan aparatur sipil negara itu ditegaskan melalui surat keputusan pemberhentian aparatur sipil negara. Namun, aparatur yang telah dipecat tidak menerima keputusan pemecatannya dan menggugat keputusan tersebut. Pada titik inilah sengketa administratif timbul; ada persoalan administrasi dari keputusan tata usaha negara yang dipermasalahkan oleh pihak yang berkepentingan dan terdampak oleh keputusan tersebut.

Otoritas yang berwenang untuk mengadili sengketa tata usaha negara adalah lembaga peradilan tata usaha negara, yaitu PTUN untuk sengketa yang diadili pada tingkat pertama, lalu Pengadilan Tata Usaha Negara untuk sengketa yang diadili pada tingkat banding.

Pada proses peradilan, sengketa dimulai dari proses pengajuan gugatan. Pasal 1 angka 5 dari UU PTUN menyatakan bahwa gugatan mula-mula diajukan oleh pihak penggugat kepada PTUN. Nantinya, PTUN akan menjatuhkan putusan terhadap gugatan tersebut.

Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Sebelumnya, telah disinggung bahwa sengketa tata usaha negara dapat timbul disebabkan adanya suatu keputusan tata usaha negara. Lihat pembahasan lebih lanjut mengenai “keputusan tata usaha negara” pada artikel ini.

Subjek Sengketa Tata Usaha Negara

Berdasarkan definisi sengketa tata usaha negara menurut UU PTUN, terdapat 2 subjek sengketa. Pertama adalah orang perorangan atau badan hukum. Kedua adalah B/P TUN.

Pasal 1 angka 6 dari UU PTUN menegaskan bahwa B/P TUN akan selalu menjadi pihak tergugat. Ini bahkan dipertegas melalui ketentuan Pasal 1 angka 12 dari UU 51/2009. Hal tersebut logis sebab hanya B/P TUN yang dapat mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa.

Masih berdasarkan ketentuan UU PTUN yang sama, penggugat adalah orang perorangan atau badan hukum. Namun, status sebagai “orang perorangan” atau “badan hukum” saja tidaklah cukup. Untuk mengajukan gugatan, penggugat haruslah para pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Dalam bukunya yang berjudul Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Indroharto menyatakan bahwa kedudukan hukum dapat diukur berdasarkan dampak yang dialami oleh penggugat atas penerbitan suatu keputusan tata usaha negara. Dampak dari keputusan itu haruslah bersifat langsung dan individual. Dampak langsung berarti dampak yang tidak timbul melalui perantara tertentu atau dampak yang bersifat turunan. Dampak individual berarti dampak yang hanya dialami oleh penggugat dan tidak dialami oleh pihak lain.

Contoh kasus dari gugatan yang diajukan oleh penggugat yang tidak memiliki kedudukan hukum terdapat dalam Putusan No. 36/G/2021/PTUN.PDG. Pada kasus ini, majelis hakim menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki kedudukan hukum sebab objek gugatan, berupa sertifikat tanah yang diterbitkan oleh lembaga pertanahan terkait, tidak memiliki dampak yang merugikan secara langsung kepada penggugat. Akibatnya, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Upaya Administratif

Sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan upaya administratif terlebih dahulu atas penerbitan suatu keputusan tata usaha negara.

Definisi dari upaya administratif diatur dalam Pasal 1 angka 16 dari UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut.

Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.

Selanjutnya, opsi untuk mengajukan upaya administratif diatur dalam Pasal 75 ayat (1) dari UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut.

Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Pengaturan lebih lanjut dapat kita temukan dalam Bab X mengenai Upaya Administratif dari UU Administrasi Pemerintahan. Secara esensial, ketentuan ini mengatur beberapa mekanisme upaya administratif, seperti bentuk upaya yang terdiri atas “keberatan” dan banding”, otoritas yang dituju, serta jangka waktu yang ditentukan.

Menurut ketentuan UU Administrasi Pemerintahan, upaya administratif merupakan langkah yang opsional. Artinya, pihak yang berkepentingan dapat menempuh upaya ini atau dapat pula langsung mengajukan gugatan kepada PTUN.

Namun, sifat opsional dari upaya administratif tersebut telah dianulir melalui beberapa ketentuan. Misalnya, Pasal 48 dari UU PTUN mengatur bahwa PTUN baru berwenang untuk mengadili sengketa tata usaha negara jika para pihak yang berkepentingan telah menyelesaikan upaya administratif terlebih dahulu. Ini berarti upaya administratif tidak lagi menjadi suatu pilihan, tetapi menjadi upaya yang wajib ditempuh.

Kewajiban untuk menempuh upaya administratif juga dipertegas melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 (“PERMA 6/2018”). Pasal 3 dari PERMA 6/2018 mengatur bahwa PTUN baru berwenang mengadili sengketa tata usaha negara setelah penggugat melaksanakan upaya administratif yang ditentukan melalui UU Administrasi Pemerintahan atau peraturan perundang-undangan lain yang relevan dan masih berlaku.

Perhatikan bahwa kewajiban menempuh upaya administratif tersebut bersifat relatif. Penggugat hanya harus menempuh upaya administratif jika peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok gugatannya memang mewajibkan upaya administratif. Kewajiban ini juga perlu dipenuhi jika peraturan perundang-undangan terebut tidak mengatur kewajiban untuk menempuh upaya administratif, sehingga acuannya adalah Bab X dari UU Administrasi Pemerintahan. Penggugat baru dapat terbebas dari upaya administratif dan dapat langsung mengajukan gugatan jika peraturan perundang-undangan terkait memang mengatur demikian.

Kewenangan Mengadili

Dalam sengketa tata usaha negara, kewenangan mengadili berkaitan erat dengan kewenangan yang dimiliki oleh PTUN untuk mengadili sengketa.

Melalui publikasi berjudul Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Hakim Agung Yodi Martono Wahyunadi mengemukakan bahwa kewenangan mengadili ini terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Kompetensi absolut berkaitan dengan substansi perkara. Di sini, PTUN memiliki kewenangan absolut untuk mengadili sengketa yang hanya berupa sengketa tata usaha negara. Jadi, sengketa perdata, pidana, agama, atau militer bukan merupakan sengketa yang dapat diadili oleh PTUN.

Cara mudah untuk menentukan kompetensi absolut dari PTUN atas suatu sengketa adalah memeriksa apakah sengketa tersebut melibatkan keputusan tata usaha negara. Namun, relevansi dari keputusan tata usaha negara dalam sengketa juga perlu dievaluasi sebab, pada beberapa kasus, keberadaan keputusan tata usaha negara tidak selalu menjadi indikator kewenangan absolut dari PTUN untuk memeriksa sengketa.

Sementara itu, kompetensi relatif berkaitan dengan lokasi pengadilan. Di sini, yang menjadi masalah bukanlah substansi perkara, melainkan daerah tempat dari perkara itu diperiksa.

Seseorang bisa saja mengajukan gugatan dalam sengketa tata usaha negara kepada PTUN, tetapi keliru menentukan PTUN yang berwenang berada di tempat tinggalnya. Oleh karena itu, kita perlu cermat dengan lokasi PTUN yang berwenang memeriksa sengketa.

Kompetensi relatif diatur dalam Pasal 54 dari UU PTUN. Secara singkat, pasal ini mengatur kompetensi relatif dalam beberapa bentuk sebagai berikut.

  1. PTUN yang berwenang untuk memeriksa sengketa adalah PTUN yang berada di wilayah yang meliputi kedudukan penggugat dan tergugat.
  2. Jika penggugat dan tergugat tidak berada di wilayah yang sama, PTUN yang berwenang adalah PTUN yang berada di wilayah kedudukan penggugat.
  3. Jika tergugat berjumlah lebih dari 1 dan keduanya berada di tempat yang berbeda, PTUN yang berwenang adalah PTUN yang berada di salah satu wilayah kedudukan dari salah satu tergugat.
  4. Jika sengketa diatur melalui peraturan pemerintah, PTUN yang berwenang dapat berupa PTUN yang berada di wilayah kedudukan penggugat.
  5. Jika penggugat dan tergugat berada di luar negeri, PTUN yang berwenang adalah pengadilan di wilayah Jakarta.
  6. Jika penggugat berada di luar negeri dan tergugat di dalam negeri, PTUN yang berwenang adalah PTUN yang berada di wilayah kedudukan tergugat.

Tenggang Waktu

Tenggang waktu berkaitan dengan batas waktu dalam prosedur peradilan. Mengetahui tenggang waktu penting bagi pihak yang mengajukan gugatan bahkan pada saat upaya administratif.

Jika penggugat menempuh upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan, penggugat memiliki tenggang waktu berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1) dan Pasal 78 ayat (1) dari UU Administrasi Pemerintahan, yang pada intinya menyatakan berikut.

  1. Penggugat memiliki batas waktu selama 21 hari untuk mengajukan keberatan sejak pengumuman dari keputusan tata usaha negara.
  2. Penggugat memiliki batas waktu selama 10 hari untuk mengajukan banding jika pejabat memberi keputusan penolakan atas keberatan, dan waktu ini dihitung sejak keputusan penolakan telah diterima oleh penggugat.

SEMA 5/2021 mengatur ketentuan tambahan, yaitu, jika keberatan dan/atau banding yang diajukan penggugat menuju B/P TUN yang keliru, rentang waktu dari proses pengajuan keberatan dan/atau banding tidak akan dihitung apabila penggugat akan mengajukan keberatan dan/atau banding sekali lagi ke B/P TUN yang berwenang.

Jika penggugat langsung mengajukan gugatan kepada PTUN, penggugat memiliki batas waktu selama 90 hari sejak keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan diumumkan oleh B/P TUN. Pasal 5 ayat (1) dari PERMA 6/2018 mengatur secara spesifik bahwa perhitungan batas waktu tersebut dimulai sejak keputusan tata usaha negara diterima oleh penggugat.

Lebih lanjut, melalui SEMA 5/2021, Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun penggugat telah melewati batas waktu selama 21 hari untuk mengajukan keberatan, hal tersebut tidak menghilangkan hak bagi penggugat untuk mengajukan gugatan ke PTUN sepanjang penggugat mengajukan gugatan dalam jangka waktu selama 90 hari sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.

Penulis berpendapat bahwa ketentuan dalam SEMA 5/2021 tersebut di atas cukup membingungkan. Jika penggugat tidak mengajukan keberatan setelah jangka waktu 21 hari atas penerbitan suatu keputusan tata usaha negara, secara otomatis penggugat dianggap tidak menempuh upaya administratif. Bukankah percuma memberi keleluasan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan ke PTUN dengan konsekuensi gugatannya dinyatakan prematur, jika berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pokok gugatannya, penggugat wajib lebih dulu menempuh upaya administratif?

Dalam hal ini, seharusnya SEMA 5/2021 memberikan ketentuan tambahan yang menjadi syarat pengajuan gugatan. Misalnya, penggugat dapat mengajukan gugatan bahkan setelah 21 hari dari penerbitan keputusan, tetapi masih dalam jangka waktu 90 hari sesuai ketentuan UU PTUN, dengan syarat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengikat pokok gugatannya tidak mewajibkan adanya upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan ke PTUN.

Substansi Gugatan

UU PTUN mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh penggugat dalam substansi gugatannya.

Mula-mula, gugatan harus memuat identitas dari penggugat, identitas tergugat, dasar gugatan, permintaan, surat kuasa jika gugatan dibuat dan ditandatangani oleh kuasa dari penggugat, serta lampiran keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan. Hal ini diatur dalam Pasal 56 dari UU PTUN.

Bentuk “permintaan” dalam gugatan adalah petitum yang berkaitan dengan status dari keputusan. Pasal 53 dari UU 9/2004 mengatur bahwa petitum gugatan dapat berupa permohonan agar keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan dinyatakan batal atau tidak sah, lalu dapat disertai dengan tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Petitum gugatan tentu berdasar pada uraian posita yang mendahuluinya. Pasal 53 dari UU 9/2004 mengatur bahwa posita gugatan dapat mengandung 2 alasan pengajuan gugatan, yaitu keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Bentuk Amar Putusan

Pasal 97 ayat (8) s.d (10) dari UU PTUN mengatur, putusan yang dijatuhkan oleh PTUN atas suatu sengketa tata usaha negara dapat memiliki beragam bentuk amar putusan dengan konsekuensi tersendiri.

Mula-mula, bentuk amar putusan adalah sebagai berikut.

  1. Gugatan ditolak,
  2. Gugatan tidak diterima,
  3. Gugatan gugur, dan
  4. Gugatan dikabulkan.

Selanjutnya, jika amar putusannya adalah gugatan dikabulkan, amar putusan dapat menyertakan perintah kepada B/P TUN yang menjadi tergugat untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara baru yang akan berdampak pada keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan.

Keputusan tata usaha negara baru dari B/P TUN tersebut dapat berupa:

  1. Keputusan yang berisi pencabutan atas keputusan yang menjadi objek gugatan;
  2. Keputusan yang tidak hanya berisi pencabutan atas keputusan yang menjadi objek gugatan, tetapi juga berisi penerbitan keputusan yang baru;
  3. Keputusan yang berisi penerbitan keputusan baru yang mempertegas keputusan fiktif negatif.

Lebih lanjut, amar putusan dapat menyertakan pembebanan ganti rugi, dan pemberian rehabilitasi untuk penggugat dalam sengketa yang menyangkut kepegawaian.

Upaya Hukum

Penggugat atau tergugat dalam sengketa tata usaha negara yang tidak puas dengan putusan dari PTUN dapat mengajukan upaya hukum. Upaya hukum ini terdiri atas banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Banding diajukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ini berbeda dengan PTUN yang memeriksa pada tingkat pertama. Banding memiliki jangka waktu selama 14 hari setelah putusan dari PTUN diberitahukan kepada para pihak.

Kasasi dan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung. Jangka waktu kasasi adalah selama 14 hari setelah putusan dari upaya banding diberitahukan kepada para pihak. Adapun jangka waktu peninjauan kembali adalah selama 14 hari setelah putusan dari upaya kasasi diberitahukan kepada para pihak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.